Drama KKN Mahasiswa Brawijaya: Dikejar Cinta Pak Sekdes hingga Uang Hilang Diembat Ketua

Drama KKN Mahasiswa Brawijaya: Dikejar Cinta Pak Sekdes hingga Uang Hilang Diembat Ketua MOJOK.CO

Ilustrasi Drama KKN Mahasiswa Brawijaya: Dikejar Cinta Pak Sekdes hingga Uang Hilang Diembat Ketua. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Drama KKN selalu ada untuk diceritakan. Kuliah Kerja Nyata tak hanya berisi kisah cinta lokasi (cinlok) sesama mahasiswa, tapi juga cinta pak sekdes yang kandas tak berbalas.

Mojok merangkum drama-drama yang terjadi selama KKN yang dialami beberapa mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang.

***

Drama KKN, ketua yang mencuri uang kelompok

Kala (20) baru saja merampungkan KKN dari Universitas Brawijaya. Kelompoknya ditempatkan di Blitar dan melakukan persiapan sejak Mei 2023. Fokus program kerja yang kelompok mereka akan kerjakan seputar pengentasan kemiskinan dan peningkatan akses pendidikan.

Dinamika terjadi sejak awal karena anggota kelompok yang hilang-hilangan dan ketentuan universitas yang tak konsisten. Beberapa fakultas mewajibkan dan sebagian lagi tak wajib.

Saya sempat melihat salah satu video yang beredar di kalangan teman-teman tentang seorang anggota KKN yang disidang dan diteriaki anggota lain dengan geram. Saya mencari tahu dan rupanya ia adalah koordinator desa kelompok KKN Kala.

“Seperti video yang sudah beredar, jadi itu ketua kami sendiri mencuri uang kelompok KKN,” kata Kala.

Kecurigaan pencurian uang berawal dari ketiadaan bukti transaksi. Anggota kelompok lainnya sudah memaksa terus-terusan agar yang bersangkutan memberikan bukti, tapi koordinator desa (kordes) terus mengelak.

“Awalnya kami ditanya sama tetangga, harga sewa kontrakan. Lalu kita bilang sekian, mereka bilang ‘kok mahal banget. Biasanya murah,” kata Kala. “Itu juga kelalaian dari kami karena dari awal dia minta transfer duluan tapi nggak punya tanda terima,” sambungnya.

Usut punya usut, kordes ternyata ambil untung dari harga seharusnya. Kordes melakukan mark up uang kontrakan dengan tujuan mengambil keuntungan. Total uang yang kordes ambil sejumlah Rp1,7 juta. Sedangkan, pembayaran kontrakan seharusnya tak sejumlah itu.

Jumlah itu belum termasuk pengeluaran kecil seperti alasan untuk survei atau bikin id card yang tidak kordes akui.

Ketua KKN-nya muka tembok

Di dalam sidang sebanyak dua kali, kordes sendiri mengakui memang sudah ada niat mencuri sejak awal. Ia beralasan harus membantu adiknya yang tertipu teman.

Menurut penuturan Kala, anehnya saat teman-teman mencecar, kordes langsung bilang akan mengembalikan. “Anehnya dia bisa ganti dan masih punya pegangan uang. Kalau punya uang kenapa harus nilep? Jadi kami nggak tahu alasannya benar atau bohong,” kata Kala.

Lebih menjengkelkan lagi kordes ‘bermuka tembok’, kata Kala. Kelompoknya berpikir kalau kordes bakal mengundurkan diri pasca-ketahuan, tapi nyatanya tidak.

Selalu ada jadi cerita menarik di tempat KKN. (Mojok.co)

Hingga sekarang mahasiswa itu masih menjabat kordes meski telah kehilangan penghargaan dari teman-teman kelompok. Kala dan teman-temannya tak ada yang mau menanggung beban kordes, dan menjadikan si pelaku jadi jembatan informasi saja. Mereka hanya ingin menyelesaikan KKN sampai tuntas.

“Muka temboknya ada banget. Setelah kejadian kami masih ungkit-ungkit dan dia bersikap seperti nggak terjadi apa-apa, jujur aneh banget,” terangnya.

Koordinator desa mundur jelang KKN

Labib (20), mahasiswa Universitas Brawijaya melakukan KKN di salah satu desa di Lamongan pada Juni hingga Agustus lalu. Kelompoknya membawa empat proker di antaranya stunting, administrasi pemerintahan, peternakan, dan pertanian.

Drama KKN bermula saat kordes atau ketua kelompok mengajukan dispensasi kegiatan selama 15 hari. Namun, yang bikin kaget karena tiba-tiba dua hari jelang keberangkatan, kordes mendapat surat dispensasi penuh. Alhasil Labib mau tidak mau harus menggantikan posisi kordes.

“Sedihnya lagi, kordes ini salah satu anggota yang membawa proker penting mengenai penyuluhan penyakit ternak yang dapat menular ke manusia,” kata Labib.

Belum cukup kordes mengundurkan diri, Labib pun harus berhadapan dengan kenyataan bahwa tiga anggota lainnya ikut mengundurkan diri. Awalnya beranggotakan 14 orang, tersisa 10 orang dalam pelaksanaannya.

“Saya sendiri baru masuk ke dalam grup kordes beberapa hari jelang KKN mulai,” katanya.

Untungnya kekurangan anggota sedikit terbantu oleh orang tua salah satu mahasiswa yang suportif dan membantu banyak kelompok Labib.

