Warung Ikan Bakar Rasa Sayange jadi jujugan orang-orang yang ingin menikmati menu ikan bakar di Yogyakarta. Bumbunya hanya rendaman jeruk nipis, garam, dan minyak goreng. Terkenal karena penuhi tantangan mahasiswa asal Indonesia Timur
***
Dagingnya empuk, meski menyandang sebutan bandeng laut, tapi durinya sedikit. Cuma berbumbu garam dan rendaman jeruk nipis, ikan ini nikmat sekali dinikmati dengan sambal colo-colo.
Biasanya selain senangin, di warung ini saya beli ikan barakuda bakar, tapi pagi itu saya memilih ikan kuwe yang tak terlalu besar sebagai menu sarapan pagi saya.
Makan saya makin nikmat karena sambil mendengarkan cerita pemilik warung tentang bagaimana warung ini berdiri dan jadi jujugan orang-orang Indonesia Timur yang ada di Yogyakarta.
Ikan Bakar Raya Sayange yang buka pagi hari
Hari masih pagi saat saya datang ke warung ini. Saya tahu warung ini baru buka pukul 9 pagi, tapi saya sengaja datang satu jam sebelumnya. Bukan apa-apa, terakhir saya datang ke warung ini siang hari, ikan favorit saya habis.
Rupanya bukan saya pelanggan yang datang paling pagi hari itu. “Tadi ada yang datang pukul tujuh pagi, lah kami belum buka, belum siap apa-apa, jadi yang pergi lagi,” kata Bu Ning.
Nama warung ini Warung Makan Bu Ning Rasa Sayange, Khas Indonesia Timur. Bagi yang belum tahu, pasti menduga warung ini seperti kebanyakan warung makan pada umumnya. Namun, bagi yang tahu, warung ini spesialis ikan bakar.
“Nasinya belum ada, tapi ubinya sudah matang,” kata Bu Ning.
Bagi saya itu nggak masalah. Justru saya biasa makan ikan di warung ini tanpa nasi. Cuma ikan saja, dengan sambal colo-colo dan kadang dengan ubi.
Pagi itu, saya memesan menu dua ikan favorit. Ikan senangin dan barakuda. Saya pilih bukan yang ukuran besar, tapi yang sedang-sedang saja.
Berawal dari tantangan mahasiswa Indonesia Timur
Ada cerita di balik kemunculan warung makan ikan bakar yang jadi langganan orang-orang dari Indonesia Timur ini. Saya mendengarkan langsung cerita dari Wahyuningrum (58) atau akrab disapa dengan nama Bu Ning sedang memilah daun kemangi.
“Dulu itu warung makan biasa. Sempat jualan di Terban, baru tahun 2005 pindah ke sini,” kata Bu Ning membuka cerita. Suaminya, Budiyono (67) duduk santai di dekatnya dan sesekali menimpali untuk melengkapi cerita Bu Ning. Sedang anak bungsunya, Rio (31) tengah fokus membakar ikan pesanan saya.
Bu Ning menceritakan ia membuka warung ramesan di akhir tahun 1980-an. Ia ingat, anak sulungnya saat itu masih berusia 3 tahun.
Setelah pindah ke tempat yang sekarang, pelanggan warungya banyak dari orang-orang Indonesia Timur, kebanyakan dari Sulawesi, seperti Ternate dan Ambon di UGM.
Mahasiswa yang kebanyakan sedang kuliah S2 di UGM itu menurut Bu Ning suka dengan cita rasa masakan di warungnya yang nggak manis. Menu warungnya macam-macam, ada ikan goreng, ayam goreng dan lauk lainnya selayaknya warung makan kecil di tengah perkampungan.
Tahu cara membuat ikan bakar yang enak
Rupanya, menu yang Bu Ning hidangkan, termasuk sambalnya, cocok dengan lidah mahasiswa tersebut. “Kata mereka, ‘masakan ibu enak, nggak manis’,” kata Bu Ning menirukan omongan mahasiswa tersebut.
Suatu hari, salah satu mahasiswa meminta Bu Ning untuk menyediakan menu ikan bakar. Rupanya mahasiswa asal Ternate tersebut kangen dengan makan ikan bakar. Ditantang demikian, Bu Ning menyanggupi.
Mahasiswa tersebut bukan hanya menantang, tapi juga memberikan tips soal bumbu ikan bakar yang ia suka, yaitu ikan direndam di perasan air jeruk nipis, garam, dan minyak goreng.
