Dalam tayangan YouTube Universitas Sumatera Utara, Nadiem Makarim menyampaikan bahwa 80 persen mahasiswa bekerja di luar jurusan mereka berkuliah. Dan ini kita bisa lihat di kehidupan nyata, bahkan kalian pembaca mungkin salah satunya. Kuliahnya apa, kerjanya apa. Salah satu penyebabnya adalah, kampus tidak memberi modal di dunia kerja. Apalagi untuk para gen Z, yang kerap dianggap tidak becus dalam bekerja.
Modal yang dimaksud beragam, bisa koneksi, bisa skill, bisa makul yang memang sesuai dengan industri. Melihat bahwa 80 persen mahasiswa tidak bekerja sesuai jurusan mereka, bisa diambil asumsi bahwa kampus tak memberi modal untuk dunia kerja. Tapi untuk ini, tetap butuh pembuktian, dan pasti ada yang setuju, pasti ada yang tidak.
Yudi (22, bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mahasiswa yang setuju bahwa kampus tidak memberi modal pada mahasiswanya di dunia kerja (25/05/2024). Banyak alasan yang mendasari statement Yudi.
“Kalau di jurusanku (Sosiologi), aku merasa lebih banyak diajari soal ilmu dan teorinya, Mas. Tapi, kalau soal gimana cara cari duit dari ilmu ini yang nggak dapet. Ini juga udah tak tanyakan ke beberapa temenku, termasuk yang beda jurusan, mereka juga sepakat kalau nggak dapet skill itu.”
Yudi mengaku, bahwa jurusannya, Sosiologi, sebenarnya salah satu jurusan yang sulit dapat kerja. Masalahnya adalah, jika mau berusaha cari pengalaman lewat jalur kampus, juga tidak mudah. Misal, jika mahasiswa mau ikut program di luar kampus, misal magang, pengabdian, pertukaran pelajar juga masih dipersulit. Alasannya bisa berpotensi menghambat kelulusan. Padahal, modal tersebut sebenarnya amat dibutuhkan oleh mahasiswa yang nantinya akan baku hantam dengan kenyataan di dunia nyata.
Networking yang terbatas di jurusannya pun seakan menjadi perasan air garam di luka yang menganga.
“Selain itu, di kampusku juga nggak punya kelompok alumni yang bisa diajak sharing gitu. Beda kayak di kampus lain kan biasanya kumpulan alumni yang aktif dan bisa diajak sharing soal kayak ginian.”
Yang setuju
Jika Yudi tak setuju, Achmad (23) berbeda pendapat. Mahasiswa IAIN Kediri ini berkata bahwa jika lulus, dia sudah punya modal di dunia kerja karena jurusannya memang mengajarkan skill yang dibutuhkan.
“Kan aku jurusan Ilmu Komunikasi ya, Mas. Nah di jurusanku itu ada beberapa mata kuliah yang membahas soal dunia riset, media massa, dan kepenulisan ala-ala jurnalistik gitu. Maka, buatku pemahaman soal riset, media massa, dan kepenulisan jurnalistik itu bisa jadi modal ketika misalnya, aku pengin kerja jadi wartawan, atau nulis-nulis.”
Bahkan beberapa kawan Achmad sudah bekerja di dunia yang berhubungan dengan Ilmu Komunikasi, karena mendapat ilmunya. Tapi tetap tidak memungkiri bahwa Achmad melihat ada kawan yang menganggap ilmu yang ada tak bisa jadi modal kerja. Jadi Achmad berpikiran bahwa ini semua tergantung pribadinya.
Saya lalu bertanya, apakah dosen-dosen di jurusan Achmad memberi jalan karier atau sekadar rekomendasi tempat yang bisa Achmad tuju untuk kerja. Achmad menjawab, tidak.
“Sejauh ini, dosenku sama sekali nggak ada yg ngasih rekomendasi/loker gitu. Tapi nggak tahu kalau aku tanya-tanya loker ke beliau. Temenku jurusan lain, entah yang satu fakultas atau nggak pun gitu, ga pernah cerita kalo dia kerja dapet rekomendasi dari dosen.
Dunia kerja butuh inovasi
Ipank (bukan nama sebenarnya, 30), alumni S2 UGM yang kini jadi salah satu event organizer ternama mengatakan bahwa kenapa kampus tidak bisa memberi modal mahasiswanya di dunia kerja karena memang banyak yang salah di dunia kampus. Terutama, inovasi.
Dosen dan kampus yang tidak mau mau bikin inovasi menghasilkan mahasiswa yang gitu-gitu saja. Ipank juga menekankan, inovasi hampir tak ada di kampus-kampus, yang dilakukan hanyalah mencetak mahasiswa ber-IPK tinggi, tapi tak memberi sumbangsih berarti.
“Coba ingat berapa kali kamu ngulang mata kuliah yang sama. Materinya sama persis nggak? Iya kan? Ya harusnya nggak. Tiap tahun harusnya ada penyesuaian. Tapi nyatanya nggak, dosennya udah pada males duluan. Alasannya silabus. Padahal silabus kan harusnya dilihat dari output, caranya mah bisa improve. Nggak harus sama kek kemarin.”
Ipank juga menekankan bahwa mindset yang gitu-gitu saja bikin mahasiswa tak punya pilihan saat mereka mentas dari kampus dan menghadapi dunia kerja. Ipank memberikan contoh sewaktu dia kuliah S1. Sebagai anak bahasa, dia benar-benar menyayangkan kenapa lulusan bahasa hanya diarahkan ke jenis-jenis pekerjaan yang itu-itu saja. Padahal bahasa benar-benar ilmu yang bisa masuk di tiap industri.
“Contoh bidang UX, tak jarang diiisi orang marketing. Lha, harusnya anak bahasa lah.”
Harapan
Mungkin Achmad tak bermasalah, karena memang jurusannya benar-benar ada untuk dunia nyata. Tapi untuk orang macam Yudi, dunia jadi kelewat keras. Yudi pun punya harapan-harapan untuk kampusnya agar peduli pada mahasiswa yang sebentar lagi menghadapi perih pahit dunia kerja.
“Jangan paksa semua mahasiswa harus lulus 3.5 tahun. Maksudku, batas normalnya kan 4 tahun ya, Mas, mbok biarin nyari pengalaman dulu mumpung masih mahasiswa. Jadi, kalau mahasiswa mau nyari pengalaman di luar kampus harusnya didukung, bukan malah dipersulit.”
Selain itu, Yudi juga berharap kampus atau universitasnya mengadakan job fair agar para mahasiswanya bisa tahu betul perusahaan mana yang membutuhkan mereka. setidaknya, memberikan gambaran kalau kampusnya peduli dengan mereka.
“Ya, meskipun acara kayak gini gak menjamin dapet kerja, tapi minimal kampus udah usaha ngasih peluang.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.