Rebusan yang Hangat untuk Jogja yang Dingin: Pak Jagung dan 27 Tahun ‘Merawat’ Warisan Desa dengan Berjualan Rebusan

Ilustrasi Rebusan yang Hangat untuk Jogja yang Dingin: Pak Jagung dan 27 Tahun ‘Merawat’ Warisan Desa dengan Berjualan Rebusan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Selama 27 tahun, Pak Jagung setia mendorong gerobaknya berkeliling Jogja untuk menjual kacang, ubi, dan jagung rebus. Namun, penjual rebusan ini merasa usahanya ini tak sekadar untuk mencari nafkah, tapi sekaligus “merawat” warisan desanya.

***

Sore itu, Kamis (26/9/24), langit di Caturtunggal, Jogja, mulai menggelap seiring dengan matahari yang hampir terbenam. Bekas hujan masih terasa di udara, menyisakan hawa dingin yang begitu awet. 

Ketika tengah berjalan-jalan menyusuri trotoar, saya melihat uap dari motor gerobak berwarna biru tua. Di sampingnya, tampak seorang lelaki usia paruh baya yang tengah duduk nyaman. 

Saya pun menghampirinya, sambil berharap mendapat sesuatu yang bisa menghangatkan badan yang mulai merasakan hawa dinginnya Jogja. Setelah saya mendatanginya, lelaki paruh baya yang menjual aneka macam rebusan itu memperkenalkan diri. Hamid* (56) namanya. Namun, ia akrab disapa “Pak Jagung”.

Awalnya, saya tertawa karena namanya sedikit unik. Akan tetapi, nama itulah yang ia dapatkan selama hampir 27 tahun berprofesi sebagai penjual kacang, jagung, ubi, talas, dan pisang rebus di atas gerobak birunya.

Merantau dari Cepu ke Jogja untuk mengubah nasib

Kepada saya, Pak Jagung membuka cerita bahwa ia memulai usaha rebusan pada tahun 1997–tepat ketika krisis moneter melanda Indonesia.

“Dulu, harga jagung seribu rupiah bisa dapet lima buah,” kenangnya, Kamis (26/9/2024). Kini, sebuah jagung rebus dia hargai Rp4 ribu.

Rebusan yang Hangat untuk Jogja yang Dingin.MOJOK.CO
Pak Jagung meninggalkan kampung halamannya di Cepu, Blora, untuk menjadi penjual rebusan di Jogja. (Mojok.co/Kiki Sofia R)

Pak Jagung sendiri lahir dan besar di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, kota yang biasa dikenal sebagai kota minyak. Sebelum menggeluti usaha rebusan di Jogja, ia adalah pedagang sembako dan kebutuhan pertanian di salah satu pasar di kota kelahirannya itu.

“Saya dulu jualannya ngedrop ke petani, bisa ambil dulu barangnya, bayarnya nanti kalau sudah panen,” kenangnya.

Meski semua petani menepati janji pembayaran, Pak Jagung merasa perlu mencari alternatif untuk masa depan yang lebih pasti. Sebab, Blora merupakan salah satu kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Sulit untuk mencari penghidupan di sini.

Maka, ia pun memutuskan merantau ke Jogja, kota yang menjadi saksi perubahannya dari pedagang sembako menjadi penjual rebusan.

Menjual hasil panen petani yang langsung dipetik dari sawah

Sejak 1997 hingga sekarang, rutinitas Pak Jagung tak pernah berubah. Sejak pagi buta, ia sudah mengunjungi sawah untuk mengambil pasokan dagangan seperti jagung, ubi, kacang, dan talas dari para petani di Sleman.

“Biasanya beli borongan, satu patok sawah bisa dapat sekitar 1,5 truk jagung. Nanti saya ambil secukupnya tiap hari. Misalnya hari ini butuhnya 300, besok 300, besoknya 400, sampai habis di sawah,” jelasnya sambil merapikan barang dagangannya yang tertata di atas gerobak.

Aneka rebusan yang dijual Pak Jagung. (Mojok.co/Kiki Sofia R)

Tak hanya mengurus persediaan, pada pagi hari itu juga, Pak Jagung menyetorkan jagung rebus ke para pedagang di pasar.

“Saya setor ke mereka, bahkan kadang saya juga ikut jualan di pasar kalau pagi. Gak ngerti, kok bisa gitu ya, saya nggak ada istirahat,” ujar penjual rebusan ini, sambil tertawa lepas.

Selain petani di Sleman, Pak Jagung juga memiliki jaringan suplai pisang dari Bojonegoro yang ia kelola bersama seorang teman. Semua ini menunjukkan betapa terorganisirnya usaha yang ia jalankan.

Mahasiswa selalu ‘menghabisi’ barang dagangannya

Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, sore hari adalah waktu baginya untuk mulai berkeliling. Pak Jagung biasa berangkat berjualan dari rumahnya di Sinduarjo, Ngaglik, Sleman, pukul setengah empat sore. Ia baru akan pulang sekitar pukul 10 malam atau saat rebusannya sudah habis.

“Dulu sempat sampai jam satu malam, tapi sekarang anak-anak sudah melarang,” ujarnya sambil tertawa.

