Ibnu Mufit, usianya baru 21 tahun. Sudah 2 tahun ia aktif bertani. Lahan yang ia kelola seluas 4000 meter persegi. Kepada Mojok ia bercerita keluh kesahnya menjadi petani muda.
***
Mufit tampak gemuk dan segar, mungkin telah sukses menjadi petani di kala rekan sebayanya masih bergelut dengan skripsi dan isu kenaikan gaji. Suatu malam (15/1), saya bertandang ke rumahnya di Kendangan, Caturharjo, Sleman, Yogyakarta.
Menjelang lulus SMK pada tahun 2018, Mufit mencoba peruntungan dengan mengikuti program ‘Bidik Misi’ namun gagal. Ia hanya ingin masuk jurusan pertanian, tidak lainnya. Bahkan ia tidak berniat mengambil jurusan otomotif sebagaimana jurusannya ketika SMK.
Tentang keinginannya menjadi petani, ia tidak tahu alasan pastinya. Mufit tidak dibesarkan di keluarga petani. Bapak dan ibunya bertani sekadar untuk menyediakan kebutuhan beras bagi keluarga. Di luar itu, sang bapak bekerja sebagai tenaga harian lepas dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang kadang menjahit. Kenangannya soal bertani hanya ketika ia membantu bapaknya di sawah, dulu.
Kebingungan setelah lulus SMK membawa Mufit bekerja di sebuah kebun buah. Di sana ia bekerja sambil belajar dunia pertanian. Mulai dari aplikasi dan pemilihan pupuk, olah tanah, hingga manajemen hasil pertanian. Gajinya tidak besar. Tapi ia mengenangnya sebagai tempat belajar dalam arti sesungguhnya.
Setahun bekerja, ia mendapatkan keyakinan bahwa dunia pertanian menyimpan potensi besar. Mufit memutuskan keluar dan mulai bertani sendiri.
Semuanya dimulai dari lahan 600 meter persegi milik keluarganya. Pilihannya langsung jatuh ke komoditas cabai, sebuah komoditas yang tergolong sulit dibandingkan jenis tanaman lain.
Bagi Mufit saat itu, pilihannya bukanlah sebuah kenekatan. Ia menjalankannya dengan penuh keyakinan dan keberanian. Setahun sudah belajar dan saatnya ia keluar untuk menjalani kehidupan secara lebih bebas.
Sebagaimana anak muda umumnya, Mufit juga kadang membayangkan menjadi seorang karyawan. “Siapa sih yang tidak ingin punya pekerjaan resik dan berseragam?” selorohnya. “Tapi aku lebih suka begini, bebas, tidak ada yang mengatur,” ia melanjutkan.
Kebebasan itu, baginya, juga soal mengatur pendapatannya. Mau sedikit atau banyak, semua bisa dikonsep, demikian katanya.
Di tahun pertamanya menjadi petani, Mufit pernah iseng-iseng mendaftar pekerjaan. Mulai dari pegawai swasta hingga seleksi CPNS. Biar kayak orang-orang, demikian candanya.
Dua tahun sudah ia menjadi petani. Keluarganya sudah paham dunia dan keinginan Mufit. Untungnya, ia tidak dibebani beraneka macam tuntutan. Kedua orang tuanya membebaskan arah langkah sang anak.
Mufit mengenang, ibunya hanya pernah bertanya soal kesungguhannya untuk menjadi petani. Ia pun sudah kenyang dengan berbagai suara miring dari para tetangga. Mulai dari yang menyayangkan pilihannya, memberikan informasi lowongan pekerjaan, hingga menyuruhnya mencari usaha baru demi masa depan lebih baik.
“Mungkin mereka menganggap aku bertani karena bingung cari kerjaan,” tukasnya.
Menurutnya berbagai omongan miring itu datang karena ia tidak bisa menunjukkan hasil secara materiil dari pekerjaannya sebagai petani. Ia mencontohkan, beberapa rekannya yang bekerja di pabrik sudah bisa kredit sepeda motor atau beli gawai baru. Sementara, ia masih begitu-begitu saja. Motornya masih sama, begitupun smartphone-nya. Itu semua bukan tanpa alasan.
Tak sekedar jargon
Mufit bagi saya adalah antitesis dari kampanye sosial tentang dunia pertanian. Ia tidak pernah membuat status atau story di media sosial berisi foto diri saat bertani dengan bumbu kata-kata puitis atau reformis. Ia pun mengakui sendiri, bertani adalah pekerjaan berat.
Memasuki awal tahun ini, Mufit harus merelakan tanaman cabainya mati karena tingginya intensitas hujan. Otomatis ia rugi. Akhirnya ia mengubah lahan 600 meter yang semula ditanami cabai menjadi padi karena lebih tahan cuaca buruk.
