Kisah Gadis Pembuat Serabi Kalibeluk yang Diampuni Sultan Agung

Kisah Gadis Pembuat Serabi Kalibeluk yang Diampuni Sultan Agung

Serabi Kalibeluk, makanan khas asal Kabupaten Batang ternyata menyimpan cerita sejarah yang terhubung dengan kerajaan Mataram Islam. Serabi ini hanya dibuat oleh keturunan Nyai Randinem, gadis cantik yang diampuni oleh Sultan Agung.

***

Serabi yang ukurannya nggak biasa

Serabi adalah kue yang ada sejak zaman dulu, sehingga di kota manapun, khususnya di Pulau Jawa, hampir bisa dijumpai dengan mudah. Misalnya, serabi Solo, serabi Yogya, serabi Bandung, dan serabi Pekalongan. Kue berbentuk bulat pipih  yang terbuat dari adonan tepung beras, santan, gula pasir, atau gula aren ini umumnya mempunyai ukuran standar yakni bergaris tengah sekitar 7 – 8 cm.

Namun, Serabi Kalibeluk, diberi nama demikian, karena dibuat di Desa Kalibeluk, Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang, ukurannya jumbo. Camilan khas Batang ini melebihi ukuran “pakem” kue serabi. Serabi Kalibeluk tebal 4 cm, garis tengah 11 cm dengan berat mencapai  4 ons. Sehingga setiap satu tangkep, beratnya mencapai 8 ons, hampir satu kilogram….Wow …! Jadi bagi siapa pun  orangnya yang mampu menyantap serabi Kalibeluk satu tangkep, benar-benar luar biasa.

Kira-kira rasanya bagaimana? Saya yang sudah mencicipinya, sungguh enak dan  gurih. Meskipun saat mencobanya hanya mampu memakan seperempat tangkep, tidak berani lebih, sebab perut  langsung jadi kenyang.

Serabi Kalibeluk di wilayah Kabupaten Batang sangat familiar.  Karena di setiap perhelatan Hari Jadi Kabupaten Batang, selalu diundang oleh panitia, untuk tampil mengisi stand di lokasi Batang Ekspo yang diisi dengan berbagai aneka produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta aneka kuliner khas Batang, termasuk serabi Kalibeluk. 

Sultan Agung dan serabi kalibeluk
Serabi Kalibeluk yang berukuran jumbo. Foto oleh Kasirin Umar/Mojok.co

Kecuali, saat pandemi Covid-19, hampir selama 2 tahun, serabi Kalibeluk absen. Dua tahun berturut-turut, Pemkab Batang yang lahir pada 8 April Tahun 1966 itu, tidak menggelar keramaian dalam memperingati hari jadinya. 

Hanya dibuat keturunan Nyai Randinem

Di antar oleh adik saya, Minggu 10 Oktober 2021, kami meluncur ke Desa Kalibeluk, Kecamatan Warungsem, Kabupaten Batang, yang berjarak sekitar 7 Km dari rumah saya.

Pagi itu saya melihat langsung proses pembuatan serabi berukuran jumbo di rumah Bu Surini (54), di Desa Kalibeluk. “Saya hari ini menerima pesanan serabi sebanyak 20 tangkep atau 40 buah. Terdiri dari serabi gurih warna putih dan serabi manis warna cokelat karena pemanisnya menggunakan gula aren,” ujar Bu Surini.

“Harga kue serabinya berapa, Bu?” tanya saya.

“Saya menjualnya dengan hitungan tangkep, satu tangkep atau satu set, Rp.13.000,” jawab Bu Surini.

Ibu dari 7 anak dan 9 cucu itu menambahkan, kue serabi buatannya biasanya digunakan untuk menjamu tamu dalam sebuah hajatan. Misalnya, pengajian, khitanan, pernikahan atau lainnya. Karena ukuran serabinya cukup besar dan tebal, maka sebelum disajikan di iris terlebih dahulu agar lebih nikmat dihidangkan.

