Ada sebuah kedai kopi teramat sederhana, berlokasi di sebuah permukiman suburban di Yogyakarta yang jarang dilirik orang, pun dengan akses jalan ke sana yang lumayan susah untuk dilewati. Mengetahui eksistensi kedai kopi tersebut, saya tertarik untuk mencaritahu alasan di balik berdirinya kedai kopi tersebut, dan berikut adalah hasil obrolan saya dengan pemilik kedai.
***
Anak-anak kecil berlarian di jalanan sempit yang diapit oleh rumah-rumah penduduk. Suara mereka keras dan riuh, sehingga sesekali nenek tua penghuni salah satu rumah harus menegur mereka. Di sisi lain, ada seorang bapak-bapak yang keluar dari rumah dengan jaket ojek online, bergegas menghampiri motor yang terparkir di depan pintu rumahnya, lantas melaju menyusuri jalan sempit yang entah menuju ke mana. Dari arah musala yang terletak di sebelah tangga menuju jalan utama di atas perkampungan itu, beberapa orang berjalan keluar sehabis menunaikan sholat ashar.
Sebuah kampung bernama Jogoyudan
Ya. Itulah pemandangan yang saya lihat di perkampungan Jogoyudan yang letaknya persis di tepi Kali Code. Kawasan suburban yang selalu khas dengan rumah berdempet, jalanan kecil, dan tentu saja jauh dari gemerlap kota Jogja. Di sana, di tengah perkampungan itu, saya mendatangi sebuah rumah berwarna putih yang disulap menjadi sebuah kedai kopi begitu sederhana.
Ketika saya memasuki kedai kopi tersebut pada Jumat, 24 September 2021, lantunan lagu Line By Line dari Prep terdengar dari sound di area bar. Tak ada pengunjung lain selain saya waktu itu, sehingga saya bisa leluasa mengobrol dengan barista sekaligus pemilik kedai kopi tersebut, yaitu Fahmi (34).
Fahmi tengah menyeduh kopi untuk dirinya sendiri ketika saya menghampiri meja bar yang begitu sederhana dan dengan alat seadanya. Saya membiarkannya menyelesaikan seduhan sebelum pada akhirnya memilih kopi yang akan saya pesan.
Ketika ia telah selesai menyeduh kopi pesanana saya, kami duduk berdua di ruangan yang hanya berisi tiga meja tersebut. Ada area luar yang lebih santai dan sejuk, akan tetapi mengingat langit diselimuti mendung tebal dan telah meneteskan gerimis kecil, kami memutuskan untuk melakukan obrolan di dalam.
Ada satu hal yang membuat saya penasaran tentang eksistensi kedai kopi Bernama Co Fams milik Fahmi. Hal yang tentu saja akan ditanyakan kebanyakan orang ketika berkunjung, yaitu kenapa Fahmi mau mendirikan kedai kopinya di tengah perkampungan yang bahkan jarang didatangi orang luar daerah sana.
“Bahkan jarang juga ada yang tahu ada daerah bernama Jogoyudan,” kelakar Fahmi, seolah mengamini bahwa kedai kopinya memang begitu terpencil.
“Perkampungan di tengah kota sudah pasti jarang yang melirik. Padahal di sini itu dekat dengan Tugu Jogja, tetapi jarang ada yang tahu. Ya mungkin untuk apa juga datang ke perkampungan seperti ini,” lanjutnya, diakhiri dengan menyeruput kopinya.
Ia benar. Bahkan saya yang sudah tinggal di Yogya sejak tahun 2013, baru kali pertama mendatangi daerah Jogoyudan. Pun itu saya lakukan karena memang berniat mencari kedai kopi milik Fahmi, yang harus saya temukan setelah mencerna baik-baik jalur melalui Google Maps. Saya datang dari timur, melewati jembatan Gondolayu, berbelok ke selatan di perempatan kecil menyusuri jalan kampung Jogoyudan yang berkelok-kelok, banyak polisi tidur, dan akhirnya berhenti setelah melihat papan penanda kedai kopi di pinggir jalan.
Itu pun lokasi kedai kopi belum di sana, melainkan saya harus memarkir motor di pinggir jalan, lantas menuruni tangga menuju perkampungan di bawah sana. Barulah saya menemui bangunan rumah sederhana bercat putih yang disulap menjadi kedai kopi tersebut.
“Kalau boleh jujur, sebenarnya saya inginnya buka kedai kopi di pinggir jalan. Tetapi semua kembali ke modal yang saya miliki. Modal saya pas-pasan, tetapi memang sangat ingin buka kedai kopi. Dulu saya sudah pernah buka dengan teman saya, tetapi akhirnya tutup. Maka dari itu, daripada alat-alat nganggur, dan ternyata kebetulan rumah ini disewakan, ya sudah saya buka di sini saja,” paparnya.
