Jama’ah Shalahuddin: Perumus Tema Berat dan Tokoh-Tokoh Besar Ramadan di Kampus UGM, Sengaja “Ndakik-ndakik” Meski Tahu Bikin Mumet Audiens

Ilustrasi Ramadan di Kampus (RDK) UGM. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ramadan di Kampus (RDK) memang bukan barang baru di Masjid Kampus (Maskam) UGM. Lebih-lebih dalam beberapa tahun terakhir, RDK UGM menghadirkan tokoh-tokoh elite besar nasional.

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa ada sosok di balik RDK UGM, yakni Jama’ah Shalahuddin sebagai perumus tema dan tokoh yang akan menjadi pembicara.

***

Mudah saja untuk menemukan sekretariat Jama’ah Shalahuddin. Letaknya di sayap selatan Masjid Kampus UGM. Saya mengunjunginya pada Senin, (11/3/2024) siang WIB, saat sebagian umat Islam Indonesia telah melaksanakan hari pertama ibadah puasa Ramadan.

Siang itu, Muhammad Akhdan (23) dari Biro Khusus Kaderisasi Jama’ah Shalahuddin menjamu saya dengan penuh kehangatan. Ia menawari saya untuk ngobrol di dalam sekretariat.

Jama'ah Shalahuddin di Balik RDK UGM MOJOK.CO
Sekretariat Jama’ah Shalahuddin di sayap selatan Masjid Kampus UGM. (Aly Reza/Mojok.co)

Tapi karena sekretariat tengah anak-anak Jama’ah Shalahuddin pakai untuk persiapan RDK sore itu, maka saya memilih untuk ngobrol sambil selonjoran kaki di selasar Masjid Kampus UGM saja.

“Jadi selain kajian sore, RDK juga menyediakan buka bersama gratis,” ujar Akhdan menunjuk satu sudut di area Masjid Kampus UGM yang telah tertata untuk mendisplay jatah bukber.

Alasan RDK UGM pakai tema berat

Untuk Ramadan edisi 2024 M/1445 H ini, RDK mengangkat tema besar “Muslim Development Goals: Mengintegrasikan Iman, Sains, dan Budaya,” dengan tagline berbunyi “Pembangunan Berintegritas, Peradaban Berkualitas!”

Tema besar tersebut kemudian akan jadi turunan tema-tema spesifik yang akan para pembicara bahas sesuai dengan kepakarannya masing-masing.

Jauh sebelum liputan hari itu, saat masih di Surabaya, saya sempat terpantik dengan artikel Gusti Aditya berjudul “Ndakik-Ndakik ala Masjid Kampus UGM” yang tayang di Kumparan+ pada Ramadan 2023 M/1444 H lalu.

Rupanya, tema-tema yang RDK angkat dalam setiap momen Ramadan terasa sangat “ndakik-ndakik” atau kalau dalam istilah Jawa lainnya keduwuren (terlalu tinggi). Oleh karena itu, siang itu saya meminta Akhdan menjelaskan proses dari teman-teman Jama’ah Shalahuddin merumuskan tema-tema tersebut.

Area sekitar Maskam UGM yang penuh pernak-pernik seputar RDK. (Aly Reza/Mojok.co)

“Begini, RDK itu kan di lingkup kampus. Maka, kami pun harus menyesuaikan dengan budaya kampus yang kental dengan intelektualitas. Itulah kenapa tema-tema RDK cenderung terdengar ilmiah,” ujar pemuda asal Megalang tersebut.

“Selain tema-tema ilmiah yang sifatnya umum, di RDK kan juga ada pembicara dari kalangan ustaz, yang tentu nanti akan bicara secara spesifik soal agama,” sambung mahasiswa dari Fakultas Teknik UGM itu.

Jika melihat daftar pembicara untuk Kajian Sore RDK, di samping nama-nama intelektual seperti Zainal Arifin Muchtar (Mas Uceng), Najwa Shihab, dan sederet akademisi lain, ada juga nama-nama ustaz populer seperti Ustaz Das’ad Latif hingga Ustaz Salim A. Fillah.

Memilih pembicara bukan karena popularitas

“Pesan yang selalu pengurus Jama’ah Shalahuddin pegang adalah kalau cari pembicara jangan atas dasar popularitas, tapi inetelektualitas dan kepakaran si pembicara,” kata Akhdan.

