Nestapa Mahasiswa Jurusan Psikologi Pengidap Anxiety Disorder, Berat Jalani Studi tapi Terselamatkan

mahasiswa jurusan kuliah psikologi. dengan anxiety disorder.MOJOK.CO

Ilustrasi mahasiswa jurusan kuliah psikologi dengan masalah kejiwaan.MOJOK.CO

Ada adagium di kalangan mahasiswa jurusan psikologi bahwa mereka ini kuliah sambil “rawat jalan”. Meski studi di bidang yang erat dengan kesehatan mental, ketika terkena anxiety disorder mereka  merasakan situasi yang begitu menyulitkan dan butuh bantuan.

***

Saat sedang menjalani mata kuliah Psikologi Abnormal Dewasa di semester lima, dosen dari Fatir* (24) tiba-tiba berkelakar kepada mahasiswanya, “Kita sebenarnya ini kuliah sambil rawat jalan.”

Mendengar itu di sesi kelas yang sedang membahas simtom-simtom gangguan jiwa, tiba-tiba seisi kelas langsung tertawa. Sebagian seperti mengafirmasi ucapan itu. Termasuk Fatir sendiri yang terkadang merasakan ada permasalahan yang mengarah ke persoalan mental.

“Meski ya bukan permasalahan yang serius. Tapi, namanya gejala, aku ngerasa ada yang mengerah ke persoalan mental,” kenangnya.

Di media sosial, Fatir banyak menemukan unggahan bernada bercanda bahwa anak jurusan psikologi itu banyak yang mendaftar kuliah karena ingin mempelajari persoalan kejiwaan yang mereka rasakan. Sepanjang berkuliah, ia memang tidak menemukan satu pun temannya yang punya niat itu sejak awal masuk kuliah.

“Tapi di perjalanannya, ada beberapa teman yang merasa seakan sedang ‘rawat jalan’,” cetusnya.

Selain mengetahui gejala, mahasiswa yang dulu mengambil jurusan psikologi di sebuah PTS di Jogja ini mengaku jadi bisa mengantisipasi jika ada kecenderungan persoalan mental yang muncul di dirinya. Namun, pada taraf yang lebih serius, mahasiswa seperti Fatir juga perlu bantuan.

Ada sebuah pengalaman yang tak pernah Fatir lupakan. Seorang teman satu tongkrongannya, tiba-tiba datang dan berujar kalau ia tidak bisa naik motor.

Fatir tentu kaget. Sebab temannya biasa mengendarai motor dengan lincah tanpa gangguan sama sekali.

“Ternyata, saat itu setiap naik motor tangannya bergetar parah sampai nggak bisa mengendalikan stang sama sekali,” kenangnya.

Saat mahasiswa jurusan psikologi alami anxiety disorder

Meski mengambil jurusan psikologi tak berarti bisa menangani persoalan itu sendiri. Seperti dokter, ketika sakit pun membutuhkan dokter lain untuk mengobati. Fatir segera menyarankan temannya untuk konsultasi ke psikolog.

Setelah mengambil assessment di psikolog, ternyata vonisnya mengarah ke beberapa penyakit yang cukup kompleks. Ia mengalami bulimia, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan anxiety disorder atau gangguan kecemasan.

Bulimia merupakan gangguan makan yang berkaitan dengan kondisi psikologisnya. Sedangkan anxiety disorder membuat pengidapnya merasakan kecemasan yang berlebihan hingga memengaruhi banyak sisi kehidupan. Sementara itu, pada orang dewasa, ADHD gejalanya dapat berupa perasaan gelisah yang berlebihan.

Fatir melihat temannya memang menunjukkan gejala seperti itu. Kondisi itu baru terjadi setelah masuk di jurusan psikologi.

Pada saat gejalanya sedang kambuh, temannya berbicara dengan suara yang sangat lirih. Bahkan seperti sedang berbisik-bisik. Ia kemudian menjalani pengobatan jalan. Sampai Fatir lulus kuliah dan berjumpa dengannya, sang teman masih rutin mengonsumsi obat-obatan untuk menangani anxiety disorder dan beberapa persoalan lainnya.

“Pengobatannya berlanjut dari psikolog ke psikiater. Setiap hari dia perlu mengonsumsi obat yang dosisnya cukup tinggi untuk menangani kondisinya supaya tidak kambuh,” kata Fatir.

“Aku melihatnya dia benar-benar bingung dan butuh bantuan. Mau kuliah apa saja, termasuk psikologi, kalau ada masalah kejiawaan ya harus mendapatkan perawatan profesional,” imbuhnya.

Ilustrasi. Mereka yang mempunyai masalah kejiwaan perlu pendampingan (Shvets Production/Pexels)

Beruntungnya, di lingkungan mahasiswa jurusan psikologi, persoalan semacam itu dipahami dengan baik. Teman-temannya, meski belum pada taraf mampu memberikan solusi klinis, namun memahami cara memberikan pendampingan.

“Kalau bicara persoalan mental, di luar, orang awam itu kan banyak yang masih menyepelekan. Malah memberikan diskriminasi. Setidaknya kami paham untuk berlaku secara baik pada teman kami,” papar Fatir.

Bahkan di Indonesia, pergi untuk mendapatkan bantuan kesehatan jiwa ke profesional masih dianggap aib bagi kebanyakan orang. Psikolog Della Nova Nusantara mengungkapkan masyarakat perlu menyadari bahwa permasalahan mental itu seperti persoalan kesehatan fisik.

“Gangguan kesehatan mental itu bukan hal yang tabu, bukan pula aib. Sama seperti saat fisik kita sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat, butuh treatment yang tepat sesuai kebutuhannya saat itu. Mungkin istirahat atau olahraga. Begitu juga dengan kesehatan mental, perlu treatment yang tepat untuk menjaga kesehatannya,” papar Della melansir CNN Indonesia.

Kuliah psikologi menyadarkan dan menyelamatkan banyak hal

Seperti Fatir, Udin (25) mahasiswa jurusan psikologi lain, juga mengakui bahwa studi yang ia ambil membuatnya menyadari lebih jauh tentang persoalan kesehatan mental. Di tengah jalan, ia menemukan sebagian temannya yang menyadari bahwa, meski dalam taraf ringan yang belum membutuhkan bantuan profesional, mereka merasakan ada persoalan di kesehatan mentalnya.

Hal itu lantaran perkuliahan yang mereka jalani memberikan banyak pandangan soal apa yang ideal dan kurang ideal dalam konteks kejiwaan. Misalnya tentang regulasi emosi hingga motivasi melakukan suatu tindakan.

“Kuliah juga memberikan insight bahwa apa yang kita lalui dahulu bisa memberikan dampak bagi diri kita saat ini dan orang di sekitar. Jadi memang banyak mengenal diri,” papar lelaki yang saat ini juga sedang mengambil studi S2 pada bidang yang sama.

Dulu saat masih S1, ia juga mengaku banyak teman yang di tengah jalan merasa seperti sedang “rawat jalan”. Namun, sifatnya lebih ke reflektif atau mengenali jiwanya secara lebih mendalam. Termasuk tentang sebab dan akibat dari tinjauan psikologis tentang tindakan yang mereka lakukan.

Persoalan kesehatan mental memang jadi isu yang perlu dapat perhatian. Data Riskesdas (2018) menunjukkan prevalensi depresi di Indonesia sebesar 6,1 persen.

Bahkan, menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Terancam Drop Out, Nestapa Mahasiswa UNY dan ITS Jalani Semester 14 Penuh Tekanan dan Kesepian

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version