Apri Nugroho (38) dan Arif Budiarto (30), berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun membuat aksara Jawa. Karya mereka lantas dipilih oleh Dinas Kebudayaan DIY sebagai font resmi gaya Jogja.
***
Saya menjumpai dua pemuda penggiat aksara Jawa di Yogyakarta ini untuk berbincang atas karya yang mereka ciptakan. Apri Nugroho merupakan pembuat font nyk Ngayogyan (font aksara Jawa dengan gaya huruf miring). Setelah keluarnya Peraturan Daerah DIY Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, karyanya kini resmi digunakan di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta,
Sedangkan Arif Budiarto sendiri merupakan kreator font Aksara Jawa Digital yang bersama Apri mengembangkan font nyk Ngayogyan Jejeg (font aksara Jawa dengan gaya huruf tegak). Kedua font ini dipilih oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY beserta tim Kongres Aksara Jawa untuk penulisan di media digital.
Kalau kalian bingung, ibaratnya Apri ini menciptakan font Arial versi miring, sedangkan Arif dan Apri bersama-sama mengembangkan versi tegak.
Keduanya tergerak menekuni aksara Jawa karena prihatin nasibnya aksara ini di era digital. Menurut data, meski terdapat lebih dari 70 juta orang yang berbahasa Jawa, tapi hanya sekian persennya mampu menulis aksara Jawa. Penutur yang sepanjang hayatnya menurutkan Bahasa Jawa belum tentu terliterasi aksara dengan baik dan benar.
Ini yang menyebabkan upaya pelestarian aksara Jawa sekaligus mengangkat marwahnya ke dunia internasional telah dilakukan pemerintah terhambat. Melalui Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), aksara Jawa sebenarnya telah didaftarkan kepada lembaga pengelola internet dunia Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN). Namun, upaya ini belum berhasil dikarenakan minimnya penggunaan aksara ini di ranah digital.
Saat ini, Pemerintah DIY melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY juga telah mensosialisasikan program budaya untuk mepercepat pelaziman aksara Jawa di ranah digital, salah satunya melalui Gerakan Yogyakarta Kota Hanacaraka. Momentum peluncuran gerakan itu bersamaan dengan peringatan Hari Aksara Internasional tahun 2021 pada 9 September lalu. Peringatan tahun ini mengangkat tema besar Aksara Jawa Anjayeng Bawana (nglestantunaken saha ngrembakakaken Aksara Jawa ing alam modheren) yang berarti aksara Jawa jaya mendunia.
Legenda Aji Saka
Asal mula aksara Jawa tidak bisa dilepaskan dari cerita legenda tentang Aji Saka, seorang pemuda sakti yang mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan ditemani abdi dalem, Dora dan Sembada. Hanacaraka, dibuat oleh Aji Saka untuk menghormati dua abdi dalemnya yang setia tersebut. Kisah tentang Aji Saka bisa dibaca di artikel ini 3 Versi Asal Muasal Aksara Jawa.
Sedang dari buku Indonesian Paleogrphy karya J.G Casparis, diketahui bahwa aksara yang pertama masuk ke Indonesia itu adalah aksara Pallawa di Kerajaan Kutai pada awal abad ke 5 M. Pallawa adalah nama dinasti yang berkuasa di wilayah Asia Selatan. Dinasti ini yang menciptakan aksara Pallawa. Selain itu, terdapat lima periode pembentukan aksara Jawa, dimulai dari Aksara Pallawa (akhir 732 M) kemudian berubah menjadi Aksara Jawa Kuno atau Aksara Kawi tahap awal (awal 750-925M), lalu Kawi tahap akhir (925-1250M), kemudian era Majapahit (1250-1450M), hingga ke Jawa baru (abad 16-an hingga saat ini).
Menurut Mas Arif Budiarto, seperti aksara lainnya, aksara Jawa mengalami perubahan di tiap zaman. Misalnya, di Aksara Pallawa belum ada bunyi pepet, tetapi di aksara Jawa kuno sudah ada. Selain itu, media penulisannya juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dimulai dengan penulisan di atas batu, lempeng logam, daun lontar sampai ke kertas tradisional dluwang, kertas eropa, dan kertas cina. Lalu masuk ke zaman modern berubah ke digital. “Semakin ke sini semakin praktis,” tutur Arif.
