Menikmati Uniknya Angkringan Majas yang Rasa dan Harganya di Luar Nalar

Menikmati Uniknya Angkringan Majas yang Rasa dan Harganya di Luar Nalar. MOJOK.CO

Ilustrasi Menikmati Uniknya Angkringan Majas yang Rasa dan Harganya di Luar Nalar. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ada ratusan kedai angkringan yang tersebar di seluruh Jogja. Namun, saya berani menjamin, tidak ada yang menyamai Angkringan Majas. Kedai kecil yang berlokasi di Jalan Sawit, Pikgondeng, Condongcatur, ini menawarkan berbagai menu ala hotel berbintang. 

Bahkan, pelanggan yang datang bisa custom menu sesuai keinginan mereka. Harga yang dipatok pun masih masuk akal bagi sobat UMR Jogja. Sungguh di luar nalar!

***

Tidak sulit untuk menemukan Angkringan Majas. Bangunannya terlihat paling mencolok di antara kedai lain yang berada di sekitar perempatan Jalan Sawit, sebelah barat markas Yonif 403, Condongcatur. Selayaknya angkringan pada umumnya, gerobak kayu dengan gorengan yang tertata rapi di atasnya, bakal menyambut kedatangan kita.

Namun, yang unik dari kedai seluas 8×10 meter ini, saya tidak menjumpai daftar menu dari makanan yang ada. Kata sang pemilik, semua menu langsung dibuatkan sesuai dengan keinginan sang pelanggan.

Inilah mengapa di Angkringan Majas, menu-menunya terkesan tidak biasa jika dibanding angkringan lain. Seperti ayam katsu yang diguyur kuah kari jawa, nasi goreng kecombrang, sambal kecombrang, sambal cakalang, hingga salad black pepper, dan masih banyak lagi.

Asal muasal menu yang tak biasa di Angkringan Majas

Melati Dyan Utami (51), sang pemilik kedai, bercerita bahwa awalnya Majas menyediakan menu angkringan pada umumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, pelanggan setianya mulai minta menu yang aneh-aneh.

“Misalnya, nih, ada pelanggan yang pas datang bilang ‘Mbak, saya lagi nggak nafsu makan, bikinin dong makanan yang bisa ningkatin nafsu makan!’,” ujarnya kepada Mojok, Jumat (11/8/2023).

Melati Dyan Utami, pemilik Angkringan Majas, ditemui Jumat (11/8). Setelah berpengalaman di hotel bintang lima ia membuat angkringan dengan konsep unik. (Ahmad Effendi/Mojok.co)

Hal itu pun menjadi tantangan bagi Dyan. Sebab, selain menyajikan menu yang pas di lidah dan mood pelanggan, ia juga harus memahami karakteristik pelanggannya tersebut. 

Seperti menu favoritnya, diet atau pantangannya, suka pedas atau tidak, dan sebagainya. Barulah, setelah memahaminya, Dyan membuatkan pesanan sesuai dengan intuisinya.

“Karena olahannya enak, jadinya pembeli lain pun suruh buatin menu yang sama. Ya sudah, akhirnya mulai muncul menu-menu lain yang sebenarnya itu berasal dari permintaan pelanggan juga,” sambung Dyan.

Apa saja menu yang dibuat, pasti enak!

Keunikan menu di Angkringan Majas juga diakui Kombes (Pol) Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan dan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM, yang menjadi pelanggan setia Angkringan Majas. Kata pakar psikologi forensik ini, ia tak pernah secara spesifik mengatakan ingin memesan apa saat berkunjung ke kedai ini.

Seringnya, Arif hanya bilang “buatin menu yang bahannya telur”, “buatin yang pedas-pedas dan segar disantap malam-malam gini”, atau “buatin yang lucu-lucu”—tanpa spesifik menyebut nama menu. 

Namun, yang bikin ia heran, makanan yang Dyan masak tak pernah gagal. Ia mengaku tak pernah kecewa dengan makanan yang tersaji meski kadang permintaannya aneh-aneh sekalipun.

