Hari-hari tanpa beban di kampus, tapi nelangsa setelah lulus (1)
Zahro akhirnya resmi menjadi mahasiswa. Dia sendiri merasa hari-harinya tanpa beban.
Waktu itu, satu-satunya beban yang berat baginya adalah tugas-tugas mata kuliah. Tapi tidak dengan kehidupannya di perantauan.
Tak mau kalah dengan teman-teman SMA-nya yang kuliah di kampus-kampus negeri lain, Zahro juga kerap mengunggah segala bentuk kegiatannya di media sosial: saat di kelas, nugas di kafe, rapat organisasi, poster-poster kegiatan yang dia ikuti—baik sebagai peserta maupun panitia, hingga unggahan healing baik di Semarang maupun destinasi wisata daerah lain.
“Jahat banget sih, aku. Tapi aku bener-bener nggak kepikiran kalau di rumah, orangtuaku mesti muter otak biar bisa ngasih kiriman uang ke aku. Misalnya kalau uangku habis sebelum jadwal kiriman. Terlebih waktu bayar UKT. Pasti pusing banget. Sementara aku waktu itu juga nggak nyambi kerja,” ungkap Zahro penuh sesal.
“Bapak bilang aku nggak usah sambil kerja. Fokus kuliah aja. Ya udah aku ngikut. Kupikir, itu tanda kalau bapak sanggup membiayai,” imbuhnya. “Sebenarnya sering terlintas (memikirkan potensi kesulitan yang bapak alami). Tapi langsung kutepis dengan asumsi, bapak sanggup kok.”
Terlebih juga, kuliah Zahro molor setahun. Tidak lulus tepat waktu empat tahun (delapan semester). Tapi lima tahun. Maka, setelah lulus, kini batinnya begitu nelangsa.
Hari-hari tanpa beban di kampus, tapi nelangsa setelah lulus (2)
“Setelah lulus, pernah daftar BUMN. CPNS pun ikut. Paling baru ya CPNS tahun 2024 lalu. Tapi tetep nggak lolos,” beber Zahro lesu.
Setelah lulus—hingga sekarang—Zahro menjadi guru honorer SD. Gajinya, sebagaimana sudah menjadi isu nasional, sangat tak sebanding dengan biaya yang dia habiskan untuk kuliah lewat jalur mandiri tersebut. Hanya Rp400 ribu perbulan.
“Satu, aku merasa merugikan orangtuaku banget. Karena kini pun aku masih sering minta bantuan (uang) mereka, alih-alih ngasih timbal balik. Dua, aku makin nelangsa karena kebetulan ada teman SMA dulu, bukan teman kelas, tapi tahu lah, yang dulu gap year buat kerja. Lulus kuliah dia emang nggak kerja sesuai jurusan kuliahnya. Tapi pengalaman kerja bikin dia lebih gampang cari kerja ketimbang fresh graduate. Karena jual skill, nggak sekadar ijazah,” ucap Zahro.
Gagal UTBK-SNBT harus sadar diri!
Gap year setelah gagal UTBK-SNBT atau maksa kuliah jalur mandiri, tidak lantas menjadi penentu nasib setelah lulus kuliah kelak.
Ada kok yang kuliah jalur mandiri, dengan biaya mahal, tapi ketika lulus bisa balik modal dari pekerjaan mentereng. Ada pula, kendati gap year buat cari pengalaman kerja lebih dulu, tapi ujung-ujungnya juga kelimpungan cari kerja setelah lulus kuliah.
Di negara ini, makin hari, situasinya makin tak pasti. Laporan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut, Indonesia kini tengah menuju fase bonus demografi 2030: di mana jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Hampir semua orang di negara ini—lebih-lebih kelas menengah ke bawah—susah cari kerja.
Terlepas itu, poin yang hendak Zahro sampaikan kepada pembaca Mojok yang barangkali tengah menyongsong UTBK-SNBT April-Mei 2025 nanti, agar jangan hanya termakan gengsi. Kuliah bukan untuk sebatas itu.
“Kalau ekonomi orangtua nggak memadai, gap year nggak ada salahnya. Mending cari pengalaman lain dulu. Kerja, magang, atau kursus. Belajarlah dari kesalahanku. Syukur di kesempatan berikutnya, saat coba daftar kuliah lagi, bisa ambil beasiswa,” tutur Zahro.
“Selama kuliah pun gali potensi diri. Asah. Biar lulus punya keterampilan yang bisa dijual. Agar nggak berakhir menjadi guru honorer. Guru itu profesi mulia. Tapi percayalah, di negara ini, profesi itu seperti alas kaki belaka,” tandasnya bersungut-sungut.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Rela Bayar UKT Mahal demi Bisa Sarjana, Usai Lulus Ijazah S1 Malah Susah buat Cari Kerja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