Berawal dari jualan kaos
Font nyk Ngayogyan dibuat oleh Apri Nugroho. Selama lebih dari satu tahun lamanya, pria ini sibuk mengutak-atik desain font aksara Jawa.
Sudah sejak 2012, pemilik nama abdi dalem Mas Jajar Rejopustoko ini memang memiliki ketertarikan dengan aksara Jawa. Mulanya sederhana, ia mempelajari karena ingin berjualan kaos yang unik. Lantaran kemampuan aksara masih cetek, ia lantas masuk ke grup penggiat aksara Jawa di Facebook.
Di sana, ia bertemu dengan kawan-kawan penggiat lainnya yang tidak pelit ilmu. Apri yang mulanya belajar membuat font secara otodidak kemudian berhasil mengembangkan beberapa font, antara lain Font Nayaka, Font Gumregah, Font Nyk Ngayogyan, dan font nyk Ngayogyan Jejeg. Berbulan-bulan ia habiskan untuk mengembangkan font yang pas.
“Font nyk Ngayogyan itu saya buat dengan sepenuh hati. Saat itu saya sedang dalam kondisi tidak memiliki harapan. Kemudian saya berpikir, kalau saya mati, apa yang bisa saya tinggalkan. Pikiran tersebut menggerakkan saya untuk membuat font itu sepanjang hari, sampai subuh, dan berbulan-bulan. Sambil berharap bahwa font ini bisa digunakan oleh seluruh orang di Jogja, makanya saya namai Ngayogyan,” tuturnya menjelaskan.
Ketika saya tanya dari mana ide itu berasal, Apri menjelaskan bahwa inspirasinya datang dari mana saja. Kadang ia tak terlalu mempermasalahkan tentang desain. Saat ia butuh menulis untuk desain di kaos, maka ia akan membentuk huruf tersebut sesuai dengan desain kaos. lama-lama Apri kemudian melengkapi huruf-huruf itu kemudian terbentuklah sebagai sebuah font yang baru.
Mulanya Apri berkreasi dengan font-font yang ia buat. Ia kerap membentuk font dengan gaya modern dengan pikiran agar aksara Jawa terlihat lebih kekinian. Namun, belakangan Apri terinspirasi kawannya yang membuat font berdasakan naskah lama. “Aksara Nyk Ngayogyan saya ciptakan terinspirasi dari Kamus bahasa Jawa-Belanda Javaansch-Nederduitsch Handwoordenboek dari tahun 1847,” ujar Apri.
Ia menemukan buku ini dari internet tanpa mengetahui seluk-beluknya. Baru setelah font itu jadi, lama-kelaman Apri mengungkap banyak informasi dari buku tersebut. Seperti bahwa ternyata buku itu dahulu dibuat dengan proses cetak manual bukan seperti cetak offset pada zaman sekarang. Selain itu, Apri juga baru mengetahui bahwa kamus tersebut diterbitkan oleh T. Roorda di Amsterdam.
Apri tidak memiliki background yang linear dengan bahasa Jawa. Pria lulusan SMKN 3 Yogyakarta jurusan teknik mesin ini jauh sekali dengan desain grafis maupun programer. Banyak orang takjub dan tidak menyangka bahwa pria dengan latar belakang seperti itu bisa tertarik terlebih menciptakaan font aksara Jawa. Apri juga tidak menyangka bahwa font karyanya digunakan resmi oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia senang bukan kepalang lantaran karyanya dapat berguna bagi banyak orang.
Arif tertarik yang pelajaran bahasa Jawa
Cerita berbeda disampaikan Arif, ketertarikannya di aksara Jawa telah tumbuh sejak dirinya duduk di sekolah dasar. Arif mengaku bahwa pelajaran bahasa Jawa adalah mata pelajaran yang selalu ia tunggu.
“Dapet pelajaran aksara Jawa itu baru di kelas 4. Sepertinya awal mula ketertarikan saya muncul karena guru ngajarnya enak. Jadi kalo pelajaran bahasa Jawa itu bawaanya senang. Terus kalau nulis aksara itu saya ngerasa seperti ada seninya. Rasanya seneng aja gitu kalau sudah selesai menulis terus yang saya tulis itu ternyata betul semua. Seperti berhasil memecahkan teka-teki, ha..ha..” tuturnya santai
Ketertarikan ini berlanjut sampai dirinya masuk SMK. Saat perayaan kelulusan, Arif tidak seperti kebanyakan siswa lainnya yang corat-coret tanda tangan di baju teman-temannya. Ia justru membuat prasasti di blanko kosong yang bertuliskan hari dan tanggal lulus beserta tanda tangan dirinya. Masuk ke perguruan tinggi, Arif justru tertarik untuk membuat font. Mulanya ia bergabung dengan situs-situs seputar aksara Jawa hingga ia bergabung ke group pecinta aksara Jawa di tahun 2012-an.
