Sometimes you win, sometimes you learn. Kalimat itu menjadi pegangan kuat bagi Audi (29) saat ia gagal menyelesaikan kuliah S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan didiagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
***
Selama ini, Audi merasa tak ada yang salah dalam hidupnya. Perempuan asal Pontianak itu sehari-hari menjalani aktivitas kuliah S1-nya seperti biasa. Seperti berdiskusi, presentasi, aktif bertanya saat di kelas, bahkan menjadi salah satu mahasiswa yang berprestasi.
Selain itu, Audi juga tak hanya fokus pada kegiatan akademik tapi aktif mengikuti kegiatan organisasi. Ia mengaku sangat menyukai proses belajar di kampus, serta menemukan dosen dan teman-temannya yang satu frekuensi.
Namun, tiba-tiba konsentrasinya buyar saat Audi melanjutkan kuliah S2. Perjalanannya mengerjakan tesis adalah titik balik di mana ia menyadari ada yang salah dengan tubuh dan jiwanya. Pada akhirnya, Audi tak bisa menyelesaikan kuliah S2-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ibarat jatuh tertimpa tangga, dokter juga mendiagnosisnya terkena Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Lolos tes masuk kuliah S2 di UGM
Kecintaan Audi pada belajar mendorongnya untuk melanjutkan kuliah S2 di UGM. Orang tuanya juga mendukung penuh keputusan tersebut. Audi berharap setelah lulus dan mendapat gelar magister nanti, peluang kariernya bisa lebih luas.
Dengan kuliah S2 juga, kata Audi, ia berkesempatan untuk bertemu orang-orang hebat dan memperluas perspektifnya. Apalagi di UGM, yang notabenenya adalah kampus terbaik peringkat pertama di Indonesia.
“Semasa saya kuliah S1, ada banyak buku referensi yang ditulis oleh dosen-dosen dari Akuntansi UGM,” kata Audi kepada Mojok, Senin (22/9/2025).
Proses Audi masuk UGM pun susah-susah gampang. Pada tahap pertama seperti seleksi berkas yang berisi TOEFL, PAPs UGM, tes validasi kompetensi atau tes akuntansi tertulis, Audi mengaku tak ada kendala.
Padahal, ia sempat khawatir dengan nilai TOEFL dan PAPs-nya. Ternyata, saat hasilnya keluar malah melebihi ekspektasinya. Hal itu membuat Audi yang sebelumnya minder karena berasal dari daerah, jadi lebih percaya diri kuliah S2 di UGM.
“Karena saya hanya lulusan S1 dari kampus yang kurang terkenal di daerah, sementara saingannya banyak yang dari universitas besar,” kata Audi.
“Tapi ternyata hasilnya cukup baik, dan saya diterima. Itu rasanya seperti pencapaian besar dalam hidup saya, semacam validasi bahwa saya mampu,” lanjutnya.
Setelah menjalani beberapa tes, barulah Audi masuk kelas matrikulasi selama sekitar 4 bulan atau satu semester. Usai berhasil menjalani program pembekalan tersebut, Audi pun dinyatakan lolos sebagai mahasiswa reguler.
Gagal menyelesaikan tesis
Mulanya, Audi tak menemukan kendala yang berarti di awal perkuliahan. Sampai ia merasa kesulitan di semester pertengahan terutama saat mengerjakan tesis. Bukan karena dosen atau topik tesis yang ia ambil, tapi gejala sakit dalam tubuhnya.
“Dosen pembimbing saya sangat baik dan sabar, tapi komunikasi kami kurang nyambung. Saya kesulitan memahami apa yang beliau maksud. Setiap kali revisi ditolak, rasanya membekas,” kata Audi.
Bahkan penolakan sekecil apapun itu, berdampak besar terhadap pola pikirnya. Setiap kali mendapat revisi dari dosennya, Audi merasa bukan hanya tulisan dia yang salah tapi sebagai pribadi yang gagal.
Fokusnya pun buyar. Ia gampang sekali terdistraksi, sering menunda, dan kesulitan mengeksekusi ide. Lama-lama, Audi merasa progresnya tertinggal jauh. Rasa percaya dirinya kian runtuh.
Belakangan, Audi baru sadar jika dirinya mengalami Rejection Sensitive Dysphoria (RSD) yakni rasa sakit emosional yang intens dan parah karena penolakan, kritik, atau kegagalan. Puncaknya ketika pihak kampus menyarankan dia mengundurkan diri dari kuliah S2.
“Itu keputusan paling berat dalam hidup saya, karena saya tahu sebenarnya saya mampu–hanya saja cara kerja otak saya saat itu tidak sejalan dengan tuntutan akademik tesis,” jelas Audi.
Tidak apa untuk menyerah
Rupanya, keputusan Audi mundur dari kuliah S2 di UGM tak langsung menyelesaikan masalahnya. Saat Audi kembali dihadapkan dengan pekerjaan yang rumit, gejala RSD-nya masih kumat bahkan tidak mereda.
“Dari situ saya mulai mencari tahu apa yang terjadi pada diri saya. Saya menjalani tes Automated Storage and Retrieval System (ASRS) dan serangkaian pemeriksaan dengan psikolog. Sampai akhirnya mendapat diagnosis ADHD tingkat sedang,” tutur Audi.
Mendengar diagnosis tersebut, ada perasaan kesal yang memenuhi hatinya. Seandainya ia mengetahui kondisi dirinya lebih awal, kata Audi, tentu hidupnya tak akan dipenuhi oleh kegagalan. Seperti yang terjadi saat ia kuliah S2 di UGM.
Di sisi lain, hatinya merasa lega. Karena dengan begitu, ia jadi tahu cara menyembuhkan ADHD-nya. Audi kini sadar bahwa kegagalan tidak selalu berarti akhir. Kadang, ia justru menjadi pintu menuju pemahaman diri lebih dalam.
“Dulu saya pikir yang terpenting adalah gelar S2, tapi sekarang saya sadar bahwa yang lebih penting adalah proses menjadi versi diri saya yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih memahami bagaimana cara otak saya bekerja.” Kata Audi.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Berkali-kali Masuk Bangsal Jiwa, Akhirnya Lulus di UGM dengan IPK 3,2 atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