Menurut Pak Jagung, mahasiswa adalah segmen pembeli yang selalu melarisi dagangannya. Bahkan, ia berani mengatakan, tanpa kehadiran mahasiswa dagangannya sulit untuk habis.

“Pokoknya kalau mahasiswa pada libur, kacau deh,” katanya sambil tertawa. “Jogja itu kalau nggak ada mahasiswa, seperti kota mati,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan, ketika musim hujan tiba biasanya dagangan Pak Jagung lebih cepat ludes diserbu pembeli.

“Musim hujan gini, banyak yang nyari camilan hangat,” ujarnya dengan senyum.

Pak Jagung dan ‘Paguyuban Jagung Rebus’

Selain berjualan, Pak Jagung juga mengungkapkan, bahwa ia pernah menjadi bagian dari komunitas “Paguyuban Jagung Rebus”. Komunitas itu terdiri dari para perantau asal Cepu, Blora, yang merantau ke Jogja untuk berjualan rebusan.

“Dulu, kami sering berkumpul dan saling berbagi cerita, seminggu sekali pasti main, tapi sekarang saya sudah tidak tahu mereka jualan di mana,” ujarnya sambil tersenyum mengenang masa-masa itu.

Aneka rebusan yang menjadi favorit mahasiswa. (Mojok.co/Kiki Sofia R)

Meskipun antarpedagang kini banyak yang tak saling mengenal, ia tetap merasa bangga akan keberadaan teman-teman seprofesi yang sama-sama berjuang di kota pelajar ini.

“Setahu saya, banyak orang Cepu di Jogja yang berjualan rebusan, tetapi saya tidak tahu ke mana arah mereka sekarang,” tambah Pak Jagung, menyiratkan kerinduan akan ikatan persaudaraan yang terjalin di antara para pedagang rebusan kala itu.

Berjualan rebusan bukan bisnis yang asal-asalan

Alasan Pak Jagung menjual kacang, jagung, pisang, dan ubi bukan hanya sekadar mencari nafkah untuk keluarganya. Bisnis ini bukan ia jalani secara asal-asalan, tetapi dengan penuh perhitungan.

“Tidak semua orang bisa jualan rebusan waktu itu,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Dengan masih sedikitnya orang yang berjualan rebusan, Pak Jagung merasa bisnisnya akan cepat berkembang.

Berbekal relasi dari profesi sebelumnya, ia dapat memanfaatkan pasokan langsung dari petani. Dari hubungan inilah, ia mampu mempertahankan kualitas dagangannya.

Di awal penjual rebusan ini mengaku pernah mempekerjakan empat orang untuk membantu penjualan. Setiap hari, lima gerobak rebusan menyebar di beberapa wilayah. Namun, seiring kebutuhan hidup yang meningkat, ia memutuskan untuk mengakhiri kerjasama tersebut dan kini berjualan sendiri.

“Beban tanggung jawab terlalu besar, tempat tinggal, makan, juga masih gaji, jadi lebih baik sekarang jualan sendiri saja,” tuturnya.

Berjualan rebusan tak sekadar untuk cari uang

Bagi Pak Jagung, dagang bukan sekadar mencari uang. Ia juga ingin melestarikan warisan desa dengan menjaga kualitas produknya. Ia membawa produk alamiah langsung dari petani ke tangan para pembeli.

“Saya pernah ditanya kenapa nggak pakai cup-cup gitu, saya maunya alami aja. Ubi ya ubi, jagung ya jagung. Biar nanti kalau ada mahasiswa beli, bisa mengingatkan ke kampung halaman,” ujarnya penuh harap.

Bagi Pak Jagung, berjualan rebusan tak sekadar mencari nafkah. Namun, itu sekaligus menjaga warisan desa. (Mojok.co/Kiki Sofia R)

Seperti usaha lainnya, berjualan rebusan juga memiliki tantangannya. Salah satu kendala terbesar yang dihadapi Pak Jagung adalah ketersediaan bahan baku saat musim kemarau. Ketika para petani gagal panen, ia pun ikut terdampak.

“Waktu itu pandemi sebenernya juga sangat mempengaruhi saya. Kan itu mahasiswa semuanya pulang ke kotanya, warga keluar rumah juga dibatasi, tapi waktu itu Alhamdulillah dagangan saya juga tetap habis, karena saya bawanya sedikit menyesuaikan kondisi,” kenangnya.

Namun, dalam setiap kesulitan, selalu ada hikmah yang ia syukuri. Rezeki tidak pernah terputus, dan ia merasa beruntung bisa tetap bertahan.

“Perdagangan itu kalau menurut saya tidak dapat dimatematika, dalam artian setiap harinya total penghasilan berapa. Soalnya rezeki itu ada buat teman, ada yang minta-minta, jadi kalau dikalkulasi semua misal 100 gitu nggak bisa,” ungkapnya dengan penuh kesadaran.

Penulis: Kiki Sofia Rista

Editor: Ahmad Effendi

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Magang Jurnalistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode September 2024.

BACA JUGA Cerita Penjual Angkringan di Jalan Gejayan Lulusan Kampus Informatika, Bahagia Menjadi Penolong Para Pekerja Jogja

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version