Guru Les Lebih Menjanjikan Bagi Lulusan UNY Ketimbang Jadi Guru Honorer

Ilustrasi Guru Les Lebih Menjanjikan Bagi Lulusan UNY Ketimbang Jadi Guru Honorer. (Mojok.co)

Menjadi guru les nyatanya lebih menjanjikan daripada menjadi guru honorer di sekolah. Meski jam kerja nggak pasti, tapi dari pendapatan mencukupi.

***

Siang itu, Annisa (24) masih rebahan di kosnya saat saya menghubunginya untuk wawancara. Bahkan, ia juga bilang kalau agendanya sampai sore nanti adalah merampungkan tiga episode terakhir drakor Death Game yang sudah ia marathon sejak pagi tadi. 

Awalnya, saya berpikir kalau hari itu Annisa sedang libur. Kok selo banget, pikirku. Ternyata saya salah. Siang itu, Annisa memang belum memasuki jam kerjanya.

“Aku hari ini kerjanya malam kok, habis Isya’,” kata Annisa, Jumat (12/1/2024) siang.

Annisa, lulusan program studi Pendidikan IPS UNY, adalah seorang “freelance les privat”. Pekerjaan itu ia sendiri yang menamai, sebab katanya, dirinya mengajar les privat secara lone wolf alias tak terikat lembaga manapun. 

Ia mengaku, sebenarnya profesi ini ia kerjakan sambil menunggu ada lowongan pekerjaan yang sesuai minatnya. Namun, melihat fleksibilitas dan penghasilannya, Annisa malah “kejebak” di zona nyaman ini.

“Ya habisnya apalagi, lulusan kependidikan kalau enggak jadi guru paling banting stir ke profesi lain yang jauh dari kompetensinya. Sementara aku bisanya dan sukanya hanya mengajar,” lanjutnya.

Annisa lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta pertengahan 2022 lalu. Sementara menjadi guru les privat, kira-kira sudah hampir enam bulan ia jalani. Awalnya, orang tuanya mendesaknya agar mendaftar jadi guru non-tetap atau guru honorer di salah satu SMP di Klaten. 

Namun, setelah mengetahui beratnya pekerjaan dan kecilnya honor, ia mundur alus. 

“Banyak temanku yang udah jadi guru honorer. Udahlah kerja sampai stres, bayarannya pun bikin aku geleng-geleng,” kata dia.

Soal nominal, Annisa tidak memberitahu saya secara pasti. Saya juga sudah menghubungi dua teman Annisa yang ia maksud untuk menanyakannya. Namun, hingga tulisan ini terbit, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Gaji guru les bisa 4 kali lipat upah guru honorer

Saya tidak tahu secara pasti berapa kisaran upah teman Annisa yang menjadi guru honorer tadi. Namun, tahun lalu di media sosial X sempat heboh soal curhatan Aulia (24), guru honorer yang mengaku hanya mendapat upah Rp500 ribu sebulan. 

Meski mengaku senang karena bisa berbagi ilmu dengan anak-anak, Aulia juga terang-terangan bilang kalau nominal itu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Alhasil, ia pun terpaksa mencari pekerjaan sampingan seperti berjualan makanan yang sang adik bawa untuk dijual di kampusnya.

Pengalaman serupa juga dialami banyak orang selain Aulia. Secara teknis, guru honorer memang mendapatkan upah per jam pelajaran (JP). Rata-rata Rp15-30 ribu per JP. 

Selain JP, mereka juga mendapat Tunjangan Jabatan (Rp100 ribu), Tunjangan Masa Kerja (Rp5 ribu), dan Tunjangan Kehadiran (Rp200). Jika dalam sebulan saja seorang guru honorer mendapat 32 JP, maka jangankan standar UMR, menyentuh angka Rp1 juta saja tidak.

Sementara itu, Annisa bilang kalau hasil mengajar les bisa mencapai lebih dari Rp2 juta per bulan. Ia mendapat bayaran Rp75-80 ribu per jam. Kadang dalam sehari, ia bisa mengajar masing-masing satu jam di dua tempat. Artinya, jika dalam sebulan ia mendapat 32 jam (seperti jumlah JP guru honorer), maka Annisa total dapat upah Rp2,5 juta.

“Itu pun belum keuntungan-keuntungan kayak jam kerja yang fleksibel, biasanya ngajar sore-malam. Atau kerap juga diajak makan sama orang tua anak dan kadang masih diberi uang bensin buat pulang,” ujarnya.

Lulusan UNY yang pilih jadi tentor bimbel daripada guru honorer

Annisa mengaku, ia mendapat informasi guru les privat awalnya dari alumni prodinya yang sudah terlebih dahulu nyemplung ke profesi itu. Temannya kemudian memasukannya ke sebuah grup yang isinya para pengajar les privat juga. Di dalamnya, para anggota grup saling berbagi informasi soal orang tua yang membutuhkan guru les bagi anak-anak mereka.