Sepintas jika melihat nama Mas Uceng masuk dalam daftar, seolah ada hubungannya dengan film dokumenter Dirty Vote yang melibatkan Mas Uceng dan bikin gonjang-ganjing jelang Pemilu 2024 lalu. Dengan kata lain, Mas Uceng jadi pembicara sedikit banyak juga karena faktor popularitas.

Tapi Akhdan membantahnya. Mas Uceng masuk daftar karena memang merupakan dosen dari UGM sendiri. Di samping itu, kepakaran dari Mas Uceng teman-teman Jama’ah Shalahuddin rasa representatif juga dengan tema RDK edisi tahun ini.

“Konsep RDK itu mengenalkan intelektual-intelekual muslim atau orang-orang muslim yang intelektual,” beber Akhdan.

Jadi, lanjut Akhdan, konsep RDK adalah menghadirkan orang-orang Islam Indonesia yang berangkat dari intelektualitas dan kepakaran yang beragam. Mislanya pakar di bidang kebudayaan, maka nanti akan bicara soal kebudayaan. Atau jika pakar dalam keagamaan (representasinya ustaz), ya nanti bicara soal keagamaan.

Sehingga akan memperkaya pengetahuan para audiens yang hadir, sekaligus menjadi motivasi, tidak harus menjadi ustaz untuk memajukan Islam. Justru intelektual-intelektual dari kalangan non ustaz juga penting perannya dalam upaya memajukan Islam.

Toh banyak contoh intelektual Islam masa lalu yang tidak hanya bicara soal agama. Contoh populer: Ibnu Sina (kedokteran), Al Khawarizmi (pakar matematika dan astronomi), Jabir bin Hayyan (pakar kimia), dan masih banyak lagi.

Akhdan lantas menegaskan, konsep RDK memang ingin mengkaji tema-tema ilmiah. Namun, Jama’ah Shalahuddin sendiri sebenarnya juga memiliki forum kajian yang memang khusus untuk kajian keagamaan.

“Dulu ada namanya Forum Mengeja Hujan. Kemduian di luar Ramadan, ada kajian Tafsir Al-Qur’an tiap Minggu Subuh. Lalu setiap Senin dan Kamis ada juga kajian keagamaan di Maskam,” jelas Akhdan.

Akhdan tak menampik jika tema-tema RDK dari kacamata umum memang terdengar bikin mumet siapa yang mendengarnya. Lebih-lebih sasaran RDK sebenarnya bukan hanya untuk kalangan kampus UGM, tapi juga masyarakat umum.

Namun jika memang terlalu berat, tapi nyatanya antusiasme orang-orang sangat besar untuk datang ke RDK.

“Dan bukan soal nyari bukber loh! Sebab, sering kali jatah bukbernya lebih sedikit dari jumlah orang yang datang. Dan memang banyak kok yang datang bukan untuk ngincar bukber, tapi murni nambah ilmu,” beber Akhdan.

Mahasiswa enjoy dengan tema berat RDK

Sebelumnya, Mojok sudah sempat wawancara beberapa mahasiswa terkait kegiatan RDK UGM. Di antaranya Wardah dan Fadhli. Keduanya mengaku antusias dengan tema-tema dan pembicara dalam RDK.

“Bagiku ya rasanya jadi belajar agama tapi dari beragam perspektif. Bukan sekadar mendatangkan ‘ustadz’ aja gitu,” kata Wardah.

“Buatku, pemateri kajiannya itu lebih menarik dari menu makanan berbuka gratisnya yang sebenarnya juga enak-enak,” ungkap Fadhli.

RDK melahirkan Jama’ah Shalahuddin UGM

Akhdan kemudian menjelaskan bahwa saat ini RDK memang menjadi bagian dari program Ramadan Jama’ah Shalahuddin. Namun dalam sejarahnya, nama RDK ternyata muncul lebih dulu dari Jama’ah Shalahuddin.

Sebagaimana Mojok kutip pula dari website resmi Jama’ah Shalahuddin, embrio dari RDK dan Jama’ah Shalahuddin sudah ada sejak  1974-1975, berawal dari kegiatan Maulid Nabi yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) bertajauk Maulid Pop di Gelanggang Mahaiswa.

