Nestapa Mahasiswa Bidikmisi: Dianggap Foya-foya, Padahal Buat Makan Saja Pernah Mengais Nasi Sisa Seminar

Nestapa Mahasiswa Bidikmisi: Dianggap Foya-foya, Padahal Buat Makan Saja Pernah Mengais Nasi Sisa Seminar MOJOK.CO

Ilustrasi Nestapa Mahasiswa Bidikmisi: Dianggap Foya-foya, Padahal Buat Makan Saja Pernah Mengais Nasi Sisa Seminar. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Stigma hedon dan gemar foya-foya sangat kerap melabeli mahasiswa bidikmisi. Banyak orang menganggap, duit negara bagi para penerima bidikmisi jauh lebih besar ketimbang uang saku mahasiswa non-beasiswa. 

Terlebih ada juga anggapan kalau kebanyakan mahasiswa bidikmisi sebenarnya adalah orang mampu yang mengakali aturan agar bisa kuliah enak.

Fenomena “bidikmisi salah sasaran” tak dimungkiri memang benar adanya. Namun, kita tak bisa menutup mata kalau nyatanya banyak juga mahasiswa bidikmisi yang benar-benar membutuhkan. 

***

Mojok sendiri menemui Fadli (25) dan Maria (25), dua eks mahasiswa bidikmisi yang berbagi cerita soal struggle-nya kuliah di Jogja dengan kondisi semi-melarat. Ada yang harus hidup prihatin, gali tutup lubang, hingga rela mengais nasi bekas di acara seminar.

Mengenal apa itu bidikmisi

Bidikmisi adalah program bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa yang diberikan pmerintah melalui Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. 

Program ini bergulir sejak 2010. Tujuannya memberikan bantuan biaya kepada peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi, tapi memiliki potensi baik secara akademi untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Sebagai informasi, per 2020 lalu Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi telah menghapus beasiswa Bidikmisi dan menggantinya dengan program baru bernama Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

Beberapa waktu yang lalu, banyak beredar informasi, banyak mahasiswa bidikmisi yang hidupnya hedon atau foya-foya. Ada  yang hobi nonton konser ada juga yang gadgetnya iPhone 6-14. 

Saya mengenal Fadli (25) sejak awal masuk kuliah pada 2017 lalu. Kebetulan, saat itu kita berada di satu kos yang sama di Karangmalang. Bedanya, saya kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sementara Fadli menimba ilmu di kampus tetangga, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sepeda dan sepasang sepatu jadi harta paling berharga

Sebagai orang yang tinggal seatap, saya tahu betul betapa susahnya dia. Satu-satunya harta berharga mahasiswa asal Belitung ini adalah sebuah sepeda dan sepasang sepatu yang selalu ia pakai berkuliah. Ponsel androidnya pun sudah penuh goresan di layarnya. Saya tidak tahu apakah itu masih berfungsi dengan baik atau tidak, tapi yang jelas ia sering mengeluh karena HP-nya lemot.

Laptop pun ia tidak punya. Tiap kali ada tugas kuliah, ia sering meminjam laptop teman-teman kos yang sedang nganggur. Kalau semua laptop terpakai, ia terpaksa harus nugas di LIMUNY, sebuah warung internet yang dikelola UNY. Itu pun ia masih kerap meminjam KTM saya, biar lebih murah katanya.

Kalau tidak salah mengingat, bagi mahasiswa UNY yang memakai layanan LIMUNY hanya dikenai tarif Rp1.500 per jam. Sedangkan mahasiswa non-UNY lebih mahal, Rp3.000 per jam. 

Saya sendiri sebenarnya baru tahu kalau Fadli adalah mahasiswa bidikmisi setelah saya pindah kos kira-kira enam bulan kemudian. Soalnya, ia tak pernah cerita kalau dirinya penerima beasiswa. Saya tahunya dia survive karena miskin aja. 

