Mahasiswa Miskin Unpad Sempat Diremehkan Gara-gara Kuliah di ‘Jurusan Terburuk’, Sengaja Memilihnya karena Pengalaman Kelam di Masa Lalu

Lolos SNBP Universitas Brawijaya Malang Karena Asal Klik dan Hoki, Sekarang Menyesal Jurusannya Sulit Buat Cari Kerja.mojok.co

Ilustrasi Lolos SNBP Universitas Brawijaya Malang Karena Asal Klik dan Hoki, Sekarang Menyesal Jurusannya Sulit Buat Cari Kerja (Mojok.co/Ega)

Bagi Anas Anwar Nasirin (26), kuliah di jurusan terburuk tak menjadi masalah. Bisa kuliah saja sudah syukur. Alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) ini juga menolak baper dengan nyinyiran orang. Hidup dalam kondisi miskin, Anas, sapaan akrabnya, bahkan bisa lanjut kuliah S2 di “jurusan kuliah terburuk” itu. Biaya kuliah pun teleh pemerintah tanggung.

Pada 2022 lalu Anas diterima sebagai mahasiswa peserta beasiswa LPDP. Ia mengambil jurusan magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia  melalui program Beasiswa Prasejahtera. Sebelum lanjut S2, Anas menyelesaikan studi sarjananya di Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad).

Jurusan yang Anas ambil memang sudah lekat dengan stigma jurusan terburuk. Baik itu dari segi passing grade saja, berdasarkan banyak survei Ilmu Sejarah memang jadi salah satu terendah. Buat prospek kerja, jurusan ini juga dianggap tak menawarkan kesuksesan. Banyak lulusannya pada akhirnya mengambil jalan lain di luar disiplin jurusan.

Sebagai orang yang pernah berkuliah di jurusan yang sama dengan Anas, tentu saya paham betul dengan hal-hal yang disebutkan tadi.

Kendati demikian, kuliah di jurusan terburuk sekalipun tetap Anas syukuri. Sepanjang hidupnya, ia sudah mengalami banyak sekali kemalangan. Mulai menjadi yatim, hidup dari panti ke panti, bekerja demi sesuap nasi, pernah ia cicipi. Apalagi cuma kuliah di jurusan yang orang anggap buruk.

Modal nekat merantau ke kota berbekal uang Rp100 ribu

Anas berasal dari keluarga miskin. Kedua orang tuanya bekerja sebagai petani, yang hanya menggantungkan pendapatan pada hasil alam dan musim tanam saja. Boro-boro buat menguliahkannya, untuk memberi makan dia dan kedua saudaranya saja pas-pasan.

Kondisi keluarganya bahkan semmakin buruk saat ayahnya meninggal pada 2009. Tak lama setelahnya, ibunya kena stroke. Keluarga Anas pun makin limbung, tak ada pemasukan. Untungnya, salah seorang sepupunya mau merawat ibunya yang hanya bisa terbaring di tempat tidur itu.

Merasa punya tanggung jawab, Anas memutuskan merantau ke kota. Ia ingin mencari pekerjaan agar tak sepenuhnya menggantungkan nasib di kampung. Anas merantau dengan modal Rp100 ribu, uang sisa dari bantuan pemerintah buat masyarakat miskin.

Untungnya, saudara jauhnya yang berada di Subang membantu Anas. “Mereka mengizinkan saya buat tinggal di Panti Asuhan Al-Rasyid Subang,” ungkapnya, melansir laman LPDP, Rabu (13/3/2024). Alhasil, masa SMP Anas habiskan di panti asuhan bersama anak-anak lain yang senasib dengannya. Ini menjadi perjalanan awalnya sebelum “bertemu” dengan jurusan terburuk tadi.

Masuk di ‘jurusan terburuk’ Unpad

Lulus SMP, Anas memutuskan keluar dari Panti Asuhan Al-Rasyid Subang karena ekonomi keluarganya makin sulit. Ia pun harus bekerja di konveksi untuk membantu keluarganya. Untungnya, Panti Asuhan Darul Inayah di Bandung Barat mau menerimanya. Panti Asuhan ini juga memfasilitasi Anas dengan pendidikan gratis. Masa SMA pun ia habiskan di panti asuhan berbasis pondok pesantren ini.