Yang unik dari Maulid Pop ini adalah bagaimana membalut Maulid Nabi dalam erspektif budaya ilmiah kampus. Saat itu, tokoh-tokoh budaya (YB Mangunwijaya, Amri Yahya, Syu’bah Asa, Taufiq Ismail, Ir. Syahirul Alim) dan pameran lukisan (Ahmad Sadali, AD Pirous, Amri Yahya dll) menjadi pengisinya.

Lalu pada 1976, terbentuk kepanitiaan Ramadan in Campus (RIC) yang kelak menjadi RDK. Di saat itu pula menyusul usulan pembentukan nama organisasi bernama Jama’ah Shalahuddin yang terus eksis hingga saat ini.

Nama Shalahuddin terpilih mengambil nama  tokoh pahlawan Islam, Shalahuddin al-Ayyubi. Bagi para pendiri Jama’ah Shalahuddin, tokoh tersebut adalah seseorang yang mampu menerjemahkan Islam tidak hanya sebagai doktrin ibadah yang sempit, tetapi dapat menjabarkannya melalui kerja keras, profesional, disiplin, dan tatapan masa depan yang jauh.

Nama itu merupakan usulan dari Muslikh Zainal Asikin, Akhmad Fanani dan Djafnan Tsan Affandi, Erlius, Samhari Baswedan, A Luqman, M Toyibi, Hadi Prihatin.

Secara periodik, kira-kira seperti inilah perjalanan Jama’ah Shalahuddin dari tahun ke tahun masa awal terbentuknya:

1976

Dengan Mansyur Romi sebagai ketua yang pertama, di tahun ini Jama’ah Shalahuddi mulai merintis beberapa kegiatan, di antaranya kegiatan salat Jumat di Gelanggang Mahasiswa.

Dalam perjalanan awalnya, Jama’ah Shalahuddin mendapat banyak dukungan tokoh-tokoh Islam Yogyakarta, seperti AR Baswedan, Ir. RHA Syahirul Alim M.Sc, Ir. Basith Wahid, drs. Aslam Hadi, drs. Saefullah Mahyudin dan Bapak AR Fachrudin (Ketua Muhammadiyah saat itu).

1978

Perjalanan Jama’ah Shalahuddin UGM tak selalu mulus. Baru dua tahun resmi terbentuk, Jam’aah Shalahuddin sempat nyaris bubar setelah Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef memerintahkan Rektor UGM saat itu, Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, untuk membubarkan mereka.

Dasarnya, banyak pengurus Jama’ah Shalahuddin terlibat demonstrasi menentang pemberlakuan NKK/BKK pada masa rezim Orde Baru. Hanya saja, Sukadji menolak.

Tak berhenti di situ, Daoed Joesoef juga pernah mempertanyakan kegiatan salat Jumat dan Tarawih di Gelanggang Mahasiswa UGM.  Meski begitu, kegiatan tersebut tetap lanjut lantaran Jama’ah Shalahuddin sudah berkonsultasi terkait masalah syariat kepada AR. Fachruddin.

1987

Jama’ah Shalahuddin ditetapkan menjadi Unit Kerohanian Islam di bawah Pembantu Rektor III oleh Rektor UGM saat itu, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. Untuk itu Jama’ah Shalahuddin berhak mendapatkan sepetak tempat di Gelanggang Mahasiswa, bekas ruang rias.

Saat itu Jama’ah Shalahuddin berada dalam binaan Prof. dr. Ahmad Muhammad Djojosugiro (alm. wafat dalam tragedi Mina), Drs. Hasan Basri, Dr. Chairil Anwar, Ir. Muhyidin Mawardi, M.Sc, serta Drs. Wagiyo.

1999

Akhir tahun 1999, pada momentum Ramadhan Di Kampus 1420 H, Jama’ah Shalahuddin kemudian pindah ke Masjid Kampus UGM.

Pihak Rektoran percaya, jika dengan pindah ke  Masjid Kampus, maka Jama’ah Shalahuddin akan turut andil dalam mengelola pemakmuran Maskam. Begitulah hingga kemudian Jama’ah Shalahuddin masih terus eksis hingga RDK edisi 2024 M/1444 H ini.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Dusun Mlangi Jogja, Meski Berjuluk Kampung Santri tapi Warganya Malah Lebih Pilih Mondok di Luar

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version