Fahmi adalah warga Jogoyudan itu sendiri, sehingga ketika ada rumah yang disewakan, ia segera tahu dan mau mengambil risiko membuka kedai kopi di sana. “Adik perempuan saya baru saja menikah, dan kebetulan ia bersama suaminya butuh rumah kontrakan. Makanya kami menyewa rumah ini bersama. Sebagian dijadikan tempat tinggal adik dan suaminya, sementara sebagiannya lagi saya gunakan sebagai kedai kopi.”
Pada akhir tahun 2020, rumah kontrakan yang awalnya tampak biasa saja, Fahmi rombak agar bisa pas menjadi kedai kopi. Ia mengecat dindingnya menjadi berwarna putih, lantas sedikit-demi sedikit memperbaiki bagian-bagian yang rusak, pun mengubah bagian kamar mandi agar bisa menjadi dua bagian. Satu bagian untuk tamu, dan bagian lain untuk kamar mandi pribadi keluarga adiknya.
“Untungnya dinding bagian kamar mandi itu hanya anyaman bambu. Jadi mudah untuk memotong dan dijadikan dua bagian. Tidak perlu banyak usaha. Ya paling yang lumayan menyiksa itu harus menghias tebing samping itu. Saya tambahi batu-batu biar tampak alami. Lantai di luar juga saya beri bebatuan kecil yang beberapa saya ambil dari sungai dan sisanya beli.”
Fahmi bercerita, ketika kedai kopinya sudah hampir siap beroperasi, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai barista di sebuah kedai kopi besar. Ia memilih mengambil risiko dan berjuang bersama kedai kopi kecil yang ia bangun.
“Dari dulu saya sudah ingin memiliki kedai kopi sendiri. Harus punya. Dulu setiap kali nongkrong di kedai kopi, saya selalu membayangkan kalua punya kedai kopi akan seperti apa. Konsepnya seperti apa, dindingnya seperti apa, bahkan lagu-lagunya seperti apa. Semuanya sudah ada di benak saya,” tuturnya, mengenang masa-masa di mana ia hanya bisa membayangkan memiliki kedai kopi.
“Tetapi tidak semua bayangan itu bisa menjadi nyata. Harus ada penyesuaian di banyak hal. Salah satunya ya, karena saya hanya bisa menyewa di sini, maka saya gabungkan saja apa yang ada di benak saya dan apa yang saya punya saat ini.”
Dan sekalipun kedai kopinya saat ini masih jauh dari apa yang ia bayangkan, tampak jelas bahwa lelaki yang pernah masuk semi final kompetisi latte art di Jogja tersebut tampak begitu bangga.
“Yang jelas, saya masih bisa merealisasikan seperti apa lagu yang akan saya putar di kedai kopi ini.” Lagu Read My Mind dari The Killers melantun dengan beat yang sangat nyaman dari sound di area bar. Suara Brandon Flowers, kedai kopi yang lengang dan kopi yang enak, langit Yogya yang menurunkan gerimis, ditambah obrolan seru dengan pemilik kedai kopi, membuat suasana sore itu menjadi sungguh luar biasa.
“Saya berpikir, yang penting saya buka kedai kopi. Pengembangan bisa seiring berjalannya waktu. Pun mendatangkan pelanggan juga bisa dilakukan pelan-pelan. Semuanya saya urus sendiri, dan itu menyenangkan.”
Bukan mau mengenalkan budaya minum kopi
Saya awalnya berpikir karena kedai kopinya berada di perkampungan suburban, Fahmi mencoba memperkenalkan budaya minum kopi baru kepada masyarakat sekitar. Saya mengira ia memiliki misi agar orang-orang di kampungnya bisa merasakan seperti apa rasanya minum kopi seperti di kedai kopi mahal di pusat kota sana, akan tetapi pemikiran saya ternyata sangat salah.
“Saya tidak berusaha menghadirkan konsep itu, pun tidak berniat mendekatkan masyarakat di kampung ini dengan kopi yang seperti di kedai-kedai mahal,” tutur Fahmi. “Bagi saya sendiri yang tinggal dari kecil di perkampungan ini, kalua ada kedai kopi yang buka dan saya memang ingin minum kopi, saya tidak akan datang ke sana meski jaraknya sangat dekat dan harganya murah. Saya akan memilih ke kedai kopi lain yang jauh karena niatnya memang sekalian refreshing. Kalau saya ingin ngopi untuk melepas penat, saya akan memilih tempat yang jauh dari tempat tinggal.”
