Cerita Satu-satunya Warung Kuliner Ekstrem di Jogja: Di Tangannya Segala Jenis Reptil Jadi Masakan Menggoda

Ilustrasi - Cerita satu-satunya warung kuliner ekstrem di Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Warung ekstrem Bu Tini menjadi salah satu jujukan penikmat kuliner ekstrem di Jogja. Awalnya adalah sebuah angkringan.

Namun, lantaran hobi berburu hewan-hewan liar, malah berkembang menjadi warung kuliner ekstrem yang banyak peminat. Berurusan dengan pihak berwajib pun sempat mewarnai perjalanan warung tersebut.

***

Menetap hampir tiga bulan di Jogja, awalnya saya tidak tahu menahu perihal warung kuliner ekstrem Bu Tini.

Namun, dua teman saya mengajak untuk coba-coba ke sana. Saya tak menolak, meski saya sebenarnya tak tertarik masakan ekstrem. Saya ingin menyimak cerita dari pemiliknya, karena warung ini mendapat ulasan tinggi di Google Maps.

Pada Selasa (10/9/2024) siang WIB, saya dan tua teman saya akhirnya datang ke warung tersebut. Lokasinya di Gandekan, Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Sleman, Jogja.

Nanang (47), pengelola warung, ia bercerita awalnya ia hanya menekuni usaha angkringan sejak 2011 silam. Di sela-sela mengurus angkringan, ia bersama teman-temannya menyalurkan hobi berburu hewan liar, khususnya reptil.

Buka warung kuliner ekstrem Jogja atas saran teman sesama penyuka hewan reptil

Pada Agustus 2011, Nanang disarankan teman-temannya, kenapa tidak mencoba untuk memasarkan hasil tangkapan mereka? Agar hobi berburu tersebut dapat menghasilkan uang.

Pada akhirnya, Nanang memutuskan untuk meninggalkan usaha angkringannya, mulai merintis usaha kuliner ekstrem di Jogja yang kemudian ia beri nama dari nama sang istri: Bu Tini (warung ekstrem Bu Tini).

Cerita satu-satunya warung kuliner ekstrem di Jogja MOJOK.CO
Lokasi warung kuliner ekstrem Bu Tini. (Adelia Melati Putri/Mojok.co)

Awalnya, warung kuliner ekstrem milik Nanang hanya menjual dua menu masakan saja, yaitu masakan biawak dan soto ayam. Namun, karena permintaan konsumen terus meningkat dari waktu ke waktu, Nanang akhirnya memperbanyak menunya dengan menyediakan hidangan ekstrem lainnya seperti, kodok, ular, dan bulus.

Gara-gara landak, urusan dengan pihak berwajib

Di antara menu-menu ekstrem yang ada di warung, Nanang sempat menyediakan menu masakan dari hewan landak. Namun, ia mengaku sempat berurusan dengan pihak berwajib pada tahun 2020 lalu.

Saat itu ia sama sekali tak tahu kalau menangkap atau menjual landak dianggap melanggar hukum. Mengingat, landak masuk kategori hewan langka yang dilindungi.

“Awalnya saya benar-benar nggak tahu, karena setahu saya dulu landak itukan cuma hewan hama, to?,” ujar Nanang.

“Tapi ternyata sekarang sudah ada undang-undang yang melarang untuk menangkap hewan landak,” sambungnya. Akhirnya, ia pun berhenti menjual masakan dari hewan landak.

Warung kuliner ekstrem Jogja milik Nanang juga pernah menyediakan menu bekicot dan musang. Tapi ia juga berhenti untuk menjual menu tersebut karena kurangnya minat dari pelanggan.

Peminat dari berbagai daerah

Saat buka pada 2011, warung kuliner ekstrem Jogja miliknya hanya terdiri dari gerobak kecil dan tempat lesehan sederhana, bekas angkringannya dulu.

Lalu pada akhir 2014, Nanang memutuskan untuk memindahkan warungnya ke tempat yang lebih besar karena semakin banyak pengunjung.

Pengunjung dari berbagai kalangan dan kota. Seperti dari semarang, Probolinggo, hingga dari Surabaya pun ada,” terang Nanang.

Satu-satunya warung kuliner ekstrem Jogja yang masih bertahan

Nanang menambahkan, saat ini warung miliknya menjadi satu-satunya warung kuliner ekstrem yang masih bertahan di Jogja. Sebelumnya ada dua warung lain dengan konsep yang mirip.

Akan tetapi, kedua warung ekstrem tersebut tidak juga menyajikan menu-menu lain yang lazim. Misalnya di warung Nanang, tersedia juga menu lazim seperti soto hingga belut.

Jadi pengunjung bisa memilih. Yang penasaran rasa kuliner ekstrem bisa coba, sementara yang datang hanya untuk menemani temannya menyantap kuliner ekstrem bisa pilih menu lazim.

Misalnya saya sendiri. Siang saat saya berkunjung ke warung kuliner ekstrem Joga milik Nanang itu, saya berkunjung dengan dua teman. Satu teman saya lah yang menyantap kuliner ekstrem: tongseng ular dan nyambik (kadal) krispi. Sementara saya dan satu teman saya yang lain memesan belut goreng.