Saat ini lahan tersebut baru selesai ditraktor dan akan mulai tanam beberapa hari ke depan. Rencananya untuk mendapat pendapatan tambahan dari cabai harus pupus.
“Ya bayangkan saja, sebulan aku harus beli benih cabai lalu keluar biaya buat traktor. Sedangkan keuntungannya baru 3 bulan lagi,” ungkapnya.
Menyoal keuntungan, ia setuju bahwa dunia pertanian memang menguntungkan. Namun, semua itu kembali ke mekanisme pasar. Mufit mencontohkan komoditas cabai dengan harganya mencapai Rp100 ribu per kg.
Sekilas terdengar menggiurkan tapi dibalik semua itu ada aneka hal yang jarang diketahui orang awam. Mahalnya biaya pratanam, perawatan rumit, dan tidak stabilnya harga komoditas adalah beberapa contohnya.
Masih soal cabai, ia mencontohkan banyak orang tergoda dengan harga jualnya. Menurutnya, banyak orang lupa bahwa keuntungan itu baru akan datang 3 bulan setelah panen. Itu pun tidak ada yang bisa memprediksi harga di kala panen. Bisa saja beruntung mendapatkan harga Rp100 ribu per kg, Rp15 ribu per kg, atau malah gagal panen karena serangan patek, sejenis jamur yang menjadi momok petani cabai.
Maka, bungsu 2 bersaudara itu juga mengkhidmati bertani sebagai sebuah pekerjaan yang membutuhkan inovasi. Ia sadar, keuntungan dari bertani paling cepat datang dalam kurun sekitar 2 bulan. Untuk itu, lahannya ia tanami berbagai macam komoditas dengan rentang waktu panen berbeda-beda.
Dengan begitu, ia bisa mendapatkan keuntungan dengan masa tunggu relatif pendek. Biasanya, ia menanam padi, sayuran, hingga cabai. Namun itu hanya berlaku di musim kemarau. Menjelang musim hujan, semua lahannya akan ia ubah ke komoditas padi supaya lebih aman dari berbagai kemungkinan buruk.
Mufit juga sadar bertani butuh proses belajar. Ia belajar dari banyak sumber mulai dari buku bacaan, video Youtube, hingga di berbagai forum petani. Ia paham, inovasi mutlak dibutuhkan di masa sekarang.
Di balik semua itu, ia sepenuhnya mafhum bahwa sebagai petani ia tidak bisa seenaknya menentukan harga. Kala harga panen tinggi, ia boleh berbangga hati. Namun kala harga panen rendah, ia pun harus siap gigit jari. Untuk itu, setengah tahun sudah ia menjalankan usaha lain yang masih berkaitan dengan dunia pertanian: jual beli gabah
Berbicara keuntungan, Mufit cenderung kebingungan menjawabnya. Katanya, keuntungan menjadi petani tidaklah seperti yang dibayangkan banyak orang. Ia misalnya, harus memikirkan ongkos pratanam hingga ongkos musim tanam selanjutnya.
Ia mengenang, suatu waktu pernah mendapatkan Rp13 juta selama 5 bulan dari cabai, padi, dan kacang panjang. “Tapi ya tunggu 5 bulan,” lanjutnya. Di kala beruntung, misalnya saat harga cabai tinggi, setiap 3 hari sekali ia bisa mendapatkan uang Rp500 ribu.
Keberanian dan perhitungan matang mungkin telah menjadi bagian dari pilihannya menjadi petani. Tidak sampai setahun setelah memutuskan bertani, ia menyewa 2 petak lahan dengan luas total sekitar 3400 meter persegi.
“Bertani kalau lahannya sempit itu rugi, tanggung,” tukasnya. Untuk itu, ia harus membayar 5 juta per tahun untuk masa pakai 2 tahun ke depan.
Saya iseng bertanya soal pendapat Mufit tentang salah satu slogan yang pernah saya dengar bahwa menanam adalah melawan. Ia tertawa saja. “Melawan siapa? Menanam ya cari duit lah.”
Langkanya petani muda
Pemerintah sejatinya sadar bahwa pertanian merupakan hal penting bagi peradaban. Merekapun tidak tinggal diam. Salah satunya adalah lewat program bernama ‘Petani Milenial’ oleh Kementrian Pertanian. Menurut sekretaris Petani Milenial Kabupaten Sleman, Jamaludin Nur Ridho (20), program ini diciptakan untuk mendorong minat generasi muda terhadap dunia pertanian.
Hasil pendataan Dinas Pertanian Kabupaten Sleman, terdapat 379 petani milenial dengan berbagai latar belakang. Jamal menerangkan, angka itu terdiri baik dari anak muda di bawah usia 39 tahun baik yang telah sepenuhnya menjadi petani ataupun yang baru ingin belajar dan sekadar tertarik.