Bu Surini juga menjelaskan, di Desa Kalibeluk hanya terdapat sekitar delapan rumah tangga, yang membuat kue serabi. Para penghuni 8 rumah tersebut masih keturunan Nyai Randinem, pembuat kue serabi sejak dulu kala. Tepatnya sejak zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Ada keanehan dalam membuat serabi Kalibeluk ini. Siapa pun  orangnya, di luar nasab atau anak keturunan Nyai Randinem, ketika mencoba membuat kue serabi, akan gagal. Dalam arti, tekstur kue serabinya lembek, rasanya hambar, meski adonan tepung, kelapa atau santan dan gulanya tepat ukuran.

Saya mengonfirmasi langsung ke Bu Surini. “Wah, saya tidak tahu pak ya….. Kalau menurut saya, siapun bisa mencobanya, syaratnya harus telaten,” jawab Bu Surini mengelak secara halus.

Bu Surini juga menjelaskan, ia mendapat “ilmu” membuat kue serabi dari orangtuanya dan orangtuanya dari kakeknya, begitu seterusnya. “Saya tinggal meneruskan saja,” terang Bu Surini.

Setiap hari, Bu Surini mengaku, dibantu anak-anaknya mampu menghasilkan kue serabi sebanyak 40 tangkep atau 80 buah. Itu dkerjakan sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 14.00 WIB.

Serabi Kalibeluk. Foto Kasirin Umar/Mojok.co

“Untuk membuat serabi sebanyak 80 buah atau 40 tangkep diperlukan15 kg  beras ditambah kelapa 15 butir, gula pasir, gula aren, dan daun pandan secukupnya. Sedangkan untuk mencetak serabi hingga matang, setiap serabi membutuhkan waktu sekitar 5 atau 6 menit,” tutur Bu Surini.

Untuk menjaga kue serabi agar aromanya terjaga, yaitu sedap, gurih dan daun pandannya terasa wangi, menurut Bu Surini, saat memasak  jangan menggunakan api yang berasal dari elpiji atau arang, tapi menggunakan kayu bakar. Juga proses pembuatan tepung yang bahan bakunya dari beras, harus ditumbuk dengan antan atau alu, tidak digiling dengan mesin.

“Kami pernah ditawari oleh Pemkab Batang akan diberi bantuan mesin pengglling tepung, untuk memudahkan dalam membuat tepung beras, dengan sopan bantuan itu, saya tolak. Saya khawatir nanti hasil tepungnya akan beda dengan hasil tepung yang diolah dengan menggunakan antan. Itu bisa bepengaruh terhadap rasa serabi yang sudah kita buat secara turun temurun ini,” terang Bu Surini.

Lalu kalau ingin membeli serabi Kalibeluk yang berukuran jumbo itu apa harus datang ke Desa Kalibeluk? “Oh, tidak,  pak. Setiap hari, ada 3 hingga 4 orang yang membuka lapak serabi Kalibeluk di depan pasar Warungasem, dekat lampu bang-jo. Buka sejak pukul 09.00 pagi hingga jam 13.00. Laris manis setiap hari habis,” papar Bu Surini.

Sementara itu, Sinok (30) salah satu penjual serabi Kalibeluk di depan Pasar Warungasem ketika saya temui mengaku berjualan serabi di tempat itu, sudah cukup lama.

“Saya berjualan di sini sudah 20 tahun lebih. Setiap hari saya membawa sebanyak 15 hingga 20 tangkep, atau 40 buah, harganya sama dengan yang dipatok di kampung pembuat serabi, yaitu Rp.13.000,-/tangkep,” ungkap Sinok.

Tumenggung Bahurekso, serabi dan Sultan Agung 

Ada kisah keterkaitan antara serabi Kalibeluk dengan Sultan Agung. Menurut Bambang Riyanto, SH.M.Si (69), penggiat budaya Kabupaten Batang kepada penulis, keberadaan serabi Kalibeluk ada hubungannya dengan Mataram Islam

“Saat itu Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma, Raja Mataram, mengutus salah seorang senopati muda bernama Tumenggung Bahurekso, agar membawa Rantansari, gadis jelita asal Desa Kalisalak Batang  ke Keraton Mataram, untuk diperistri,” kata Bambang Riyanto di rumahnya, Desa Sawahjoho, Kecamatan Warungasem, Batang, Sabtu (910/2021).