Pada Senin (8/1/2024) kemarin, saya menghubunginya lagi untuk berbagi kisah soal kemelaratannya. Ngomong-ngomong, kini dia sudah bekerja di salah satu bank di Jakarta. Saya pun senang mendengarnya.

Duit Bidikmisi buat bayar utang orang tua

Kepada saya, Fadli bercerita kalau kuliah sudah ibarat mukjizat baginya. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya adalah petani yang hidupnya pas-pasan. Boro-boro kuliah, buat makan saja ngepres. Makanya, ketika ia keterima kuliah via jalur bidikmisi, Fadli amat bersyukur.

“Minimal enggak mikirin lagi gimana bayar UKT. Sumpah, sampai sekarang kalau ditanya, saya aja enggak tahu caranya bayar UKT,” kata Fadli. 

Sebagai seorang mahasiswa bidikmisi, memang ia bebas uang kuliah sampai delapan semester. Fadli pun juga masih mendapat uang saku sebesar Rp650 ribu per bulan yang dibayar sekali tiap semester. Artinya, tiap duit bidikmisi cair, saldo ATM Fadli bakal langsung bertambah Rp3,9 juta.

Sayangnya, pada masa-masa awal kuliah, periode pencairan tak menentu. Bahkan, saat ia sudah berkuliah selama hampir tiga bulan, duit bidikmisi tak kunjung turun. Akhirnya, orang tuanya tetap harus menanggung biaya kos dan uang sakunya selama kurang lebih 3 bulan.

“Makanya, saya harus prihatin dan pinter-pinter atur duit. Sekalinya boros, bisa ‘tuh enggak makan berhari-hari,” sambungnya.

Tatkala uang beasiswa sudah cair pun, Faldi tak bisa berfoya-yoya–sebagaimana asumsi dan gambaran orang-orang. Sebab, uang saku yang selama ini orang tua transfer adalah hasil ngutang. Jadi, dia harus memakai uang itu buat membayar utang orang tuanya.

“Lebih dari setengah duit bidikmisi kukasih orang tua. Jadi bayangin aja, duit kurang dari Rp2 juta kudu kupakai buat berbulan-bulan berikutnya,” ujarnya. Kata Fadli, pola ini terus terjadi karena pencairan uang bidikmisi memang sering terlambat di bulan-bulan berikutnya.

Baca halaman selanjutnya…

Sering utang di angkringan

Sering utang di angkringan

Fadli mengaku, uang bidikmisinya tak pernah cukup hingga berbulan-bulan seterusnya. Seringnya, ia sudah benar-benar habis di dua bulan setelahnya. Untungnya, kakaknya yang sudah bekerja masih sering memberinya uang buat makan.

“Kadang kalau habis gajian, aku dikasih Rp200-300, lumayan lah buat melanjutkan hidup,” katanya.

Saking jarangnya punya uang, Fadli kerap berutang. Namun, ia semacam punya kode etik bahwa dirinya “cuma mau ngutang di warung-warung yang sudah akrab”. Ia pun sering berhutang di salah satu angkringan di Karangmalang. Kebetulan ia sudah menjadi langganan di sana, sehingga utang bukan sesuatu yang menjadi masalah.

“Kurang susah apa coba, nasi kucing aja ngutang terus, lho,” ujar Fadli.

Sampai-sampai, ia dan penjual angkringan sudah sama-sama paham. Ketika kalender sudah memasuki tanggal 20 ke atas, artinya Fadli datang buat ngutang.

“Biasanya aku bayarnya pas kakakku dah transfer lagi. Untungnya sekali bayar cuma 100-an ribu ya.”

Sering ikut seminar biar bisa makan gratis

Agaknya, kisah Fadli tak jauh berbeda dengan Maria (25). Mahasiswa UNY asal Sumatera Utara ini tak pernah merasakan kemewahan mahasiswa bidikmisi sebagaimana orang-orang gambarkan. Berasal dari orang tua petani yang hidupnya juga pas-pasan, ia harus menggantungkan hidupnya di perantauan dari uang bidikmisi.

