Kios Buku Pak Min dan Senjakala Bisnis Buku Bekas

Toko buku bekas tak lagi menjadi tempat alternatif masyarakat untuk mencari bahan bacaan. Bisnis buku bekas kini kembang-kempis. Ia berada di ujung masanya.

***

Saya berencana bertemu dengan satu-satunya penjual buku loakan yang masih tersisa di Kota Salatiga. Kios Buku Loakan Pak Min, begitulah masyarakat salatiga mengenalnya yang terletak di Pasar Shoping Salatiga.

Tempatnya agak nyempil tak terlalu terlihat di tengah-tengah kios lain. Lorong yang gelap dan sesak akan membuat siapapun yang datang pertama kali gentar. Akan lebih mudah ditemukan jika lewat jalan belakang Pasar Shoping. Di antara deretan penjual koran dan majalah bekas, terdapat satu-satunya lorong yang di tengahnya kita bisa melihat penjual buku. Itulah kios milik Pak Min.

Sayang sekali, kali ini saya tak dapat bertemu dengan Pak Min. Jumat (11/2), saya dilayani oleh seorang pria paruh baya yang ramah. Berkemeja putih lengan pendek dan masuk ke dalam celana, ia adalah Joko Banon Sunarso (54). Ternyata kios milik Pak Min telah dititipkan ke tetangga kiosnya ini sejak awal pandemi covid menyerang.

Pak Joko sedang menjaga kios buku bekas Pak Min. (Abdul Karim/Mojok.co)

Joko merupakan penjual tape speaker dan elektronik bekas. Kini ia membantu kios buku Pak Min agar tetap buka. Ia hanya membantu menjualkan buku bekas, majalah, dan koran yang ada di kios.

Sedangkan Pak Min kini memilih untuk bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pak Min hanya sekali-dua kali dalam seminggu menengok keadaan kiosnya. Pendapatannya dari kios buku tak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Joko pun bercerita, tidak setiap hari ada pelanggan yang membeli buku. Kalaupun ada nilainya tak banyak.

Kami mengobrol sampai petang tentang Pak Min dan keadaan Pasar Shoping. Kios di sekitar mulai menutup dagangannya dan pasar semakin gelap. Saya diberi nomor dan alamat Pak Min untuk wawancara secara langsung di rumahnya.

Mulai berjualan online

Minggu (13/2) jam sembilan malam, pesan whatsapp saya baru dibalas oleh Pak Min. Saya yang menunggu hujan reda di angkringan Pemandian Kalitaman, sedikit malas untuk menerjang. Mau tak mau, saya menerobos hujan menuju kediaman Pak Min di Jalan Sonotirto belakang Pasar Shoping.

Rumahnya di ujung gang, sulit ditemukan tapi mudah jika mau bertanya. Warga Kampung Pancuran dan Pasar Shoping sudah mengenalnya. Terlihat lewat jendela, tumpukan buku di dalam rumah meyakinkan saya bahwa ini memang rumah Pak Min.

Saya disambut oleh Legimin (61) atau Pak Min dan temannya, mereka sedang asyik mengobrol. Saya meminta ijin karena tak enak bertamu malam-malam. Namun ia mengaku sudah biasa dan mempersilakan saya untuk masuk.

Pak Min dan koleksi buku bekasnya. (Abdul Karim/Mojok.co)

Rak buku yang tinggi hampir menyentuh langit-langit rumahnya. Tiga rak lebih berisi komik-komik, selebihnya buku-buku tua yang sudah lama mengendap. Karena Pak Min sekarang lebih memilih kerja serabutan, maka bukunya dijual secara online oleh anaknya. Ia mengaku, sekarang lebih lumayan jika jualan online daripada di kios.

“Online, kalau nggak online ya nggak makan. Yang laku onlinenya kok,” jelasnya.

Jualan online lebih menguntungkan karena harga yang dipatok juga lebih mahal. Lapak onlinenya bisa ditemui di akun Facebook Omah Buku Salatiga. Jika pelanggan ingin datang ke rumah juga dipersilakan dan harganya akan lebih murah. Jualannya kini pun telah bertambah, bukan hanya buku bekas, buku baru pun ada. Namun tetap saja, buku yang laris adalah novel dan bacaan anak.

Meninggalkan jualannya untuk bekerja adalah jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Sejak pandemi, penghasilan dari kios tak dapat dijadikan sandaran.

“Harusnya ya tetep jualan ya. Karena kan penghasilan tidak mencukupi. Kadang laku buku satu, laku buku dua. Kan nggak bisa buat makan. Kadang cuma laku 3 ribu sehari, selama Corona, jadi kerap saya tinggal,” terang Pak Min.

Pernah berjaya

Jika dihitung jualan di Pasar Shoping Taman Sari, maka Pak Min sudah berjualan selama 14 tahun. Namun ia mengaku telah mulai berjualan buku sejak tahun 90-an. Dihitung sejak istrinya yang masih berjualan di Pasar Shoping lama terminal angkot.