“Emang gendheng kok angkringan ini. Menu apa saja bisa dibikin dan enak,” ujar pria yang akrab disapa Yoyok, yang kebetulan bertemu saya di Majas, Jumat (11/8/2023) malam itu.

Bukan hanya cara memesan dan soal rasa yang di luar nalar karena memang enak, jam buka angkringan juga tergantung mood yang punya. Kadang jam 12.00, jam 14.00, jam 15.00, tapi yang jelas akan tutup pukul 02.00 dini hari. 

Soal harga masakan saya juga menyebutnya di luar nalar. Karena nggak ada buku menu, pastinya tidak ada daftar harga. Angkanya baru keluar sesudah kita menyebut nama menu yang kita inginkan.

Saya misalnya hanya bilang, telur dadar campur salad black pepper. Dyan lantas berhitung, menu itu ia hargai Rp10 ribu. 

Menu telur dadar saus black pepper di Angkringan Majas, harganya murah meriah, cuma Rp10 ribu. (Ahmad Efendi/Mojok.co)

Sedangkan di lain waktu saya pesan sambal kecombrang ditambah ayam katsu dengan guyuran kuah kari. Untuk menu ini saya harus membayar Rp15 ribu. Setahu saya, harga makanan di warung ini tidak lebih dari Rp15 ribu. 

Pernah bekerja di hotel mewah

Saat berbincang dengan Dyan, saya begitu takjub. Dari caranya mempresentasikan menu, saya merasa ia bukanlah orang awam dalam dunia kuliner. Sepanjang obrolan kami, Dyan kerap melontarkan “diksi kuliner”—yang bahkan saya sendiri harus browsing terlebih dahulu untuk paham artinya.

Pengetahuannya soal makanan khas daerah, bahan dasar, cara membuatnya, hingga filosofinya pun bisa ia jelaskan secara cakap. Di mata saya, Dyan seperti perpustakaan wisata kuliner Nusantara.

Tak sampai di situ. Hebatnya lagi, kemampuannya merias makanan atau plating juga di atas rata-rata. Salad sederhana bahkan bisa menjadi terlihat mewah dan mahal, seperti di restoran elite.

Namun, semua itu akan terdengar wajar jika kita mengetahui latar belakang Dyan. Sejak 1996, ia mengaku sudah bekerja di Aman Resort, korporasi hotel mewah yang jaringannya tersebar di 20 negara. Dyan sendiri kala itu mendapat penugasan di Amanjiwo, yang terletak di Borobudur, Magelang.

Menurut Dyan, pengalamannya bekerja di hotel mewah dengan tamu orang-orang besar itu ia aplikasikan di Angkringan Majas.

“Dulu di Amanjiwo, saya dituntut untuk mampu mengingat nama-nama pelanggan, kebiasaan mereka, sekecil dan sedetail apapun itu,” kisahnya.

“Makanya, ketika mengelola Majas, pengalaman itu saya pakai untuk bisa menghafal nama-nama pembeli kami, menu favoritnya apa, hingga diet mereka sekalipun harus bisa saya pahami,” tegasnya.

Sayangnya, pada 2004 Dyan jatuh sakit. Ia terkena virus di sistem sarafnya yang membuatnya lumpuh. Ia pun terpaksa berhenti bekerja dari Amanjiwo. Dibutuhkan setidaknya waktu satu setengah tahun untuk kembali pulih. Setelah sembuh, bermodal CV mentereng, dia memutuskan kembali bekerja sebagai konsultan di hotel-hotel di Jogja.

Di Angkringan Majas, Dyan menyajikan menu yang pas di lidah dan mood pelanggan. (Ahmad Effendi/Mojok.co)

Barulah pada 2016, ia memberanikan diri membuka usaha kecil-kecilan. Usaha pertamanya itu ia beri nama “Kopi Kuwali”.

“Makin tua, rasanya ingin aja mengelola bisnis yang lebih kecil, lebih sederhana, tapi family feeling-nya kerasa.”

