Ada banyak cara yang dilakukan masyarakat agar kota yang ditinggalinya aman dan nyaman. Salah satunya seperti Komunitas Jawil Njundil. Tergerak akan maraknya aksi klitih di jalanan Yogyakarta, komunitas ini aktif berpatroli di malam hari.
***
Sabtu (8/01), jam sudah menujukkan pukul 22.30 saat saya dan 3 orang lain bergerak dari Mlati menuju Maguwoharjo. Jalanan mulai sepi. RX King yang saya tumpangi merayap meraung diikuti satu motor KLX di belakang. Bagi orang awam, mungkin saja kami akan dianggap sebagai pembuat onar.
Kami berhenti di halaman belakang sebuah rumah beratap terpal dan dilengkapi meja kursi. Suasana ramai. 10 orang yang sudah berada di tempat tersebut. Basecamp, demikian disebutnya. Seorang pria lantas menyambut kami. Komandan, begitu orang-orang di sana memanggilnya. Ia memperkenalkan diri bernama Danang Iswanto (34). “Kopi atau teh, Mas?” tawarnya kepada saya.
Inilah Jawil Njundil, sebuah komunitas relawan jalanan yang punya cara berbeda dan berani dalam menjalankan aktivitasnya. Kali ini saya akan menghabiskan malam bersama mereka.
Jawil Njundil atau biasa disebut anggotanya dengan singkatan JJ belum genap berusia 2 tahun. Semua bermula dari sebuah organisasi masyarakat bernama Atmo 5, sebuah wadah bagi keluarga tentara dari berbagai matra. Jawil Njundil terbentuk di Atmo 5 wilayah Sleman, Yogyakarta, untuk mewadahi niat para anggotanya dalam menolong sesama. Keresahan soal isu keamanan di Jogja menjadi salah satu alasan awal mereka.
“Kami ingin meneruskan perjuangan orang tua dan leluhur. Mereka kan tentara, banyak dari mereka dulunya pejuang. Masa iya kami tidak bisa menjaga lingkungan terkecil,” ungkap salah seorang anggota JJ.
Sebagai sebuah komunitas, JJ agaknya tidak punya hierarki kepengurusan yang kaku. Ini saya jumpai dari bagaimana para seniornya lupa tentang tanggal dan tahun berdirinya. “Wis setahun, Mas,”, “Pokokmen wis pandemi kok, Mas”, “Durung suwe kok, Mas,” jawab mereka bersahut-sahutan. Danang, yang disebut sebagai komandan, juga tidak sekaku dan semenakutkan itu. Sebutan ‘komandan’ karena ia dituakan di komunitas.
Anggota JJ, selain disatukan dengan kesamaan latar belakang keluarga, juga disatukan dari kesamaan klub motor. Walaupun demikian, Danang mengatakan JJ terbuka untuk siapapun, tidak harus dari kelurga tentara. Maka, latar belakang dan usia anggotanya pun beragam. Ada yang sudah mendekati kepala 5 namun banyak pula anak-anak muda. Profesinya pun beragam. Mulai dari pengemudi ojek online hingga pekerja lepas. Menurut Danang hingga saat ini jumlah anggotanya berjumlah 60 orang.
Sejak awal terbentuk, JJ rutin menggelar patroli seminggu sekali untuk ikut serta dalam menangani berbagai kejahatan jalanan di wilayah Yogyakarta, utamanya klitih. Untuk menjalankan misi itu, mereka selalu berkoordinaasi dengan pihak keamanan setempat. Beberapa bulan lalu misalnya, mereka melakukan audiensi dengan Polres Sleman. Selain itu, mereka juga punya pembina di Atmo 5 yang seorang anggota polisi aktif. Danang mengatakan, keputusan apapun telah melewati koordinasi dengan sang pembina.
Kisah dan kegiatan semacam ini tentu saja tidak seperti program patroli kepolisian di televisi. Mereka tidak dibekali senjata apapun saat menjalankan misi alias tangan kosong. Tidak ada pula uang operasional. Para anggota komunitas hanya dibekali kemampuan bela diri. Latihan rutin seminggu sekali digelar bekerjasama dengan perguruan silat tenaga dalam Gardasi wilayah Sleman. “Selebihnya bismillah, modal wani” canda seorang anggota.
Malam kian larut dan basecamp kian ramai dengan kedatangan para anggotanya. Danang mencoba menghitung anggotanya sebelum menghilang dan kembali dengan satu plastik besar mie instan.