Bagi Bu Ning tantangan itu sebenarnya tidak berat. Ini karena saat merantau ke Lampung, oleh adik iparnya yang orang Bangka ia diajari membuat ikan bakar yang enak. Tantangan dari mahasiswa Sulawesi itu menurutnya nggak jauh beda dengan yang ia pelajari, yang penting bumbunya nggak pakai gula.
“Dulu aku pernah tinggal di Lampung. Adik ipar saya orang Bangka dan nggak jauh beda, jadi tahu cara buat ikan bakar yang enak,” kata Bu Ning.
Tutup warung ramesan, beralih ke ikan bakar
Bu Ning ingat, pertama kali ia uji coba jual ikan bakar, hanya ada 10 ekor ikan laut yang ia beli di pasar. Kalau nggak salah ingat, ikan kembung. Rupanya ikan bakar buatannya disukai oleh mahasiswa yang menantangnya.
“Mahasiswa tersebut lantas memberitahu kawan-kawan lainnya, ada yang dari Papua, Manado dan lainnya, mereka bilang cocok dengan ikan bakar buatan saya,” ujar Bu Ning.
Dari mahasiswa-mahasiswa tersebut ia mendapat masukan untuk melengkapi menu-menu di warungnya dengan macam-macam hidangan khas Indonesia Timur seperti pepeda, ikan kuah kuning, udang dan cumi bakar. Sayurnya juga makin lengkap seperti sayur garu, keladi, ubi atau kasbi, hingga pisang rebus dan lainnya.
Banyak orang-orang yang suka dengan ikan bakarnya. Suatu hari ada orang tua dari Manado yang makan di warungnya. “Saya nyebutnya opa, ia menyarankan saya untuk menamai warung dengan nama “Rasa Sayange”,” ujar Bu Ning.
Hanya beberapa bulan sejak jualan ikan bakar, Warung Ikan Bakar Rasa Sayange makin ramai. Bu Ning dan keluarganya memutuskan untuk fokus pada ikan bakar. Ia tidak lagi menjual makanan yang ia geluti sejak tahun 1980-an.
“Dari yang semula hanya 10 ekor, meningkat, 10 kilo, 20 kilo, sampai pernah dalam sehari 1 kwintal,” kata Bu Ning.
Orang-orang yang datang bahkan rela lesehan di gang depan warung demi menikmati ikan bakar di warungnya. Sayang, seperti tempat usaha makanan lainnya, warungnya kena imbas Covid 19. “Sekarang sudah mulai membaik, sehari bisa sampai 50 kilogram ikan segar, tapi belum sebanyak sebelum pandemi,” ujar Bu Ning.
Rio anak bungsu Bu Ning menimpali, warungya jadi jujugan banyak pemain bola prefosional untuk menyantap ikan bakar. “Pemain Liga Indonesia kalau main di Jogja itu sering banget makan di sini. Bahkan pemilik klubnya. Begitu juga pemain-pemain timnas kalau ada latihan di Jogja, biasanya mampir ke warung kami,” katanya.
Nggak mau buka cabang, anak-anak bantu semua
Dari seorang teman, saya mendengar kabar kalau hidup bu Ning dan Pak Budiyono ini sederhana. Setiap bulan, konon ia memberi uang saku ke masing-masing anaknya sampai puluhan juta rupiah.
Saya lalu mengonfirmasi hal tersebut pada Bu Ning dan Pak Budiyono. Keduanya lantar tertawa. Tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak, Bu Ning mengatakan, ia sudah bersyukur dengan yang ia dapat.
“Ya saya hanya bisa bersyukur, ketiga anak saya lulus sarjana. Udah pada berkeluarga. Kalau soal nyangoni, ya semua tak sangoni, termasuk rumahnya,” kata Bu Ning tertawa. Ketiga anaknya sampai sekarang masih membantunya. Tiga anaknya cowok semua, ada yang kuliah di UNY, STIE YKPN dan Akindo. Cucunya 5 orang.
Bu Ning dan suaminya tidak ingin buka cabang. Alasannya, biar keluarganya ngumpul semua dan tidak pusing karena punya cabang. “Seperti ini sudah sangat bersyukur. Buka cabang marai mumet, sudah cukup, disyukuri wae,” katanya.
Cukup itu menurut Bu Ning adalah ia dan suaminya bisa berlibur kapan saja, karena ada anak-anak yang jaga warung. “Ke Mekah sudah pernah, bulan depan kalau nggak ada alangan mau ke Labuan Bajo sama bapak,” kata Bu Ning menunjukkan foto-foto bersama suaminya saat berlibur.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.