Alhasil, lebih banyak pengunjung yang memilih datang ke warung kuliner ekstrem Jogja milik Nanang. Itulah kenapa warung Nanang masih mampu bertahan meski dua warung lainnya bangkrut diterpa Pandemi Covid-19.

“Per hari saya nggak ngitung berapa porsi yang habis, karena satu orang aja bisa pesen empat macam menu berbeda,” ungkap Nanang.

Teknik khusus mengolah reptil

Saat ini, Nanang tidak lagi berburu hewan untuk warungnya. Ia bekerja sama dengan sejumlah pedagang yang rutin menyediakan hewan ekstrem seperti biawak hingga ular piton.

Ia memiliki tempat langganan sendiri yang memang punya usaha koleksi ular-ular besar dan biawak. Selain dari supplier, terkadang masyarakat sekitar juga menawarkan hasil tangkapan mereka ke warung kuliner ekstrem Jogja milik nanang.

Nanang juga menggarisbawahi perlunya mengolah daging reptil yang tepat agar tidak berbau amis.

“Untuk cara mengolah hewan-hewan ini, khususnya hewan reptil, tidak boleh sembarangan mengolah, ada tata cara khusus untuk mengolahnya agar menjadi masakan yang layak dimakan. Mulai dari cara menyembelih, menguliti, mencuci hingga proses masaknya ada tata cara tersendiri,” beber Nanang.

Nanang saat memproses hewan ekstrem untuk dimasak. (Muhammad Ridhoi/Mojok.co)

Teknik khusus tersebut memungkinkan si reptil tak berbau amis, meski tanpa menggunakan bumbu-bumbu aromatik seperti jahe, sereh, daun salam dan lain-lain.

Semua hewan ini, termasuk ular dan biawak, diolah dengan cara di-fillet, jadi hanya dagingnya saja yang diambil. Sementara untuk ular, hanya ular piton saja yang digunakan, karena ular piton memiliki daging yang tebal, sehingga memudahkan saat di-fillet dan saat proses pemotongan.

Nanang menjelaskan, pengolahan ular piton memakan waktu hingga seharian penuh. Karena setelah ular dimatikan, harus direndam terlebih dahulu dalam air hingga mengembang. Biasanya membutuhkan waktu 8 jam.

Perendaman itu penting dilakukan, sebab, saat ular mengembang, proses menguliti dan memotong dagingnya lebih mudah.

Bangkai hewan pengaruhi rasa masakan

Selain proses memasak, tantangan lain dari menjual masakan ekstrem adalah dari hewannya. Sebab, Nanang mengaku sulit mengetahui apakah hewan yang ia terima dari supplier sudah mati sejak lama (bangkai) atau belum lama mati.

“Kalau hewannya sudah mati lama, itu sangat mempengaruhi rasa, termasuk baunya juga,” tutur Nanang.

“Kalau hewannya sudah mati lama, itu rasa dagingnya sudah tidak enak,” terangnya.

Nanang pernah beberapa kali mengalami hal tidak mengenakkan tersebut. Oleh karena itu, ia kemudian memutuskan untuk membeli hewan dalam keadaan hidup.

Masakan istri paling nyantol di lidah pembeli hingga didatangi turis

Kata Nanang, hampir semua pelanggan tetapnya, masakan sang istri lah yang paling disukai oleh pelanggan. Sebab, sang istri memiliki skill mengolah hewan ekstrem tersebut dengan sangat baik.

“Kadang-kadang kan ada pelanggan yang maunya dimasakin sama istri saya, jadi yaudah harus istri saya yang masak,” ungkap Nanang.

Nanang bercerita, Mei 2024 lalu warungnya sempat didatangi oleh turis yang melakukan vlog challenge untuk makan masanan ekstrem ini.

Nanang tak tahu dari mana para turis itu trahu tentang warungnya. Tetapi, kata Nanang, para turis tersebut terlihat sangat menikmati Akan tetapi.

Menu terlaris

Menu paling laris di warung kuliner ekstrem Jogja milik Nanang adalah masakan bulus (sejenis kura-kura) dan biawak, biasanya menu ini ludes pada jam makan siang.

Selain menu ekstrem yang dijual, warung Nanang juga menghadirkan nuansa ekstrem. Di dalamnya ada banyak pajangan: dari tulang cangkang bulus, hingga biawak yang diawetkan.

Biwak yang diawetkan dan jadi pajangan di warung Bu Tini. (Adelia Melati Putri/Mojok.vo)

“Dulu pajangan biawak ini banyak sekali, tapi siapa sangka kalau pelanggan saya banyak yang minat dan membelinya. Jadi ya sudah saya jual saja, sekarang sisa sedikit,” tutup Nanang.

Nanang harus kembali mengolah beberapa reptil untuk dimasak. Saya lalu kembali duduk membersamai dua teman saya.

“Jujur ini pertama kali aku makan ular. Enak juga,” ungkap satu teman saya yang memesan tongseng ular piton. Deskripsi rasa perihak masakan di warung kuliner ekstrem Jogja milik Nanang itu ditulis teman saya dalam tulisan terpisah.

Penulis: Adelia Melati Putri
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA: Cerita Mahasiswa Muslim Tinggal di Kos Penjual Masakan Babi di Mrican Jogja, Nyaman tapi Overthinking saat Ibu Kos Bagi-bagi Makanan

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version