Mbok Sinok dengan serabi Kalibeluk dagangannya di Pasar Warungasem, Kabupaten Batang. Foto oleh Kasirin Umar/Mojok.co

Tumenggung Bahuresko yang berasal dari Kesesi Pekalongan itu menyanggupi titah raja terbesar di era Mataram Islam tersebut. Bahurekso lalu berangkat dari Mataram menuju Desa Kalisalak, Batang. Menurut kisah, tidak diketahui pasti bagaimana Sultan Agung bisa mengetahui bahwa di Desa Kalisalak terdapat sorang gadis jelita bernama Rantansari. 

“Singkat cerita, ketika Tumenggung Bahurekso berhasil menemui Rantansari, ia menjadi jatuh cinta dan bertekad tidak akan menyerahkan Rantansari kepada sultan. Karena Bahurekso berniat akan memperisteri Rantansari,” cerita Bambang Riyanto.

Diungkapkan lebih lanjut, agar niatnya memperisteri Rantansari bisa terlaksana, Bahurekso harus mencari gadis yang cantiknya sepadan dengan Rantansari.  Tidak lama, Bahurekso menemukan gadis yang dicari, ia bernama Randinem yang cantiknya tidak kalah dengan Rantansari. Randinem, anak petani juga pembuat kue serabi itu berasal dari Desa Kalibeluk,Warungasem, Batang.

Maka tak begitu sulit bagi Bahurekso untuk membawa gadis Randinem,  setelah mendapat izin kedua orang tuanya, untuk dihadapkan kepada Sultan Agung. Sebelum menghadap sultan, Randinem, oleh Bahurekso dipesan agar mengaku bernama Rantansari dari Desa Kalisalak.

“Namun ketika menghadap Sultan, Randinem grogi, karena harus berbobong. Di depan sultan, karena ketakutan, Randinem jatuh pingsan. Saat siuman, Randinem mengaku bahwa dirinya bukan Rantansari. Ia adalah anak petani sekaligus pembuat dan penjual serabi dari Desa Kalibeluk. Sultan tidak murka mendengar pengakuan yang jujur dari Randinem itu. Gadis cantik tersebut bahkan diberi modal yang cukup untuk melanjutkan berjualan serabi,” tutur Bambang Riyono.

Apakah Tumenggung Bahurekso mendapat hukuman karena telah berkhianat terhadap Sultan?

“Tumenggung Bahurekso mendapat hukuman dari Sultan, namun hukumannya bukan hukuman mati. Karena Tumenggung Bahurekso masih muda, sakti dan tenaganya masih dibutuhkan Mataram,  ia hanya dihukum untuk membuka sebagian Alas Roban menjadi pemukiman warga,” kata Bambang. 

Usai keberhasilannya membuka Alas Roban yang terkenal angker itu,  Tumenggung Bahurekso yang saat muda bernama Joko Bahu itu juga diangkat menjadi Bupati Kendal. Tidak lama kemudian Tumenggung Bahurekso diangkat menjadi senopati perang bersama Adipati Ukur dari Bandung, untuk menyerang Batavia (sekarang Jakarta) agar terbebas dari cengkeraman kolonial Belanda. “Saat itu  pada tahun 1627 yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Batavia adalah Jan Pieterszoon Coen,” kata Bambang Riyanto.

Namun menurut catatan sejarah, tambah Bambang, prajurit Mataram gagal menaklukan Belanda, bahkan Adipati Ukur gugur di medan perang. Lalu bagaimana nasib Tumenggung Bahurekso?

“Sampai sekarang tidak jelas nasib Tumenggung Bahurekso, apakah ia gugur atau selamat dalam pertempuran melawan Belanda, tidak ada yang tahu. Sejarah juga tidak mencatatnya,” pungkas Bambang Riyanto, mantan Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Batang itu. Dalam versi sejarah lain, Tumenggung Bahurekso diceritakan gugur bersama dua putra laki-lakinya saat menyerang Batavia pada 21 Oktober 1628.

BACA JUGA Ngobrol dengan Orang yang Tersiksa karena Ketempelan Demit Kiriman dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version