Bagi sebagian dosen, program praktisi mengajar yang digagas Kemendikbudristek mengiris hati. Pasalnya, praktisi dapat bayaran besar sementara mereka bahkan kesulitan dapat honor tambahan saat mengajar lebih dari jam kewajiban.
Praktisi mengajar merupakan program Kemendikbudristek yang bertujuan untuk meningkatkan persiapan lulusan sebelum masuk dunia kerja. Di kelas, para praktisi berkolaborasi dengan dosen dalam berbagi pengetahuan.
Namun, honor besar bagi para praktisi sempat jadi sorotan di media sosial X. Sebab, para praktisi mendapat bayaran Rp900 ribu per jam dengan maksimal 12 jam kolaborasi untuk satu mata kuliah yang artinya bisa mengantongi total Rp10,8 juta.
Sebagai koordinator dosen di kampus untuk program ini, saya mengamininya. Honor segitu baru untuk 1 kelas, sementara praktisi bisa ngajar maks 3 kelas. Totalnya sampai 30 jutaan.
Pas ditanya dosennya dapat apa? Cuma dapat sertifikat, itu pun lama banget keluarnya. Heuheu.— Keni Pradianti (@kenipradt) February 26, 2024
Sementara itu, dalam Panduan Program Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2024, tertera bahwa seorang praktisi bisa terlibat maksimal 36 jam dalam satu semester. Bagi segelintir kalangan dosen, hal itu kadang mengiris hati.
Salah satunya adalah Rani* (bukan nama sebenarnya), seorang dosen di UM Malang yang mengakui sebenarnya kehadiran praktisi dibutuhkan agar bisa memberi wawasan terkini seputar dunia kerja. Bahkan, nominal Rp900 ribu per jam pun sebenarnya baginya bukan hal yang besar.
“Nominal itu tidak terlalu besar jika konteksnya disamakan dengan biaya mengundang tamu untuk seminar. Ya standarnya Rp900 sampai Rp1,7 juta,” tuturnya saat Mojok wawancarai Rabu (28/2/2024).
Kendati begitu, mengisi seminar tentu beda tantangan dengan mengajar di satu kelas kecil. Di sisi lain, Rani juga merasa ngenes karena dosen yang seleksinya dan persyaratan kualifikasi studinya ketat seringkali tidak dapat upah layak.
“Dosen harus S2 bahkan S3 kuliahnya. Kesejahteraan sering tidak sejalan dengan tuntutan yang diberikan,” keluhnya.
Praktisi “abal-abal” ingin daftar praktisi mengajar
Jika saja praktisi yang mendaftar program memang punya rekam jejak atau pengalaman yang benar-benar menarik, bagi Rani, bayar mahal pun membawa banyak manfaat. Misalnya seperti saat Prilly Latuconsina menjadi dosen praktisi di UGM. Masalahnya, menurutnya sekarang banyak praktisi dengan rekam jejak yang tidak meyakinkan pun mendaftar.
“Bahkan ada di YouTube, ini akun yang terbilang kecil, bikin tips soal lolos program praktisi mengajar. Nggak bahas kompetensi sama sekali hanya trik agar bisa lulus,” terangnya.
Jika kompetensi dan pengalamannya pas-pasan, Rani menganggap sebenarnya banyak dosen yang punya rekam jejak sebagai praktisi. Bahkan sebagian masih ada yang punya sampingan sebagai praktisi di luar kampus.
Baca halaman selanjutnya…
Praktisi mengajar honor besar, dosen berjuang demi penuhi kebutuhan bulanan
Demi dapat praktisi yang kompeten, kampus kadang mencari langsung profil yang mereka inginkan. Lalu, mengajaknya untuk mendaftar program praktisi mengajar agar bisa mendaftar di kampusnya. Bagi Rani, jika praktisi yang datang kompetensinya memang teruji, para dosen pun bisa merasakan manfaatnya.
Namun, jika kompetensinya tidak terjamin, hatinya serasa tergerus. Apalagi, jika mengingat para dosen banyak dapat beban di luar Beban Kinerja Dosen (BKD) tapi tidak ada perhitungannya.
Rani mengaku pernah mengajar sampai 30 SKS dalam satu semester. Jika menilik aturan Kemendikbudristek, batas rentang beban SKS paling sedikit 12 SKS dan paling banyak 16 SKS pada setiap semester sesuai dengan kualifikasi akademik dosen. Padahal, itu sudah termasuk kewajiban dosen di luar pengajaran yang mencakup pengabdian masyarakat dan penelitian.
“Bayangkan 30 SKS itu dengan sekitar lima mata kuliah berbeda. Menyiapkan lima mata kuliah itu berat,” keluhnya.
Beban berat para dosen
Sebelumnya, Mojok juga pernah mewawancarai Siska* (30). Ia merupakan dosen di sebuah PTN di Jogja yang mengaku kewalahan dengan segudang tuntutan administrasi.
Salah satunya, di momen deadline Penilaian Angka Akreditasi (PAK). Pada masa itu di ruang kerjanya, kertas-kertas berserak. Di tengah lelah ia terkadang duduk lesehan di lantai beralaskan tikar sederhana.
“Setiap semester sudah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tapi kalau luput ngurus administrasi, semuanya bisa nggak dianggap,” kata dosen dengan berpangkat asisten ahli ini.
Ia merasa beban administrasi membuat para dosen kewalahan hingga menghambat produktivitas dosen dalam melakukan beragam tugas utama. Belum lagi, Ditjen Ristek Dikti terlalu banyak membuat aplikasi yang terkadang membuatnya bingung.
Perjalanan sebagai dosen penuh tantangan. Terkadang, Siska mengingat masa perjuangannya saat memutuskan keluar dari kerjaan di Jakarta pascaditerima sebagai dosen cpns di Jogja.
Ia mulai resmi mengajar sejak pertengahan 2019 silam. Sebagai dosen baru, jabatan fungsional Siska belum aktif. Jadwal mengajar juga belum ia miliki secara tetap. Sehingga gaji sebagai CPNS golongan IIIB pun belum ia terima secara penuh.
“Sekitar setahun setengah awal menjadi dosen itu gaji baru 80 persen. Itu berarti hanya sekitar 2,1 juta saat itu,” katanya.
Dengan gaji yang mepet UMK Sleman ditambah jatah uang makan sekitar Rp37 ribu per hari, ia harus bertahan di Jogja. Biaya menyewa kamar kos saja saat itu sekitar Rp800 ribu. Tak ada pilihan lain, ia menambal kebutuhan dengan tabungan dari pekerjaan sebelumnya.
Namun, setelah itu merasa ia beruntung karena ada suami yang membantu menopang kebutuhannya Jika tidak, baginya, sulit untuk bertahan melewati masa-masa awal menjadi dosen dengan segenap tuntutan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.