Ia memilih berjualan buku karena memang hobi membaca dan mengoleksi buku sedari dulu. Karena buku kesayangannya sering dipinjam dan tidak kembali, ia memutuskan untuk menjual buku saja. “Dipinjam, tak kembali” begitulah keluh Pak Min.

Jika ditarik lebih jauh lagi, Pak Min hanyalah lulusan SMP. Kegemarannya membaca datang dari ayahnya yang suka mendongeng sewaktu kecil. Cerita yang didongengkan dan yang ia temukan di buku sering kali berbeda. Hal itu yang menjadikannya semakin penasaran dengan cerita-cerita lain.

Kebiasaan mendongeng ia teruskan ketika memiliki anak. Selain bahan bacaannya yang tersedia banyak di rumah, Pak Min juga sadar manfaat mendongeng untuk anaknya. Kini anak-anaknya, bahkan seisi rumahnya menjadi kutu buku.

“Orang mencintai buku itu harusnya berawal dari rumah,” satu kalimat yang membekas di otak saya dari Pak Min.

Kios buku loak Pak Min. (Abdul Karim/Mojok.co)

Di sela cerita, saya menikmati teh hangat yang disajikan. Tetesan gerimis masih terdengar di antara obrolan kami. Pak Min pun melanjutkan cerita tentang masa lalunya di dunia buku.

Barang paling berkesan yang pernah Pak Min jual adalah surat cinta Bung Karno. Surat itu ditujukan kepada Bu Hartini, istri keempat Bung Karno. Surat tersebut laku Rp1.250.000 di tahun 90-an.

Surat cinta tersebut Pak Min temukan secara tidak sengaja. Ketika Bu Tien (Hartini) pindah rumah dari sebelah bangunan Maybank di Jalan Diponegoro Salatiga, ke Jalan Patimura. Rosok dari rumah Bu Tien dibeli oleh Pak Min.

Pak Min sudah memiliki siasat untuk mencari peninggalan Bung Karno dari rumah yang akan ditinggalkan Bu Tien.  “Saya pikir, kan rumah istrinya Pak Karno. Ini pasti nggak cuman satu ada yang laku. Dulu saya beli 25 ribu satu bagor. Ngertinya kertas remukan dan buku-buku.”

Saya menanyakan bagaimana kejayaan buku di tahun-tahun tersebut. Tahun dimana internet belum ada, bahkan handphone pun masih jarang. Buku pasti menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan hiburan.

Koleksi buku Soekarno milik Pak Min. (Abdul Karim/Mojok.co)

Pak Min sendiri mengakui bahwa perbedaaan tahun 90-an dengan sekarang jelas berbeda jauh. Pelajar, mahasiswa, dosen sampai profesor menjadi langganannya.  Belum banyak saingan di bisnis buku. Apalagi buku yang dijual Pak Min adalah buku loakan yang harganya cenderung murah.

“Tahun 90-an itu caranya saya keceh duet, Mas. Uang keluar masuk tuh nggak kerasa. Hasilnya tuh 100 kali dari sekarang. Zaman segitu mau beli apa aja keturutan,” kenang Pak Min.

Padahal Pak Min dari dulu tak terlalu berpikir soal keuntungan yang besar. Ia bahkan sering kali ditipu oleh mitra bisnisnya. Pak Min justru tak kapok. Karena memang ia tak memiliki background pebisnis, ia berjualan buku karena hobi.

“Dulu banyak mahasiswa yang ngutang. ‘Pak aku bawa dulu pak, belum dikasih kiriman. Tapi aku selak butuh bukunya.’ Gitu ya alhamdulillah bayar. Padahal seumpama nggak bayar ya nggak saya tagih,” ucap Pak Min dengan santai.

Kini Pak Min masih menerima buku bekas yang ditawarkan kepadanya. Buku bekas mahasiswa yang sudah lulus, orang yang pindah rumah, atau sesama kolektor buku. Selain buku bekas, Pak Min juga sering mencari buku dari lapak online dan mencari barang sendiri ke sesama penjual buku.

Melihat stok buku yang masih menumpuk seolah menggambarkan dunia buku kita sekarang: tak lagi diminati dan lesu. Ditambah hantaman pandemi membuat semua bisnis merosot, termasuk bisnis buku bekas. Pak Min menjadi potret dunia buku: dulu di puncak kejayaan, sekarang digerus oleh zaman.

Pak Min asyik menceritakan kehidupannya di usianya kini. Mulai dari kegemarannya membaca buku sejarah, traveling ke situs sejarah, dan kegiatannya mengikuti gerakan filantropis. Saya tertahan dengan cerita-ceritanya hingga tengah malam.

Reporter: Abdul Karim
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Para Pemburu Konten Bus: Antara Kepuasan Pribadi dan Keuntungan yang Menggiurkan dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version