Selama 60 tahun Mbah Sri jualan sate, cenil, dan klepon dengan cara berkeliling. Ia tak berhitung untung rugi, yang pasti ia bersyukur ada yang beli. Kini ia bisa ditemui di seputaran kampus Universitas Brawijaya, Malang.
***
Hujan yang mengguyur Malang beberapa sore belakangan tak menghalangi Mbah Sri tetap berjualan. Tubuh renta dan bungkuknya gagah menggendong sate di tangan kanan dan nampan bulat berisi cenil serta klepon di tangan kiri.
Sore ini hujan turun sejak sehabis asar, Mbah Sri bersiap dari rumahnya di Jl. Gajayana, Malang, menggunakan jas hujan plastik berwarna kuning. Ia naik angkutan umum membayar Rp5 ribu sekali jalan dan turun di gerbang veteran Universitas Brawijaya.
“Ayo, Nak. Masih anget, masih anget,” kata Mbah Sri menjajakan jualannya kepada para mahasiswa yang lewat.
Sudah jualan keliling 60 tahun
Perempuan kelahiran 17 Agustus 1953 ini, tepat lima bulan lagi berusia 70 tahun. Mbah Sri mulai berjualan keliling sejak usia 10 tahun, saat itu ia masih duduk di kelas 3 SD. Pasar Malang menjadi saksi bisu perjuangan Mbah Sri berjualan selama 55 tahun. Namun, 5 tahun terakhir ia pindah jualan keliling di sekitar Jl. Gajayana dan masuk di kampus Universitas Brawijaya (UB).
Mbah Sri mengaku tak mengambil satu tempat khusus di Pasar Malang karena tak punya biaya. Makanya ia berjualan keliling.
“Kalau ambil tempat kan pakai uang, ya tapi waktu itu ga punya uang, jadi keliling aja muter-muter,” terangnya.
Pasca-kebakaran di Pasar Malang, ia memutuskan untuk jualan keliling ke jalan-jalan raya. Kemudian salah seorang mahasiswa Fisip mengajaknya jualan di kampus.
Saat pandemi melanda, Mbah Sri kembali harus jualan di jalan raya karena kampus tutup sementara. Kini ia sudah balik berjualan di kampus dan biasanya jualan di sekitar gerbang veteran UB, Perpustakaan UB, dan Fisip UB.
@ida_wijaya Dari mbah Sri, kita belajar tentang kegigihan, semangat pantang menyerah dengan keadaan. Dan harus yakin, bahwa selalu ada pertolongan Tuhan di setiap kesulitan 🥺 #pejuangsenyuman #idawijaya #berbagikebaikan #bersyukur
Mbah Sri, meski tubuh renta tetap ingin produktif dan tidak membenani keluarganya. (TikTok @ida_wijaya)
Tak ingin jadi beban anak
Mbah Sri punya tiga anak dan beberapa orang cucu. Dua di antaranya tinggal bersama Mbah Sri. Walau hampir memasuki kepala tujuh, ia ingin menjadi produktif.
“Nggak enak (membebani), jadi harus kerja,” kata Mbah Sri.
Sehari-harinya ia kadang pulang dijemput oleh anak perempuannya. Seperti hari ini, anak perempuannya membantu mengangkat jualan Mbah Sri dan duduk di sekitar Mbah Sri ketika melayani pembeli.
Saya mewancarainya sebelum Ramadan. Saat itu kepada saya Mbah Sri bercerita kalau dirinya tetap akan jualan. Biasanya ia membawa sate saja dengan sedikit cenil karena ada saja pelanggan yang menanyakan makanan manis itu.
Cenil adalah penganan tradisional yang terbuat dari adonan tepung kanji dan gula pasir, diberi pewarna, berbentuk bulatan-bulatan kecil, dimakan dengan kelapa parut
Namun, dia awal-awal Ramadan ini saya sengaja mencarinya tapi tak juga bertemu dengannya.