Bukan Robinhood
“Kami bukan Robinhood, kalau ada terduga pelaku, selalu kami serahkan ke aparat, tidak dilepas begitu saja,” ungkap Guntur Irmanda (34), koordinator lapangan Komunitas Jawil Njundil. Menurutnya, tugas mereka hanyalah membantu menangkap. Mereka juga sebisa mungkin tidak menggunakan kekerasan saat menjalankan misi kecuali dalam keadaan terpaksa.
“Semua di sini ikut komando saya, Mas. Kalau saya bilang tidak, anak-anak pasti nurut, tidak bakal main hakim,” imbuh Danang sambil memasak mie.
Secara teknis, tim akan dibentuk dalam berbagai kelompok untuk menyisir lokasi-lokasi yang dianggap rawan. Pemetaan dilakukan dengan mempertimbangkan informasi warganet dari grup Facebook, terutama para pengemudi ojek online. Lokasinya pun berpindah-pindah. Selain menyisir, mereka juga punya langkah taktis untuk pencegatan dan pembuntutan apabila ada upaya terduga pelaku kabur. Pemantauan lokasi per tim dilakukan sepenuhnya lewat WhatsApp.
Untuk menunjang hal itu, urusan sepeda motor anggota saat berpatroli juga turut diperhatikan. Jika ada anggota yang sepeda motornya kurang layak maka ia diharuskan membonceng anggota lain. Semua itu demi menghindari kemungkinan motor rusak di tengah pengejaran.
Menurut Guntur, JJ melakukan patroli malam bukan semata-mata demi menangkap klitih. Lebih dari itu, mereka ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat sekaligus memberikan rasa aman. Mereka juga berharap para pelaku klitih akan berpikir ulang jika membuat onar di wilayah yang sering dijadikan area patroli oleh komunitas itu.
Namun, niat dan tindakan itu tidak selalu membuahkan komentar positif. Guntur dan Danang menuturkan ada aparat yang menganggap kegiatan mereka membahayakan diri sendiri. Sering pula mereka menemukan aparat merespon dingin kala JJ berhasil menangkap dan membawa terduga pelaku klitih ke kantor polisi.
“Kalian tidak tahu ya kalau musuh kalian itu orang nekat? Kalian tidak sayang keluarga?” Guntur menirukan perkataan seorang aparat yang pernah ia dengar. “Kalian itu bukan relawan tapi tukang nggulung klitih,” Danang menirukan omongan sinis lain.
Dalam konteks lebih luas, keduanya menyayangkan kurang cepatnya respon aparat keamanan terhadap isu klitih yang belakangan semakin meresahkan. Menurut mereka, aparat seharusnya bisa bergerak cepat karena punya kewenangan dan kemampuan menangani kejadian semacam itu. Mereka juga kecewa dengan pernyataan beberapa pejabat lokal belakangan ini yang cenderung menyiratkan bahwa klitih tidak semenakutkan isu yang beredar.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Setahun lebih Jawil Njundil mengadakan patroli rutin dan mereka telah mengalami berbagai kejadian. Mulai dari mengejar rombongan berisi 25 motor, dilempari batu oleh terduga pelaku klitih, hingga bersitegang dengan warga dusun tempat si terduga pelaku tinggal. Dibandingkan tidak menemukan, Danang berujar bahwa JJ lebih sering menemukan para bedes—sebutan untuk para terduga pelaku klitih.
Nada kecewa semakin terasa kala keduanya berkisah soal penanganan hukum para terduga pelaku. Guntur mencontohkan, JJ pernah 3 kali menangkap terduga pelaku klitih di suatu wilayah di Bantul. Belakangan mereka tahu bahwa ketiganya bisa lepas dari jerat hukum alias bebas. Padahal Guntur dan teman-temannya sudah menyerahkan para terduga pelaku beserta barang bukti ke kantor polisi.
Bicara soal klitih, Guntur mengatakan bahwa masalah ini sejatinya sangat kompleks. Ia menyebut kejahatan jalanan bernama klitih biasanya dilakukan dalam jumlah kecil, 1 hingga 3 orang. Sementara untuk tren belakangan ini, ia menyebutnya sebagai kelompok pembuat onar. Ia sebut kelompok karena beroperasi dalam jumlah besar, hingga belasan motor. Asalnya pun beragam, mulai dari kelompok sekolah maupun kelompok gabungan.
Terkait acaknya pola pencarian korban, ia mengatakan memang masih ada kelompok klitih menerapkan cara itu. Namun, lebih jauh lagi, Guntur menengarai pemilihan korban acak terjadi ketika 2 kelompok saling serang dan ketika perjalanan mereka masih belum puas sehingga melukai siapapun yang sekiranya lemah.