“Boro-boro mau foya-foya, buat makan aja susah,” kata Maria ketika saya hubungi, Senin (8/1/2024).

Maria mengaku cukup beruntung karena punya lumayan banyak jejaring. Maria sangat akrab dengan organisasi mahasiswa asal daerahnya. Begitu juga dengan teman-teman jurusannya, di mana ia punya circle pertemanan yang cukup akrab. 

Nah, sayangnya, seperti yang ia sampaikan, semua teman-temannya juga miskin seperti dia. Alhasil, ketika sedang ngumpul mereka bukannya makan bareng, melainkan “lapar bersama”. 

Bahkan, demi mengisi perut, ia dan teman-temannya punya kebiasaan unik yang terus ia lakukan bahkan ketika menjelang lulus. Yakni berburu acara seminar demi dapat makan gratisan. Tentunya, seminar itu yang gratisan juga.

Kata Maria, tiap bulan ada banyak seminar yang mereka datangi. Mulai dari seminar-seminar bikinan universitas, fakultas, jurusan, ormawa, hingga acara sidang skripsi para mahasiswa yang kerap menyediakan nasi box. Akunya, persetan dengan isi materi, yang penting dapat makanan gratis.

“Itu metode pertahanan diri paling ampuh sih,” ujarnya. 

Akan tetapi, petualangannya mencari makanan gratis di seminar-seminar tak selalu indah. Ada kalanya, ia tak kebagian nasi. Masih untung jika masih mendapat snack. Seringnya, ia hanya kejatah tanda tangan saja.

“Sedih sih kalau diingat-ingat. Biasanya kalau enggak dapat makan, yaudah bubar jalan aja gausah lanjut sampe acara selesai.”

Mahasiswa bidikmisi yang terpaksa ngumpulin nasi sisa seminar

Salah satu kisah yang selalu bikin ia menangis jika mengingatnya terjadi pada akhir 2019 lalu. Maria ingat betul, kala itu ada acara stadium general di Gedung Rektorat UNY. Sayangnya, ia dan teman-temannya tidak bisa ikut karena acara itu khusus mahasiswa baru. Akhirnya, mereka hanya bisa menahan lapar sambil WiFi-an di selasar Gedung Rektorat.

Setelah acara selesai, para peserta Stadium General berbondong keluar. Banyak di antara mereka yang makan dan meninggalkan sampah nasi box tersebut di selasar gedung. Awalnya, Maria hanya memendam “niat gila” itu. Namun, ia memandang teman-temannya yang agaknya punya pikiran yang sama sepertinya.

“Akhirnya kami bisik-bisik. Diputuskan nunggu aja dulu sampe keadaan sepi. Pas udah enggak ada orang, kita bongkar satu per satu box. Kita ambilin nasi sisa dan lauk-lauk yang kira-kira masih layak terus dibawa ke kos,” katanya.

“Kalau diinget-inget, rasanya mau nangis aja sih karena ternyata pernah sesusah itu. Enggak kepikiran aja kita bisa punya niat segila itu, makan sisa orang tanpa jijik. Apalagi kalau bukan karena kepepet,” lanjut Maria.

Sudah sejak dua tahun lalu Maria lulus dari UNY. Kini ia sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah di kota asalnya dan mulai menata hidupnya ke arah yang lebih baik. Namun, ia mengaku bahwa kehidupan penuh perjuangan di perantauan tak akan pernah ia lupakan.

“Bakal selalu aku ingat gimana susahnya dulu. Sekalian mau berpesan kalau enggak semua mahasiswa bidikmisi itu berkecukupan, karena banyak kok yang susah beneran,” pungkasnya. 

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan

Ikuti berita terbaru dari Mojok di Google News

Exit mobile version