Curahan Hati Mahasiswa Papua yang Kesulitan ‘Mengetuk Pintu’ Pemilik Kos di Jogja

Curahan Hati Mahasiswa Papua yang Kesulitan 'Mengetuk Pintu' Pemilik Kos di Jogja.MOJOK.CO

Ilustrasi Curahan Hati Mahasiswa Papua yang Kesulitan 'Mengetuk Pintu' Pemilik Kos di Jogja (Mojok.co/Ega Fansuri)

Pintu-pintu kos di Jogja sempat tertutup bagi sebagian mahasiswa asal Papua. Stereotipe dan pengalaman masa lalu yang buruk sering kali menjadi alasan utama penolakan. 

Namun, di balik tantangan ini, mereka tak henti-hentinya berjuang untuk meruntuhkan stigma dan membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik antara mereka dan para pemilik kos.

Mojok sendiri bertemu dengan salah seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma (USD) asal Papua bernama Yeka* (25). Ia mengungkapkan, pandangan negatif terhadap mahasiswa Papua seringkali disebabkan oleh pengalaman buruk dari pemilik kos sebelumnya dengan orang-orang dari Timur.

“Kalau satu yang berbuat, semuanya kena imbasnya,” tegasnya dengan nada kesal saat Mojok wawancarai Rabu (11/09/2024). 

Banyak aturan tak tertulis yang bikin mahasiswa Papua susah dapat kos

Selain stereotipe, ada hal lain yang bikin mahasiswa asal Papua di kesulitan mendapatkan kos di Jogja. 

Salah satunya, aturan tak tertulis warga setempat yang mengharuskan pemilik kos bertanggung jawab penuh atas perbuatan mahasiswa asal Timur itu.

Misalnya, sebagaimana diceritakan Yeka, apabila terdapat kerusakan atau kegaduhan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua, maka pemilik kos tersebut yang harus bertanggung jawab.

Hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa, pertama mahasiswa Papua kerap gaduh bahkan berpotensi bikin kerusakan. Dan kedua, kalaupun kerusakan terjadi, pemilik kos harus menanggung penuh semua kerugian.

“Bagi saya kebijakan ini tidak hanya merugikan kami, tetapi juga memengaruhi pandangan warga Jogja kepada kami para mahasiswa yang tidak tahu apa apa,” ujar Yeka, mengungkapkan ketidakadilan yang ia rasakan.

Mojok juga sempat berbincang dengan salah satu pemilik kos di kawasan Pringgodani, Jogja, bernama Bekti (68), pada Jumat(6/09/2024). Ia mengungkapkan bahwa tidak semua para mahasiswa Papua berbuat buruk, sebagaimana yang dibayangkan orang-orang selama ini. 

“Meskipun saya memiliki pengalaman buruk dengan mereka, tapi bukan berarti semuanya begitu ‘kan. Buktinya mahasiswa Papua lain yang saya terima aman saja kok,” tegas Pak Bekti salah satu pemilik kos yang menerima mahasiswa Papua. 

Ia juga menambahkan, meskipun terdapat pengalaman buruk, seperti telat bayar yang kos, hal tersebut tidak hanya ditemukan dari mahasiswa Papua. Mahasiswa dari daerah lain, tak sedikit yang melakukan hal serupa.

“Toh, sama juga kan, Mas. Jadi ya ngapain harus beda-bedain mereka,” tegas Pak Bekti berusaha mematahkan stereotipe negatif tentang mahasiswa Papua.

Susah dapat kos, asrama jadi solusi

Sebagai solusi sulitnya mendapatkan kos di Jogja, beberapa mahasiswa Papua akhirnya memilih tinggal di asrama khusus yang disediakan oleh institusi atau komunitas mereka. 

Asrama tersebut pada akhirnya menjadi “tempat aman” bagi mereka yang kesulitan menemukan kos-kosan. 

“Ada beberapa kos yang memang khusus menerima kami, karena sudah terlalu sulit mencari tempat lain,” ujar Yeka, menjelaskan situasi yang dihadapi beberapa temannya. 

Salah satunya, asrama yang pernah Yeka tempati disediakan langsung oleh USD. Hampir setahun ia tinggal di asrama sebelum akhirnya mendapatkan kos dan jadi tempat tinggalnya sampai lulus awal 2024 ini.

Selain menawarkan rasa aman, bagi Yeka, asrama juga menanamkan nilai-nilai disiplin kepada para penghuninya. Ia mengakui bahwa tinggal di asrama telah membentuk sikap dan perilaku mereka menjadi lebih baik, membuat mereka lebih sopan dan teratur. 

“Anak asrama itu pasti dianggap sopan, tapi kami tetap saja sering ditolak kalau mau ngekos di luar,” ungkapnya dengan nada penuh keprihatinan. 

Saya juga pernah melihat langsung penolakan tersebut. Meskipun mereka datang dengan cara yang sopan, pemilik kos tetap menolaknya.

“Budaya kami memang suka berkelompok, tapi itu bukan berarti kami tidak mau berbaur,” kata Yeka.

Perlunya dialog terbuka demi dapat melangkah ke depan

Yeka juga sempat melakukan upaya-upaya untuk mematahkan stereotipe negatif terhadap mahasiswa Papua. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mulai membangun hubungan yang baik dengan warga. Misalnya, melalui obrolan-obrolan santai dengan masyarakat sekitar. 

Tidak hanya itu, ia juga pernah membantu pemilik kos merekomendasikannya kepada teman-temannya yang sedang mencari kos. Secara tidak langsung, Yeka juga membantu sesama mahasiswa Papua yang sedang kesulitan mencari kos.

Ke depan, Yeka pun berharap adanya dialog lebih terbuka antara mahasiswa Papua dan pemilik kos di Jogja. Baginya, cara terbaik untuk mengatasi stigma ini adalah dengan memberikan kesempatan bagi ia dan teman-temannya untuk menunjukkan bahwa mereka bisa bertanggung jawab dan hidup berdampingan dengan baik.

“Lebih bagus kalau kita tanya langsung, biar ada informasi yang jelas, bukan hanya mengandalkan pengalaman buruk masa lalu,” sarannya kepada para warga di Jogja. 

Penulis: Boby Adiputra Rajagukguk

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA Suara Hati Mahasiswa UGM Asal Papua Ungkap Beratnya Kuliah di Jogja Meski Dianggap “Papua Kedua”

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version