Kenekatan para terduga pelaku juga tidak datang tiba-tiba. “Mesin kendaraan mereka sudah dimodifikasi sehingga mudah kabur dan kalau dikejar dengan motor standar pasti susah,” terang Guntur. Lebih jauh lagi, pria tambun itu juga mengisahkan kebanyakan terduga pelaku klitih sudah berada di bawah pengaruh zat terlarang sehingga mereka bisa nekat. “Sudah bukan alkohol lagi, tapi kimia, kan kelihatan jelas itu,” imbuhnya.
Waktu mendekati pukul 1 dinihari. Danang baru saja selesai masak. Satu panci besar berisi mie rebus ditaruh di atas meja. “Kudu entek!” Danang memberikan komando pertamanya. Percakapan sejenak terhenti, berganti dengan denting piring dan sendok.
Keluarga jadi korban klitih
Selain aktif berpatroli, Jawil Njundil rupanya juga turut menjadi wadah bagi mantan pelaku klitih. Danang menunjuk beberapa anak muda di basecamp. “Mereka dulu pelaku, lalu kami bina dan sekarang malah membantu kami.”
Salah satu anak muda itu bernama Benthed (24), warga Godean. Di tahun 2014-2017, ia aktif di geng sekolahnya. Setelah ‘ditatar’ pada 2014, 30 kali sudah ia ‘tampil’, baik dalam tawuran terbuka maupun melukai musuh di jalanan pada malam hari. Namun, tidak seperti sekarang, kala itu ada aturan untuk tidak melukai siapapun selain anggota geng musuh. Ada proses identifikasi verbal untuk memastikan apakah seseorang boleh dilukai atau tidak.
Titik balik pria itu terjadi pada 2017 kala bapaknya sendiri menjadi korban klitih. Waktu itu, sang ayah sedang ronda dan tiba-tiba diserang sekelompok orang. Sang ayah mendapatkan luka di bagian kepala dan tangan akibat sabetan senjata tajam sehingga berbuah 30 jahitan. Benthed tidak menyangka, karma dari perbuatannya akan mengenai keluarganya sendiri secepat itu.
Pria gondrong itu mengenang, ada banyak alasan seseorang aktif di dalam geng dan kemudian terlibat di kegiatan yang kini disebut klitih. Ia mengenang, geng adalah pelariannya dari rasa kesepian dan keinginan mencari status sosial di sekolah. Ia juga tidak menampik jika ‘tampil’ di jalanan juga menjadi salah satu cara agar seseorang diterima di dalam geng. Untuk kondisi sekarang, Benthed menengarai maraknya video Youtube berisi wawancara pelaku tawuran daerah Jabodetabek sebagai salah satu alasan baru. Menurutnya, tidak sedikit orang mendapatkan keberanian dan inspirasi dari video semacam itu.
Pengalaman panjangnya berakhir di sebuah dendam. Kini, ia sangat ingin membasmi para klitih, syukur-syukur bisa menemukan kembali pelaku yang pernah melukai ayahnya. Lucunya, sekalipun pernah melakukan aksi, ia juga merasa was-was terhadap kondisi sekarang ketika klitih cenderung mencari korbannya secara acak.
Benthed turut berbagi pengalaman menyoal cara menghindari klitih. Ia menekankan agar para pengendara aktif melihat spion saat berkendara sendirian terutama di malam hari. Andai dibuntuti orang mencurigakan, jika memang kendaraan memungkinkan untuk melaju kencang, cara itu bisa ditempuh. Jika tidak, berhenti di tempat ramai dan meminta pertolongan adalah langkah yang paling bisa dilakukan.
Benthed, Guntur, dan Danang punya versi berbeda menyoal daerah rawan klitih. Guntur menyebutkan area Jalan Magelang selepas perempatan Beran, Jalan Kabupaten, dan daerah sekitar Jogja Expo Center. Sementara bagi Danang wilayah Sleman saat ini sudah lebih aman dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, ketiganya menyebutkan satu nama tempat yang sama: ringroad selatan dari Madukismo hingga Gamping. “Dari dulu rawan. Wong saya sering terjun di sana,” ujar Benthed mengenang masa-masa itu.
“Lokasinya acak, mereka juga punya mata-mata,” tambah Guntur.
Ada alasan teknis di balik kerawanan tersebut. Guntur mencontohkan Jalan Kabupaten. Ruas jalan itu lurus dan minim lampu penerangan serta memiliki pintu masuk ke berbagai dusun yang sama gelapnya. Beberapa kali ia mengejar klitih di Jalan Kabupaten dan kehilangan jejak setelah mereka kabur ke tengah pemukiman warga.