Lewat program petani milenial, pemerintah menyediakan berbagai program untuk mendukung minat dan kemampuan anak-anak muda di dunia pertanian serta mendorong kolaborasi lintas pihak. Baru-baru ini misalnya, diadakan pelatihan kewirausahaan untuk 20 orang petani milenial.
Mahasiswa jurusan pertanian ini menunjukkan visi dan misi petani milenial Sleman. Menjadi petani milenial Kabupaten Sleman yang berjiwa agrososiopreneur maju, mandiri, modern, demikian visinya.
Walaupun demikian, bantuan dari pemerintah untuk anak-anak muda yang ingin bertani masihlah sebatas menjembatani dengan pihak lain seperti perusahaan dan bank untuk keperluan modal. Belum ada, misalnya, kebijakan khusus bagi anak muda supaya lebih mantap saat menjajal dunia pertanian.
Membagi angka di atas dengan jumlah kecamatan di Sleman sebanyak 17, maka rata-rata terdapat 22 petani milenial di tiap kecamatan di Sleman. Saya mencoba melihat di lapangan saat suatu Minggu berkeliling di daerah Seyegan, wilayah Sleman barat yang katanya merupakan lumbung padi Sleman.
Di bulak berbagai dusun, alih-alih menemukan anak muda, seringnya saya menemukan petani-petani tua. Setidaknya telah berusia 40-an. Anak-anak muda saya temukan malah lalu lalang di jalanan.
Mufit sendiri berkisah bahwa tidak ada anak muda di desanya yang mau jadi petani bahkan untuk sekadar membantu orang tuanya. Jangankan anak muda, ia berujar bahwa mencari tenaga kerja untuk keperluan tandur atau menanam saja sulit. Ia harus mencari orang dari luar dusunnya sendiri.
Lucunya, ada 3 pemuda tetangganya yang sering Mufit pekerjakan untuk membantunya di sawah, entah itu menanam cabai atau memanen cabai. Mereka, kata Mufit, malah sering menawarkan diri dan meminta diajak lagi.
Menurutnya, banyak anak muda enggan bertani karena belum tahu potensi di baliknya. Mufit menduga, banyak dari mereka berpikir bahwa bertani harus selalu soal menanam padi. Padahal, banyak komoditas selain padi yang bisa membawa keuntungan besar.
“Tetapi sekali lagi, itu semua berbanding lurus dengan perawatannya,” demikian ia menegaskan.
Misalnya cabai, harganya bisa puluhan ribu per kilogram. Tapi di balik semua itu cabai butuh biaya pratanam tidak sedikit, perhatian luar biasa, dan rentan terhadap cuaca buruk.
Maka, sekalipun menggarap lahan 4000 meter, Mufit hanya berani menanam cabai di lahan 1000 meter. Ia mengaku tidak kuat jika semua lahan garapannya ditanami cabai. “Wah bisa jutaan tuh modal produksinya, belum lagi nanti kalau pas panen pasti repot.”
Bagi Mufit, salah satu tantangan terbesar menjadi petani adalah kebijakan pemerintah yang kadang menyulitkan. Ia mencontohkan bahwa jadwalnya memupuk padi terlambat 5 hari karena kesulitan mendapatkan pupuk subisidi.
Mufit tak punya banyak pilihan sebab harga pupuk non-subsidi 3 kali lebih mahal dibandingkan harga subsidi. “Untung saja tidak pas menanam cabai, kalau cabai telat memupuk 5 hari sudah pasti tidak bisa panen,” keluhnya.
Sementara itu, pagi-pagi Mufit mengendarai motornya menuju sawah, 1,5 km dari rumah. Di jok belakang terdapat sekarung pupuk seharga 150 ribu. Tidak ada anak muda yang ia jumpai.
Di kala sebayanya sibuk meniti karir dan menggarap skripsi, ada 2 petak lahan yang telah menanti pupuk di motornya. Andai ia suka dengan slogan, pasti Mufit sudah memfoto dirinya untuk diunggah ke sosial media dengan kata-kata puitis bahwa menjadi petani adalah hal sangat keren kiwari ini.
Langkahnya pasti, tanpa satupun gontai. Tidak ada langkah penuh sesal baginya menjalani pilihan ini. Ia bolak-balik mengisi ember dengan pupuk urea. Tiba-tiba saya tergelitik dengan visi petani milenial tadi.
Sebab, lahan pertanian di Sleman barat, termasuk Seyegan, yang sering dikatakan sebagai lumbung padi telah banyak beralih fungsi menyusul bukit-bukit nan kian gundul. Apakah ini bentuk agrososiopreneur yang modern, tanya saya dalam hati.
“Kamu tahu arti kata agrososiopreneur, gak?” tanya saya saat Mufit menepi mengisi pupuk. Ia hanya mengernyitkan dahi sebelum kembali ke tengah sawah.
Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Serabi Ngampin dan 70 Baris Warung Hijau di Ambarawa dan liputan menarik lainnya di Susul.