Baca halaman selanjutnya…

Angkringan Majas dan filosofinya

Angkringan Majas dan filosofinya

Sebelum merintis Angkringan Majas, bersama suaminya ia sudah mengelola Kopi Kuwali. Sayangnya, usaha ini tak berjalan mulus. Kata Dyan, ada saja rintangan di tengah jalan yang menghambat usahanya untuk berkembang.

Misalnya, kedai Kopi Kuwali tak pernah awet di satu tempat. Ada saja hambatan yang bikin kedainya itu harus berpindah ketika pelanggan sudah mulai berdatangan. Lucunya lagi, seperti diceritakan Dyan, Kopi Kuwali bahkan pernah hanya bertahan selama empat hari di lapak barunya.

“Kalau kataku, sih, mungkin kita dulu salah ngasih nama. Kata ‘Kopi Kuwali’ itu mungkin terlalu berat ya,” kata Dyan dengan nada bercanda.

Akhirnya, pada 2020, Dyan memutuskan mengganti nama “Kopi Kuwali” menjadi “Majas” dan membuka kedai baru di tempat yang sekarang ini. Kata “Majas” sendiri ia pilih karena punya makna yang mendalam.

Sebenarnya, “Majas” punya kepanjangan “mari jajan sini”. Namun, dalam terminologi Jawa, kata “Majas” berarti tajam dan ampuh. Dyan pun berharap, dengan hadirnya Angkringan Majas, dirinya bisa lebih tajam dalam melihat setiap peluang rezeki di hadapannya.

“Bahkan, huruf ‘J’ di papan nama Majas ‘kan kita pakai gambar gajah, hewan yang kuat dan cerdas. Harapannya bisnis kita bisa mereplikasi sifat gajah tersebut,” ujarnya.

Alhasil, sejak dibukanya Angkringan Majas, pelanggannya makin bertambah. Kedainya sendiri terpantau tak pernah sepi. Khususnya di malam hari, di mana kedai ini menjadi tempat makan sekaligus berbagi gogon politik oleh para pelanggannya.

Tempat ngobrol dan berbagi cerita

Meskipun kedainya kecil dan sederhana, nyatanya Majas jadi tempat nongkrong favorit buat para seniman Jogja. Saat datang malam hari, tak sulit bagi kalian untuk menemui seniman-seniman lokal seperti Encik Krishna, Anang Batas dan seniman-seniman lainnya.

Menu Nasi Goreng Kecombrang dengan salad black pepper. Sang pemilik dengan senang hati akan memberikan resep dan mengajari masak pelanggan yang makan di tempatnya. (Ahmad Effendi/Mojok.co)

Tokoh-tokoh Alumni Gelanggang UGM, yang kini sudah menjadi peneliti, aktivis, hingga dosen pun, juga menjadikan Majas sebagai tempat mereka berkumpul dan berbagi cerita. Maka, makan di sini tak sekadar bikin kenyang, tapi juga pulang dengan pengetahuan baru.

Selain itu, Dyan juga menyebut, kedainya ini jadi tempat ngumpul anak-anak skena film Jogja. Saat membahas proyek tertentu, biasanya mereka akan begadang semalaman di tempat ini.

“Pernah suatu kali, mereka ini reading di sini. Jadi, orang-orang yang lewat juga pada heran, pada ngeliatin,” kata Dyan.

Dengan senang hati ngajarin resep masakan

Meski usahanya ini semakin berkembang, hingga saat ini Dyan mengaku belum mau untuk melebarkan sayap. Seperti membuka kedai di tempat yang lebih luas ataupun buka cabang. Baginya, kedainya kini sudah seperti apa yang ia cita-citakan dulu.

“Visiku ‘kan pengen bikin tempat yang family feeling, kalau datang itu rasanya kayak pulang ke rumah sendiri,” ujarnya.

“Aku belum berpikir mau buka cabang, tapi kalau ada yang minta ajarin resep, dengan senang hati bakal kuajarin,” pungkas Dyan, menutup obrolan kita malam itu.

Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version