Aktif di komunitas yang sering menangani klitih tidak membuat anggota Jawil Njundil selalu aman dari klitih. Beberapa anggota pernah menjadi korban ketika berada di luar. Pun, ada pula geng tertentu yang merencanakan penghadangan terhadap anggota JJ ketika berkendara sendirian. Guntur pernah mengalaminya, suatu kali ia dicegat 2 remaja dan salah satu dari mereka menodongkan pedang.
“Ya mereka salah cari musuh dong,” Guntur terkekeh mengenang momen itu. Ia curiga bahwa sepeda motornya yang dicat motif airbrush sudah dikenali oleh para anggota geng.
Perlawanan pihak terduga pelaku tidak hanya sekadar penghadangan secara langsung. Suatu kali, seorang anggota keluarga terduga klitih yang ditangkap JJ tidak terima karena ada perlakuan kurang menyenangkan. Ia berniat meminta ganti rugi. Tidak sekali pula JJ mendapat ancaman pelaporan ke polisi atas tindakannya. Namun, Guntur dan Danang selalu menanggapinya dengan santai. “Kami merasa benar dan kami juga bukan organisasi ilegal. Ada tim dari Atmo 5 akan mendampingi jika memang itu terjadi,” ungkap Danang.
Patroli malam
Pukul 01.30 sudah menjelang. Guntur mengumpulkan para anggota dalam sebuah apel dadakan. Arahan diberikan untuk patroli malam ini. 3 tim dibentuk, masing-masing berisi 8 orang. Setiap tim akan menyisir wilayah berbeda di sekitar Sleman. Hujan tiba sesaat setelah doa dimulai. Kami berteduh sejenak.
15 menit berselang, hujan reda dan kami mulai bergerak. Semburat jingga tipis terlihat di langit barat. Saya berboncengan dengan Guntur, timnya akan menyisir area Jalan Magelang mulai dari flyover Jombor. Kecepatan dipertahankan di angka 30 kilometer per jam. Jalanan sudah sepi, tinggal satu dua motor dan kendaraan-kendaraan besar. “Di sini kami dulu pernah dilempari orang juga,” seru Guntur saat masuk ke underpass Kentungan.
Hujan deras kembali turun saat kami berada di Jombor. Kami berteduh di depan sebuah minimarket. Tim lain ternyata juga kehujanan dan memilih berteduh. “Kita monitor di sini sambil nunggu reda,” perintah Guntur. Anggota tim ini mayoritas anak-anak muda berusia 20-an tahun. Mereka menunggu hujan reda sembari bercanda ria atau bermain gim online. Ada pula yang menyempatkan tidur. Guntur sendiri memilih berbincang dengan seorang pengemudi ojek online yang sedang berteduh.
Tidak ada keluh kesah, umpatan, ataupun penyesalan terdengar di hujan dini hari ini. Para anggota tetap santai menunggu hujan reda sambil sesekali celingukan mengamati pengendara yang melintas. Hujan mulai reda menjelang pukul 03.00. Kami beranjak ke utara dengan kecepatan sedang. Jalanan mulai ramai dengan para pedangang pasar.
Tiga tim kembali bertemu di Denggung, Sleman. Semuanya nihil, tidak ada kejadian atau klitih yang tertangkap selama perjalanan. “Di daerah utara banyak sekali polisi patroli, mungkin efek karena minggu lalu ada tawuran di daerah Turi,” terang Danang. Anggota kembali ke kesibukan masing-masing. Ada yang tidur, bermain gim, ataupun sekadar bercakap-cakap.
Suara muadzin pertama pagi itu mulai terdengar. Ia akan membangunkan orang untuk salat Subuh. Apel dadakan kembali digelar dan ditutup dengan doa. Danang memberi instruksi untuk membubarkan diri. Kami bersiap pulang ke kediaman masing-masing. Suasana dingin kian terasa seiring gerimis nan kian deras.
Kali ini patroli Jawil Njundil tidak mendapatkan hasil. Entah karena memang tidak menemukan, atau karena hujan sehingga para bedes enggan muncul, atau memang kota ini sudah kian aman. Apapun itu, hal ini tentu patut disyukuri. Tidak perlu ada peristiwa pengejaran dan saling teriak pagi ini. Semua bisa pulang dengan selamat dan bergembira ria.
Dari atas motor saya melihat Benthed menahan kantuk. Ia mungkin harus sejenak menahan dendamnya untuk menghajar para klitih yang pernah melukai bapaknya. Sebuah jenis kejahatan yang mencipta luka di hati sekalipun dulu ia pernah melakoninya.
Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Mie Ayam Pak Sarmintul dan Restu Istri untuk Mundur dari BUMN dan liputan menarik lainnya di Susul.