MOJOK.CO
Menjadi guru les lebih menjanjikan daripada jadi guru honorer dari sisi pendapatan. (Photo by Annika Gordon on Unsplash)

“Pokoknya yang bersedia ambil, tinggal nge-list aja. Abis itu kita dikasih kontak orang tuanya. Tapi memang diusahakan yang udah megang siswa [sudah mengajar] kasih kesempatan yang belum dapat dulu,” kata Annisa, yang mengaku mengajar semua mata pelajaran SD-SMP kecuali Bahasa Inggris.

Kendati terorganisir, Annisa mengaku kalau jejaringnya ini bukanlah lembaga, institusi, ataupun organisasi. Kata Annisa, anggota di dalamnya kebetulan adalah orang-orang yang punya semangat mengajar, tapi mungkin insecure sama prospek guru honorer. Makanya, ia menyebutnya “freelance” karena ini kerja lepas.

Kalau Annisa mengajar les secara freelance, beda halnya dengan Raisa Rofifah Hanum (24). Lulusan Ilmu Sejarah UNY yang punyq nama panggilan Rere ini menjadi tentor di salah satu lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) di Jalan Magelang. Meskipun demikian, Rere juga pernah merasakan bekerja sebagai guru les privat dari rumah ke rumah.

“Sebetulnya gaji guru les privat itu lumayan, lho. Hanya saja memang tidak ada kepastian bisa dapat jam apa enggak. Kalau ikut lembaga ‘kan pasti ada jaminan dapat jam mengajar,” kata Rere, saat saya hubungi Jumat (12/1/2024) sore.

Di tempat bimbel tersebut, Rere mengajar siswa-siswa calon pendaftar jurusan kedokteran yang akan mengikuti tes Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Awalnya, ia hanya mengajar mata pelajaran sejarah, sesuai ijazah kelulusannya. Namun, karena sejak 2021 lalu mata pelajaran sejarah tidak ada lagi di UTBK, Rere kini mengajar mata pelajaran umum seperti Tes Intelegensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), hingga Literasi.

Kalau high season, bisa “panen” gaji besar

Bicara penghasilan, jelas menjadi tentor bimbel jauh lebih menghasilkan ketimbang guru honorer. Tiap bulan, Rere setidaknya terjamin dengan upah setara UMR Jogja. Upah itu ia dapat dari akumulasi jumlah jam mengajarnya. 

Namun, ada kalanya Rere mengalami “musim panen” atau high season. Biasanya, high season terjadi ketika memasuki masa-masa ujian masuk perguruan tinggi, kurun Maret-Juli tiap tahunnya. Pada masa-masa ini, penghasilannya bisa mencapai Rp6 juta lebih. Soal upahnya yang boleh dibilang tiga kali UMR Jogja ini, pernah ia bagikan dalam sebuah foto di akun X pribadinya.

“Dan kita itu sebenarnya jauh lebih enak kalau dibanding guru honorer. Bukan hanya perkara gaji saja, tapi juga kerjaannya. Kalau jadi guru, kita masih harus mikir bikin materi, ngasih nilai, evaluasi, kalau di bimbel kan pure cuma ngajar,” jelasnya.

Ia pun sangat mensyukuri pekerjaannya ini. Sebab, kalau dipikir-pikir, ia awalnya jadi tentor sekadar buat sampingan saja. Sebagai informasi, Rere sebelumnya kerja full time di salah satu toko buku, tak lama setelah ia lulus.

“Kini malah semua terbalik. Tentor yang full time, di toko buku yang jadi sampingan.”

Mengajar les jauh lebih masuk akal ketimbang jadi guru honorer

Baik Annisa maupun Rere mengaku kalau mengajar les bisa menjadi win-win solution buat para lulusan UNY, yang selama ini terkenal sebagai kampus calon guru. Pasalnya, selain tetap bisa bekerja sesuai bidang dan kemampuannya, secara upah pun jauh lebih manusiawi.

Rere, misalnya, menyebut kalau banyak lulusan UNY dan UGM bekerja di kantornya. Alasannya sederhana, sebab bimbel tempatnya bekerja memberi jaminan “lolos PTN”. Jadi, menurut asumsi Rere, lulusan-lulusan UGM maupun UNY ini mau menjadi role model bagi calon peserta bimbel.

“Seperti ada kecenderungan, kalau yang ngajar aja lulusan negeri, minimal ada garansi kalau yang dibimbing nanti bakal lolos PTN juga. Makanya banyak lulusan UGM-UNY yang kerja di tempat bimbel-ku,” katanya.

“Jadi menurutku sih lulusan-lulusan UNY nanti berpotensi banget ya kerja di bimbel-bimbel lain, dan itu pilihan yang oke.”

Sama halnya dengan Rere, Annisa pun juga berpikir kalau sebaiknya lulusan-lulusan UNY mempertimbangkan jadi guru les saja–sebelum ada jaminan upah layak buat para honorer.

“Sebab kalau menggantungkan hidup dari honorer aja, jangan harap bisa dapat penghidupan yang layak. Mengkis-mengkis yang ada,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Program Guru Penggerak Membuat Guru Kewalahan Mengajar, Pilih Mundur ketimbang Gagal Jadi Pengajar yang Baik

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version