Prestasi yang mentereng selama SMA bikin Anas berani mendaftar SBMPTN. Ia pun diterima di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad pada 2017 lalu via program beasiswa. Dari 22 siswa pendaftar dari panti asuhannya, hanya Anas yang diterima di PTN.

Namun, keputusannya memilih jurusan sejarah sempat mendapat pertentangan dari orang-orang di panti. Muasalnya karena stigma Ilmu Sejarah sebagai jurusan kuliah terburuk. Sebagai informasi, berdasarkan data resmi laman kemendikbud, passing grade Ilmu Sejarah Unpad adalah 1:6. Ini tak beda jauh dari saat Anas mendaftar di Unpad.  

Dari segi peminat dan peta persaingan saja, banyak pihak mengklaim jurusan sejarah mendapat label jurusan terburuk. Selain itu, banyak pihak juga menganggap jurusan ini kurang populer. Ilmu Sejarah, lekat dengan label jurusan “yang tak menawarkan kesuksesan di masa depan”.

Anas bersama anak didiknya di panti asuhan (dok. laman LPDP)

“Saat itu, ketika saya di panti asuhan sempat mendapatkan pertentangan. Karena jurusan sejarah adalah jurusan yang kategorinya minat khusus, non-favorit,” kata Anas, mengamini sejumlah pihak yang memang mempertentangkan keputusannya.

“Bahkan untuk pekerjaannya pun tidak sebanyak jurusan seperti Ilmu Hukum, ataupun Ekonomi dan Psikologi,” sambungnya.

Baca halaman selanjutnya…

Anas mengaku ada alasan personal mengapa ia memilih Ilmu Sejarah. Tak sekadar karena passing grade rendah.

Pilih Ilmu Sejarah karena pengalaman kelam di masa lalu

Kendati passing grade rendah, tak populer, dan mendapat cap jurusan terburuk, nyatanya Anas tak sedang main aman dengan memilih Ilmu Sejarah Unpad. Banyak teman-temannya berpikir kalau jurusan itu dia pilih sekadar mudah lolos saja. Namun, nyatanya ada alasan lain.

Anas mengaku, telah menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku SMP. Bahkan, jurusan ini ia ambil karena ada pengalaman buruk di masa lalu. Pengalaman buruk ini Anas tulis dalam skripsinya yang berjudul “Politik Hukum Pemerintah Indonesia tentang Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia Tahun 1984-1989”.

Dalam tugas akhirnya itu, ia menyoroti tentang pemberlakuan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada 1984 ke Malaysia. Di era Orde Baru, target pemerintah yang masuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mengirimkan tenaga kerja sebesar-besarnya ternyata tak sebanding dengan kelayakan yang mereka dapat di lapangan.

“Kala itu negara cenderung memanfaatkannya, tapi minim perlindungan terhadap mereka (buruh migran). Mereka rawan mengalami penyalahgunaan atau dimanfaatkan oleh perusahaan maupun oknum pemberi kerja ketika di Malaysia. Bahkan dalam proses sebagai korban seringkali telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia” jelas Anas.

Ketertarikan Anas pada topik buruh migran ini didasari oleh situasi daerah asalnya. Sejak kecil, Anas sudah banyak melihat tetangganya yang rata-rata perempuan bekerja ke luar negeri. Sayangnya, mendapatkan hidup layak hanya menjadi angan-angan saja. Rata-rata para buruh migran ini pergi meninggalkan anak mereka yang akhirnya banyak yang terlantar. Kondisi mereka di negeri orang pun juga lebih buruk lagi.

Ibu Anas sendiri juga hampir meninggalkannya menjadi TKI saat ia masih di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Untungnya, hal itu tak terjadi karena ibunya belum tega meninggalkan Anas dan dua adiknya yang masih kecil. 

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Biaya Hidup Murah, Mahasiswa Purwokerto Tetap Nelangsa Karena Dapat UKT Selangit tapi Akreditasi Jurusan B

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version