Lambat laun, grup Facebook itu berkembang menjadi komunitas Sega Jabung di sekitar tahun 2015 dan baru di tahun 2018 komunitas itu resmi berdiri. Sega Jabung merupakan tempat diskusi para penggiat aksara Jawa. Komunitas ini berangkat dari kehawatiran hilangnya aksara di era digital.
Menurut Arif, durasi pembuatan font aksara pun beragam. Ada yang satu minggu jadi ada pula yang butuh dua tahun untuk benar-benar selesai. Hal ini lantaran Arif tidak fokus di sini, pria yang sehari-hari bekerja sebagai webprogramer ini membuat font aksara Jawa sesuai dengan kesibukannya.
Pria kelahiran 12 Desember 1992 yang juga abdi dalem Kraton Yogyakarta dengan nama Arif Pustoko ini menceritakan prosesnya membuat font aksara Jawa digital dengan suara yang sumringah.
“Jadi Mbak Soca” sambil mengehal napas “Kalau naskah manuskrip kuno, bisa jadi ada aksara yang tidak lengkap. Kadang penulis memiliki ligatur atau pengikatnya sendiri-sendiri. Misal sandangan suku dan wignyan itu harusnya dua garis, tapi di naskah kuno itu ada yang jadi satu garis,” kata Mas Arif.
Mas Arif mencontohkan, bila menulis prabu itu pakai dua aksara pa dicakra dan ba disuku. Nah di naskah kuno bisa jadi jadi cuma satu kesatuan. Karena ketika membuat, si penulis tidak mengangkat penanya, jadi seperti nulis sambung. Di kasus seperti ini bagaimana caranya pembuat font bisa tetap menulis hurufnya satu-satu tetapi tetap dibuat seperti satu kesatuan.
“Caranya bisa dengan menggunakan teknologi open type. Open type ini juga bisa untuk mengatur posisi sandangan, membentuk ligatur, terutama untuk bentuk pasangan, suku, dan wignyan untuk jadi satu,” jelasnya panjang.
Aksara Jawa sesungguhnya bukan hanya sekadar cerita. Banyak yang hapal urutannya tapi tidak dengan wujudnya yang ha itu seperti apa, yang na itu seperti apa itu banyak yang tidak tahu. Arif berpendapat mungkin karena di dunia nyata sangat jarang digunakan. Berbeda dengan huruf latin atau huruf Arab yang hampir tiap hari dijumpai. “Makanya di komunitas (sega jabung) kami ingin mengenalkan kembali aksara agar melekat dengan kehidupan sehari-hari,” tutur Arif yang juga merupakan seorang abdi dalem.
Aksara Jawa masih jadi dekorasi
Pada 2009, aksara Jawa sudah masuk ke Unicode, yaitu sebuah standar teknis agar teks dan simbol dari berbagai sistem tulisan bisa digunakan dengan media komputer. Pengembangan terus berlanjut hingga aksara bisa digunakan dengan media smart phone melalui aplikasi tambahan untuk memasangnya. Artinya aksara Jawa siap mendunia di ruang virtual dengan mengoptimalkan ranah digital.
Dari Arif, saya baru tahu bila dahulu belum ada font standar aksara Jawa yang digunakan baik untuk pengajaran, naskah dinas atau plang-plang jalan. Menurut Arif, aksara yang dahulu biasa digunakan di DIY itu bukanlah aksara jawa sejati. Ia merupakan aksara latin yang pura-pura jadi aksara Jawa. “Tipografinya kurang bagus karena ukuran pasangannya terlalu kecil. Sehingga bila dimuat di buku ajar, tulisan jadi renggang dan pasangan tidak pas pada tempatnya,” kata Arif.
Lebih lanjut, Arif menuturkan bahwa keberadaan ‘aksara palsu’ ini terutama di buku pelajaran sekolah kemudian memengaruhi pola penulisan aksara Jawa manual. Para siswa jadi mengikuti tulisan yang salah dan berantakan.