Menurut Fahmi, karena tempat usahanya memang berlokasi di sebuah rumah, ia ingin menghadirkan sensasi minum kopi seperti di rumah. Maka dari itu, ia justru menarget orang-orang yang jauh dari rumah sehingga bisa merasakan sensasi seperti sedang berada di rumah mereka.
“Saya mencoba menghadirkan suasana rumah untuk pelanggan. Untuk mereka yang lelah dengan bisingnya kota, dengan macetnya Jogja yang semakin parah dari tahun ke tahun, dari ingar bingar pembangunan, sehingga menemukan tempat yang seperti rumah mereka. Di kedai kopi yang ada di perkampungan. Di tempat yang jauh dari keramaian. Pun dengan kopi yang harganya tentu sangat terjangkau.”
Fahmi merasa bahwa warga sekitar tidak membutuhkan konsep kedai kopi seperti itu. “Ya kan mereka rumahnya di sini. Kalau mau merasakan ngopi di rumah, ya tinggal bikin kopi di rumah saja.” Ia berkelakar. “Lagian, sekalipun kopi di sini murah, hanya belasan ribu rupiah, tetapi tetap saja mahal menurut warga sini.”
Meski begitu, Fahmi tetap mencoba untuk mendapatkan pasar dari warga setempat, sehingga ia menghadirkan menu kopi murah seharga lima ribu untuk kopi hitam, dan enam ribu untuk kopi susu. “Saya bikin menu itu untuk mendapatkan pasar warga sini. Dan ternyata setelah saya membuat menu itu, bapak-bapak warga sini mulai menjadi pelanggan tetap.”
Setelah mendapatkan pelanggan tetap dari warga sekitara, Fahmi mulai mencoba untuk menggaet pelanggan dari luar wilayah. Salah satu cara yang ia tempuh adalah dengan memasang lokasi di Google Maps sehingga bisa ditemukan banyak orang. “Yang saya khawatirkan kalua lokasinya susah ditemukan. Soalnya kan ini tidak di pinggir jalan, tetapi harus turun melalui tangga. Itu yang membuat saya khawatir kalau orang akan susah menemukannya.”
Akan tetapi kekhawatiran Fahmi ternyata tidak terjadi. Salah satu pelanggan di luar warga setempat justru datang dari Kediri, yang datang ke Jogja dan hendak mendatangi salah satu kedai kopi legendaris pada masanya yaitu Semesta. Karena menyadari Semesta sudah tutup, akhirnya orang tersebut mencari kedai kopi menggunakan Google Maps, dan memutuskan untuk mendatangi Co Fams.
“Ternyata lokasi kedai kopi ini masih bisa dijangkau untuk orang yang memang belum pernah ke sini. Bahkan orang dari luar kota saja bisa mencari dan menemukan tanpa kesulitan.”
Setelah itu, Fahmi merasa semakin percaya diri bahwa kedai kopinya akan mendapat lebih banyak pelanggan dari luar karena lokasinya yang sudah terjangkau. “Meski di kampung dan harus parkir di atas, tetapi pasti masih bisa dijangkau. Dan pada akhirnya, sedikit demi sedikit, banyak yang mulai tahu tempat ini. Dan kultur ngopinya juga berbeda dari kedai-kedai kopi di luar sana. Karena ini di kampung, tentu tidak bisa leluasa nongkrong sambal teriak-teriak. Pun harus menjaga sopan santun. Juga, saat perjalanan melalui jalan kampung Jogoyudan harus pelan-pelan naik motor.”
Dari semua itu Fahmi menganggap bahwa di sanalah kelebihan kedai kopinya. Ia menawarkan konsep kedai kopi rumahan, dengan suasana perkampungan, dengan ketenangan yang terjaga, dan tentu saja jauh dari bisingnya Jogja.
“Saya ingin memberikan suasana itu semua. Saya ingin agar siapa pun yang datang ke sini, menikmati seperti apa suasana perkampungan. Juga, jika nanti kedai kopi ini semakin dikenal, saya ingin menunjukkan bahwa ada daerah suburban Bernama Jogoyudan kepada orang-orang yang selama ini tahu Jogja hanya Malioboro, Tugu, Alun-alun, dan Mal yang semakin banyak itu. Ini loh, ada daerah seperti ini dan masih bagian dari Jogja,” tegas Fahmi.
Pelanggan yang masih belum perlu WiFi
Pelanggan lain mulai berdatangan sore itu. Pelanggan yang baru Fahmi lihat, demikian ia mengklaim. Maka dari itu, sembari melayani mereka di meja bar, ia mencoba mencaritahu darimana mereka mengetahui lokasi kedai kopinya. Ternyata mereka mengetahui dari seorang teman yang pernah ke sana. Beberapa pelanggan lain yang kemudian berdatangan, memberi jawaban yang sama, bahwa mereka mengetahui dari teman mereka.