Mbah Sri bercerita, ketiga anaknya juga jualan seperti dirinya. Ada yang jualan pempek, boba, dan cenil juga. Kalau Mbah Sri jualan keliling, anaknya memilih jualan di depan rumah.
“Pokoknya nggak ada yang nganggur,” ujarnya.
Jualan sate dan cenil dari sore sampai habis
Biasanya Mbah Sri membuat dagangannya di pagi hari sekitar jam 8. Ia lalu mulai jualan sehabis asar sekitar jam 15.30.
Ia pulang sekitar jam tujuh atau setengah delapan malam saat sate dan cenil serta klepon yang ia jajakan habis. Kalau tidak habis, ia bawa pulang lagi dan memberikannya kepada cucu maupun orang yang mau.
Di tengah wawancara, seorang pembeli menghampiri dan membeli sate serta cenil. Mahasiswa tersebut berasal dari Fakultas Peternakan dan mengaku pernah beberapa kali membeli jualan Mbah Sri.
Saya melihat langsung sikap ramah Mbah Sri. Beberapa kali Mbah Sri memberi ‘bonus’ kepada mahasiswa yang membeli. Ia juga kerapkali minta maaf karena uang kembaliannya basah akibat hujan.
“Ayo, Nak. Ayo, Cantik. Masih anget, enak loh,” katanya berulang kali dengan sangat ramah tiap kali ada mahasiswa lewat.
Saya pun mencoba cenil dan klepon yang disiram gula merah. Rasanya masih sama seperti waktu saya membeli pertama kali saat baru jadi mahasiswa di UB, legit dan enak.
Rasanya sosok Mbah Sri juga tidak asing buat mahasiswa UB karena tiap sore ia pasti menuju Perpus UB tempat mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul.
“Alhamdulillah, rame,” ucap Mbah Sri senang.
Mbah Sri tak berhitung soal untung rugi
“Jualannya bukan punya saya, bukan punya ibu saya. Punya tetangga,” katanya menjelaskan awal berjualan.
Dulu Mbah Sri hanya menjual dagangan tetangganya. Namun, kini ia sudah lama jualan buatan sendiri. Seporsi cenil dan klepon ia jual 5 ribu rupiah, sedangkan untuk satu tusuk sate ayam, sate ampela, atau sate usus harganya 6 ribu rupiah. Semuanya dibuat sendiri oleh tangan Mbah Sri.
Mbah Sri tak menghitung bersih soal untung rugi. Baginya selama ada pembeli, ia sudah bersyukur.
“Waduh gatau, Nak. Nggak bisa memperkirakan (sebulan dapat berapa). Kalau masih banyak kan bawa pulang, cucu banyak ya biar dimakan. Enggak tentu berapa. Saya nggak ngitung,” ujarnya.
Ia juga tak menghitung modal secara bersih. Adapun bahan-bahan yang ia beli untuk bikin jualan seperti gula merah, gula putih, ketan, kelapa kanji, ayam, dan gas.
Bagi Mbah Sri, intinya ia tetap jualan setiap hari dan memenuhi pesanan khusus dari pelanggan. Ramai tak ramai, Mbah Sri menempatkan rasa syukur di tempat pertama.
“Ada saja yang beli (pesan khusus). Ada aja pesanan dari pelanggan ya cenil, ya klepon,” ujarnya.
Menjelang isya, saya dan Mbah Sri berpisah di pertigaan Jl. Sosio Politica FISIP, tempat Mbah Sri biasa menanti pembelinya. Ia akan mengantarkan pesanan sate ke salah satu pelanggan. Sekali lagi, bagi Mbah Sri bukan persoalan besar kecilnya keuntungan, melainkan upaya tetap produktif di usianya yang tak lagi muda.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Penjual Nasi Goreng Keliling yang Lebih Takut Jualan Menetap daripada Ketemu Hantu dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.