“Tapi alhamdulillah saat ini sudah ada Pergub yang mengatur tentang penggunaan font aksara Jawa dengan font resmi, meski begitu tetap ada orang-orang yang masih menggunakan font lama” sambungnya.
Apri mengemukakan harapannya. Menurutnya pemerintah DIY sudah cukup baik terutama menyelenggarakan Kongres Aksara Jawa. Tetapi ia masih menyayangkan hal-hal yang menghambat aksara Jawa berkembang. Salah satunya aksara masih belum bisa terenkripsi di ranah interet. “Hal ini karena pendaftaran aksara Jawa di lembaga internet dunia masih terhambat. Sebabnya aksara Jawa masih dianggap sebagai dekorasi karena belum digunakan secara masif dalam keseharian masyarakat,” kataApri.
Setelah adanya kongres tersebut, sekarang sudah ada standar tata letak keyboard. Aksara Jawa bersama aksara Sunda dan Bali sedang didaftarkan ke Badan Standardisasi Nasional. Tujuannya agar bisa terdaftar di lembaga internet dunia.
“Kalau sudah terdaftar nanti aksara Jawa bisa lebih mudah hadir di semua perangkat digital,” kata Apri. Kota Jogja sekarang juga sudah menggelar berbagai kegiatan agar masyarakat lebih banyak menggunakan aksara diranah digita serta mendekrasikan sebagai Jogjakarta kota Hanacaraka.
Seiring dengan itu, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menggelar Wokrshop Aksara Jawa Digital yang dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan Festival Sastra 2021. Workshop Aksara Jawa Digital ini diadakan pada 1 Oktober 2021 lalu di Phoenix Hotel Heritage Yogyakarta.
Peserta workshop ini adalah guru SMP yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa Kota Yogyakarta, dan juga Pemenang lomba alih aksara dan alih manuskrip pada Kompetisi Bahasa Sastra 2021. Mereka dipilih dengan pertimbangan lantaran sudah memiliki dasar kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa, dan juga dapat menggunakan komputer dan smartphone.
“Mudah-mudahan makin banyak yang menggunakan aksara Jawa dalam keseharian. Terutama sekarang di HP kan sudah bisa untuk mengetik aksara jawa. Bisa misalnya untuk menulis status di sosial media. karena makin banyak orang yang menggunakan atau menulis di gedget masing-masing itu nanti juga berpegaruh dengan semakin mudahnya kita bisa mengakses aksara jawa di perangkat digital,” imbuhnya.
Arif sendiri memaknai aksara Jawa sebagai pintu pengetahuan leluhur. Menurutnya bisa jadi ada pengetahuan di naskah kuno yang terhenti karena tidak ada yang mampu membaca. Pria lulusan Pendidikan dan Teknik Elektro UNY itu melihat aksara Jawa sebagai pintu untuk memasuki naskah tersebut. Arif menuturkan bahwa secara filosofis semua hal yang ada di Jawa itu memiliki makna.
Menurutnya sah-sah saja mempelajari filosofi, karena bagaimanapun juga, itu merupakan petuah bagi manusia. Tapi menurut Arif kurang tepat bila belajarnya terhenti di filosofi tanpa benar-benar mempraktikan. “Kalau seperti itu, maka aksara Jawa akan segera hilang,” kata Arif.
Saya punya pertanyaan untuk MasApri, bagaimana cara menuliskan nama asing? Menurutnya nama tersebut harus dijawakan terlebih dahulu. Prinsip penulisan aksara Jawa didasarkan pada pengucapan. Lalu saya bertanya bagaimana bila menulis nama “Harry Styles”. Menurutnya sebelum menulis dengan aksara Jawa, penulis harus tahu pengucapan yang benar terlebih dahulu. Jadi nama Harry Styles diubah dulu menjadi Herri Stail lalu baru dibuat dengan aksara Jawa.
Font nyk Ngayogyan karya Apri Nugroho dan Arif Budiarto hasil dari kajian Dinas Kebudayaan DIY dapat diunduh di https://aksaradinusantara.com/fonta/nyk-ngayogyan-jejeg.font. Untuk menggunakan di smartphone terlebih dahulu kita harus mendownload aplikasi keyboard yang mumpuni.
BACA JUGA Sleman Punya Entok Slenget Kang Tanir, Kuliner Pedas di Jogja Utara dan liputan menarik lainnya di Susul.