Sejak dulu, pengalaman saya mencicipi makanan yang tergolong kuliner ekstrem masih cukup minim. Paling mentok baru mengganyang daging nyambek alias biawak. Itupun, bagi masyarakat di kampung halaman saya, Nganjuk, Jawa Timur, daging biawak tak tergolong ekstrem-ekstrem amat. Sebab, ia dijual bebas di pinggir jalan.
Meski demikian, tingkat penasaran saya dengan citarasa “hewan yang aneh-aneh” cukup tinggi. Apalagi, saya kerap menonton video mukbang makanan ekstrem dari Thailand, Filipina, China dan lain sebagainya di Reels Instagram–yang bikin lidah saya makin kepo.
Sayangnya di Jogja, tempat saya tinggal selama tiga bulan ke belakang, masih sulit untuk menemukan warung makan yang menjual kuliner ekstrem. Jumlahnya bisa dihitung jari.
Ketika saya mulai riset, Google Maps merekomendasikan salah satu warung yang paling kondang: Warung Kuliner Ekstrem Bu Tini namanya. Ia berlokasi di Dusun Gandekan, Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Sleman.
Melihat menu yang disajikan, sebenarnya saya cukup ngeri. Apalagi kalau membayangkan hewan-hewannya ketika masih hidup. Namun, seorang kawan menantang saya untuk datang dan mencicipi menu di warung tersebut.
Alhasil, tantangan teman dan rasa kepo tadi lah yang akhirnya membawa saya datang ke Warung Kuliner Ekstrem Bu Tini.
Daging ular, codot, tokek, dijual bebas di Warung Kuliner Ekstrem Bu Tini
Saya bersama kedua teman mengunjungi Warung Kuliner Ekstrem Bu Tini pada Selasa (10/9/2024) siang. Cuaca yang mendung membuat saya agak ngebut.
Alhasil, setelah 20 menit berkendara dari Ngaglik, Sleman, saya dan teman-teman tiba di lokasi sekitar pukul 11.30 WIB. Terpampang jelas banner dengan background merah bertuliskan “Warung Kuliner Ekstrem Bu Tini.
Ketika saya dan teman-teman datang, suasana warung itu agak sepi. Hanya terlihat dua motor saja yang terparkir di sebelah kanan warung. Saya pun bergegas masuk.
Damn! Seketika pandangan saya langsung tertuju pada biawak yang nangkring di tembok. Saya sempat pikir itu adalah biawak hidup, sebelum akhirnya sadar kalau itu binatang yang diawetkan.
Di depan pintu menuju dapur, terlihat seorang pria paruh baya sedang duduk di sebuah kursi reyot.
“Monggo, Mas,” sapa seorang pria paruh baya itu sambil berdiri mempersilakan saya untuk masuk.
Saya kemudian melihat buku menu. Di situ tertulis berbagai macam olahan hewan, seperti biawak, bulus, bajing, codot, dara, emprit, tokek, hingga ular. Jujur, saya agak ngeri membayangkan bentuk makanan-makanan itu. Namun, karena rasa penasaran saya lebih besar, saya bergegas memesan biawak goreng, belut goreng, dan tongseng ular.
Nikmatnya daging ular yang lembut dan juicy, seperti paha ayam
Setelah 15 menit menunggu, akhirnya pesanan saya datang. Makanan yang disajikan ini sudah jauh dari kata ngeri. Justru terlihat sangat menggoda.
Saya pun langsung menyantap tongseng ular yang masih hangat itu. Saya bahkan terkejut; sejak suapan pertama, ternyata rasa ular tak seburuk itu. Dagingnya begitu lembut, mudah dikunyah, juicy, dan sama sekali tak amis. Mirip-mirip bagian paha ayam.
Tanpa sadar, saya sudah menghabiskan setengah piring nasi hangat itu.
Lalu berikutnya, saya mencoba daging biawak goreng. Di awal gigitan teksturnya kenyal, sedikit alot, mirip daging kambing. Namun, tak amis juga.
Kalau membayangkan biawak yang nangkring di tembok belakang, jujur saja saya agak susah menelannya. Tapi jika dipadukan dengan sambal bawang yang pedas itu, nafsu makan saya bertambah.
Tak terasa, sepiring nasi di hadapan saya sudah habis tak tersisa. Tapi rasanya kurang kalau saya hanya makan lauknya saja. Akhirnya, saya memesan satu porsi nasi lagi yang kemudian saya padukan dengan belut gorengnya.
25 tahun hobi makan kuliner ekstrem, terasa manfaatnya
Saat saya sudah menghabiskan beberapa porsi kuliner ekstrem itu, tanpa disadari warung mulai ramai. Mungkin karena sudah masuk jam makan siang.
Segerombol bapak-bapak di samping meja saya terdengar sedang membicarakan kuliner ekstrem. Saya pun mendekat dan mencoba mengobrol dengan mereka.
Salah satunya adalah Edy* (52), yang mengaku sudah lebih dari 25 tahun memiliki hobi menjajal kuliner ekstrem. Ia mengaku memiliki rasa penasaran yang tinggi pada citarasa hewan-hewan yang tak wajar konsumsi.
“Woh, saya sudah 25 tahun, Mas, hobi makan ekstrem. Mulai dari daging kirik (anjing), daging kuda, daging ular semua sudah saya coba,” ungkap Edy saat Mojok wawancara Selasa (10/9/2024) siang WIB.
Saya melihat piring kosong yang tergeletak di atas mejanya. Ada enam piring yang ia pesan bersama ketiga teman kantornya. Ia sendiri memesan dua piring tongseng bulus, kesukaannya.
“Kalau bulus itu yang paling saya suka, karena rasanya itu macem-macem, unik,” kelakarnya.
Ia sendiri mengaku, ketika mengonsumsi olahan kuliner ekstrem, ada dampak positif yang dirasakan. Tubuhnya terasa lebih sehat. Buktinya, pada usianya yang sudah setengah abad, ia masih mampu menghabiskan dua piring tongseng bulus.
Selain itu ia juga memberitahu saya jika daging ular memiliki manfaat untuk penyakit gatal-gatal. Apalagi empedunya, yang kata orang-orang, bisa jadi obat berbagai penyakit.
Sudah mencoba jajan di banyak tempat, tapi Warung Bu Tini tetap di hati
Selain itu, Edy juga mengaku sudah menjajal masakan dari berbagai tempat. Namun, salah satu warung kuliner ekstrem yang ia sukai adalah warung Bu Tini. Menurutnya, menu di sini tergolong lebih lengkap dari tempat lain. Harganya pun juga tergolong lebih murah.
“Saya sudah langganan di sini sejak berdiri, Mas, kira-kira 10 tahun yang lalu,” pungkasnya.
Sampai sekarang, Edy masih tetap menjadi langganan warung itu ketika sedang istirahat ngantor bersama teman-teman sejawatnya. Setelah cukup lama berbincang, saya pun undur diri dan lekas membayar makan saya. Di depan kasir, saya meminta tagihan makan saya.
“Biawak goreng Rp25 ribu, Belut goreng Rp25 ribu, Tongseng ular Rp20 ribu. Totalnya Rp70 ribu, Mas,” ujar Bu Tini.
Saya tak tahu harga yang dipatok termasuk murah atau mahal, sebab saya juga baru pertama kali membelinya. Tapi jika merogoh Rp20 ribu untuk seporsi masakan ekstrem demi memuaskan rasa penasaran, menurut saya cukup ekonomis.
“Mampir lagi, Mas. Lain kali cobain tongseng bulusnya,” pungkas Bu Tini.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News