Lulusan Jurusan Kedokteran Kuliah Habis Ratusan Juta tapi Takut Ambil Spesialis, Khawatir Jadi Pesuruh dan Dapat Kekerasan Senior

jurusan kedokteran ppds.MOJOK.CO

Ilustrasi lulusan jurusan kedokteran (Ega/Mojok.co)

Seorang lulusan jurusan kedokteran dari PTS di Jogja mengaku khawatir untuk meraih mimpinya jadi dokter spesialis. Banyak tantangan menanti, di luar beratnya pembelajaran, ia khawatir terkena bullying dari para senior.

***

Kini, Dino* (25), bukan nama sebenarnya, sedang menjalani magang di sebuah rumah sakit di DIY. Berbagai tahap proses studi sudah ia jalani sejak masuk ke jurusan kedokteran sebuah PTS Jogja pada 2017 silam.

Proses belajar agar bisa lolos seleksi saja cukup melelahkan. Selama kuliah di jurusan kedokteran, waktunya habis tersita untuk belajar tanpa bisa banyak bersenang-senang.

Biaya kuliahnya pun tak sedikit. Tak kurang dari Rp300 juta habis selama pendidikan. Belum lagi untuk biaya kebutuhan hidup selama kuliah.

Sampai, akhirnya pada 2021 silam ia berhasil lulus dari jurusan kedokteran di Jogja, menyandang gelar S.Ked. Namun, selepas itu jalannya untuk jadi dokter masih panjang. Mulai dari co-ass hingga internship atau magang.

Saat sudah di tahap magang, tentu ia mulai memikirkan masa depan. Salah satu impiannya, tentu mengambil pendidikan dokter spesialis. Meski pun ia mengaku belum tahu pasti akan mengambil spesialisasi di bidang apa.

Selain itu, salah satu hal yang membuatnya khawatir adalah tantangan di luar pembelajaran. Ia mengaku sudah sering mendengar bahwa di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) senioritasnya begitu kental.

“Bukan rahasia lagi, bahkan Menkes sudah pernah memberikan imbauan tapi ya situasinya sepertinya belum banyak berubah,” kata Dino saat Mojok wawancarai Minggu (31/3/2024) di Jogja.

“Dari cerita bebeberapa senior dan teman, kondisi itu terjadi di PPDS berbagai tempat, sudah lazim,” imbuhnya.

Lulusan jurusan kedokteran beda almamater saat spesialis semakin berat

Dino mendengar dari kenalannya yang sudah PPDS, bahwa mereka harus siap-siap dengan berbagai tugas yang senior berikan. Meski terkadang di luar kemampuan residen -sebutan untuk dokter yang sedang menempuh PPDS- tapi harus tetap diupayakan.

“Bahkan misal begini, senior minta dipersiapkan mau ada acara seminar di Bali, maka residen harus mempersiapkan. Bukan hanya soal materi pendukung, soal biaya pun kadang suruh mengurus,” tuturnya.

Selain itu, menurutnya, dokter yang beda almamater dengan tempat PPDS biasanya tidak begitu diuntungkan. “Jadi posisiku, karena kampusku belum ada program PPDS jadi harus ke tempat lain. Dan itu jadi tantangan tersendiri,” terangnya.

Hal itu membuat lulusan jurusan kedokteran ini terkadang ragu untuk membayangkan menempuh jalan terjalnya mengambil spesialis.

Sebelumnya, Mojok juga sempat mewawancarai Jeremi* (30), seorang lulusan jurusan kedokteran yang akhirnya menempuh PPDS namun tidak sampai selesai. Ia memutuskan keluar setelah mengaku mendapat berbagai perlakuan buruk.

Jeremi berujar ada senior yang meminta junior mengerjakan thesis. Bagi Jeremi, hal ini kelewatan lantaran posisinya yang sangat sakral dan berkaitan dengan gelar akademik yang akan dokter spesialis dapat kelak.

Ilustrasi. Para dokter di ruang operasi (Piron Guillaume/Unsplash)

Namun, bagi para residen terkadang sulit untuk menolak lantaran senior cukup berpengaruh banyak pada kelulusan mereka. Bukan hanya di penilaian kinerja, Jeremi mengatakan, jika ada senior yang tidak suka maka sulit bagi junior untuk mendapatkan kesempatan operasi pasien. Hal yang cukup krusial bagi dokter spesialis lantaran menyangkut pengalaman sebelum mengemban tanggung jawab yang lebih besar nantinya.

Dipukul senior

Salah satu kenangan terburuk yang Jeremi alami adalah kekerasan fisik. Suatu hari pada Agustus 2020, Jeremi sedang berada di bangsal rumah sakit saat dua orang dokter konsulen yang sedang melakukan kunjungan mendadak tampak mendekat dari kejauhan. Ia tahu, tindakan junior mendampingi konsulen tanpa kehadiran senior bisa berakibat fatal karena dianggap melangkahi.

“Saat itu kasusnya memang khusus karena pasien buta setelah dilakukan operasi sehingga konsulen visit mendadak,” ujarnya.

Jeremi mengaku mencoba menghindar dengan menaiki tangga ke lantai atas. Namun, salah satu konsulen ternyata sudah melihat keberadaannya lantas memanggil.

“Dokter (yang bukan konsulen prodi Jeremi) ini memang kenal sama aku. Dulu kan memang jadi pengajarku saat masih S1. Jadi ya mau bagaimana, aneh kalau dia memanggil nggak aku temui,” ujarnya.

Namun, ternyata situasi yang sudah berusaha Jeremi hindari berbuah petaka. Tak berselang lama, seorang senior mengetahui bahwa ia mendampingi saat konsulen melakukan kunjungan.

“Udah jago lo visit sama konsulen tanpa lapor kita?” kata Jeremi, menirukan teriakan seniornya.

Selepas itu, senior itu memukul perutnya dengan cukup keras. Kejadian itu terjadi pada waktu setelah magrib dan bukan di “ruang gelap” melainkan di bangsal. Istilah “ruang gelap” merujuk pada tempat-tempat tertutup yang tak terjamah publik di rumah sakit.

Beberapa senior calon dokter spesialis maupun teman seangkatannya menjadi saksi kejadian itu. “Salah satu senior yang baik kemudian melerai, dia mengingatkan bahwa tindakan memukul itu berbahaya,” katanya.

Selepas itu, saat pulang Jeremi menyadari bahwa ada memar yang tampak jelas di bagian perut bagian kanan sisi atas. Foto yang masih tersimpan itu ia tunjukkan kepada Mojok.

Sorotan Menkes

Sebenarnya, setelah beberapa kali viral di media sosial, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat angkat suara mengenai kasus bullying di lingkungan PPDS. Menurut Menkes, dalih pada praktik penindasan ini biasanya untuk pembentukan karakter dokter muda. Namun, baginya tradisi ini jelas salah dan harus ada perubahan.

“Saya setuju, dokter-dokter itu harus dibentuk, tapi dibentuknya bukan hanya dengan kekerasan untuk bisa mencapai ketangguhan dari yang bersangkutan. Tapi harus dibentuk rasa empati, sayang kepada pasien, cara komunikasi, ini menurut saya penting,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers Kamis, (20/7/2023) silam.

Namun, hingga kini, lulusan jurusan kedokteran seperti Dino, masih menyimpan ragu untuk mengambil jurusan spesialis. Kondisi ini, barangkali terjadi di Jogja dan beberapa kota lainnya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kekejaman Senior PPDS Seperti Terus Dibiarkan, Memukuli dan Memaki Junior Calon Dokter Spesialis hingga Depresi

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version