Fahmi menjadi sibuk kala itu, seorang diri melayani pelanggan, membuat pesanan mereka, dan mengantar satu demi satu. Ia melakukannya seorang diri dan tampak begitu menikmati aktivitasnya, tak peduli bahwa ia begitu kalang kabut mencoba menyelesaikan semua pesanan.
Waktu berlalu dan membuat langit semakin gelap, sementara Fahmi masih sibuk melayani pelanggan. Saya memanfaatkan waktu itu untuk berbincang dengan salah satu pelanggan yang ternyata adalah teman lama Fahmi. Namanya Ika (34), dan saya menanyakan tentang apa yang membuat ia mau datang ke kedai kopi milik Fahmi terlepas bahwa mereka berteman.
“Alasan utama kenapa datang ke sini adalah karena lokasinya yang tenang.” Jawaban Ika membuktikan bahwa tujuan Fahmi menciptakan suasana tenang telah tercapai.
“Tempat ini bisa menjadi pelarian dari penatnya aktivitas kota. Lokasinya juga tidak jauh dari pusat kota, dan kapan lagi bisa mendapatkan suasana nyaman seperti ini, menu-menu seenak ini, pun dengan harga semurah ini?” lebih lanjut, ia mengklaim bahwa kedai kopi milik Fahmi tidak cocok untuk mengerjakan tugas atau semacamnya. Jika tujuannya memang ingin mengerjakan sesuatu, tentu Ika akan memilih kedai kopi yang lebih proper dari segi fasilitas.
“WiFi saja tidak ada. Sekarang kalua mengerjakan tugas pasti perlu WiFi. Makanya, kalau ke sini, pasti niatnya memang untuk menyantai dan tidak memikirkan pekerjaan.”
Akan tetapi Fahmi sendiri mengklaim bahwa sebenarnya ia ingin memasang WiFi, hanya saja masih harus fokus untuk hal lain sebelum memberikan fasilitas itu. “Kalau saya pasang WiFi, pasti lebih ramai. Saya ingin pasang WiFi, tapi nanti lah. Pelan-pelan,” tuturnya ketika ia telah menyelesaikan pesanan semua pelanggan.
Ia tampak begitu lelah secara fisik, namun rona kebahagiaan terlihat jelas di wajahnya. Mengelola kedai kopi seorang diri, saya penasaran apakah ia pernah merasa kewalahan, tetapi Fahmi mengklaim bahwa semua itu belum ada apa-apanya.
“Di tempat saya kerja dulu, saya bisa seorang diri mengurusi lima puluhan pelanggan. Itu juga lokasinya sangat luas. Kalua saya bisa melakukan itu di tempat kerja dulu, tentu mengurusi kedai kopi sekecil ini bukan masalah berarti.”
Ketika saya bertanya apakah ada penyesalan dengan keputusannya keluar dari pekerjaan dan membuka kedai kopi, Fahmi justru terheran-heran dengan pertanyaan saya. “Kenapa harus menyesal?” ia justru bertanya hal itu kepada saya. “Saya melakukan apa yang saya suka. Yang selama ini saya inginkan. Semua itu sudah cukup untuk membuat saya tidak menyesal.”
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa memang kedai kopinya masih jauh dari sempurna. Dan justru itulah yang membuat segalanya menjadi menarik. “Saya baru memulai. Saya masih memiliki banyak waktu untuk berkembang. Juga, saya selalu ingin mencoba. Masih banyak kesempatan untuk membuat kedai kopi ini semakin di kenal,” terangnya.
“Perjalanan saya masih panjang. Semakin ke depan, saya akan merealisasikan hal-hal lain yang saya inginkan selama ini. Semisal, memiliki mesin roasting sendiri. Semuanya. Sedikit demi sedikit, saya akan membuat kini lebih baik.”
Ia percaya bahwa segala sesuatu bisa dilakukan secara bertahap. Bahwa ia tidak memiliki banyak modal untuk merealisasikan kedai kopi idealnya, maka ia berkompromi dengan keadaan dan mencoba melakukannya setahap demi setahap, sampai suatu ketika ia akan meraih semua yang ia inginkan.
Ya, perjalanan Fahmi dan kedai kopi di tengah permukiman suburbannya memang baru dimulai. Dan saya sungguh tidak sabar melihat akan sejauh apa ia melangkah nanti.
BACA JUGA Kelahiran Kedua Anak Bajang, Raksasa Buruk Rupa Pencari Kesempurnaan
dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.