Drama KKN pak sekdes yang cintanya nggak berbalas

Sejak awal beberapa warga sudah mengingatkan adanya kemungkinan perangkat desa lajang yang jatuh hati. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, begitulah pepatah yang mungkin menggambarkan kebenaran ucapan warga. Sekretaris desa (sekdes) jatuh hati pada salah satu anggota Labib.

Satu orang dari delapan anggota perempuan, mendapat perhatian lebih dari sekdes. Mulai dari mengingatkan untuk makan hingga jangan lupa pakai jaket biar nggak masuk angin.

Suatu saat si sekdes menyatakan cinta. Namun, cinta ini bertepuk sebelah tangan karena anggota Labib tak menyukai balik.

“Teman saya menangis 3 hari 3 malam,” ujar Labib sembari mengingat lagi momen tersebut. “Lucu, lah,” sambungnya.

Teman Labib menolak dan memblokir nomor sekdes. Kalau menurut penuturan Labib, si sekdes sampai jatuh sakit dan sering memutar lagu galau selepas penolakan.

Setelah KKN selesai, sekdes tetap mengejar-mengejar pujaan hatinya. Selain menelepon dan berkirim chat dua hari tanpa henti, ia meminta seorang warga desa yang punya hubungan baik dengan si mahasiswa agar jadi perantara.

“Pak sekdes ini juga bilang kalau serius, mau dibikinin rumah dan membiayai kuliah,” terang Labib sebagai saksi mata kejadian paling unik di kelompoknya. Sampai akhir, teman Labib tetap menolak.

Drama KKN angkatan corona

Bento (23) merupakan alumnus salah satu universitas di Malang. Ia mungkin tak mengalami drama KKN karena merupakan mahasiswa KKN tematik angkatan corona yang melakukan kegiatan di Kabupaten Malang. Sejak awal KKN yang ia ikuti, mundur terus karena gelombang covid-19 tak mereda.

“Awalnya di Ponorogo, jadinya di daerah dekat kampus jadi di Kabupaten Malang. Di pengumuman mulainya Juni, selama 45 hari. Baru mulai September,” kata Bento.

Awalnya saya bertanya kenapa memilih KKN? Karena di kampusnya KKN adalah salah satu pilihan dari pilihan lainnya. Jawabnya singkat saja, karena ia tak diterima magang.

KKN yang Bento jalani bisa disebut hybrid atau malah daring. Ia tak banyak berinteraksi dengan masyarakat sebab tak tinggal dengan mereka.

“Ekspektasiku live in sebulan misalnya. Ternyata nggak optimal dan aku nggak dapat banyak (manfaat). Kegiatannya hanya tiga kali,” terangnya.

Kegiatan pertama, pelatihan untuk masyarakat yang rata-rata petani dan peternak. Kedua, ia melakukan wawancara untuk pemetaan. Ketiga, mengecat tempat biogas sekitar dua tiga kali. Kira-kira hanya lima kali kunjungan ke desa.

Program KKN tematik ini merupakan kolaborasi dengan program Doktor Mengabdi. Program yang ia dan dua orang temannya ikuti sangat saintek, sedangkan ketiganya dari rumpun soshum. Yo, rada nggak nyambung memang.

“Kami nggak banyak terlibat karena sangat teknikal,” ujarnya.

Kisah cinta selalu muncul di KKN. (Istimewa)

Bagi Bento, ia tak dapat banyak dari KKN yang harapan awalnya, ia bisa banyak belajar. Bento kebagian tugas untuk dokumentasi dan menulis untuk publikasi saja. Kegiatan KKN tak optimal sebab terhalang pandemi.

KKN penting nggak, sih?

Saya mencoba bertanya apakah KKN penting dan masih relevan saat ini karena cerita mereka lain dari yang lain. KKN bukan hanya soal memenuhi mata kuliah, nilai, apalagi cuma buat aji mumpung buat cinta-cintaan.

Labib percaya KKN membuatnya belajar adab dari warga, sekaligus bersyukur sebab ia mendapat privilese mengejar ilmu lebih tinggi. Labib pun jadi tahu implementasi teori yang ia pelajari secara nyata.

“Intinya seluruh rangkaian KKN yg telah saya lakukan ini secara tidak langsung menundukkan saya agar lebih merendah kepada rakyat,” kenang Labib.

Kalau Kala sedikit berbeda. Ia bilang mau kembali melakukan KKN kalau mendapat tempat dan kondisi lebih baik. Namun, ia masih 50:50 kalau ditanya penting tidaknya KKN. Alasannya karena mahasiswa dari jurusan tertentu tidak bisa melakukan proker sesuai jurusan.

“Universitas Brawijaya mengangkat 1.000 desa di Jawa Timur untuk KKN. Tapi kelompok di nomor terakhir 900-an ke atas sudah susah cari desanya. Karena ada desa yang maju banget dan tertinggal banget, esensinya membangun udah nggak dapat. Nggak relevan aja, Kalau dulu kan untuk mahasiswa mendekatkan ke warga, berkontribusi ke warga tapi sekarang desa udah lebih baik. Terus ada mahasiswa tertentu juga nggak bisa prokeran sesuai jurusannya,” terang Kala. “Aku sih 50:50 cenderung nggak,” tambahnya.

Muluk-muluk membangun desa nyatanya mahasiswa yang belajar banyak

Jawaban dengan rasionalisasi berbeda disampaikan oleh Bento. Menurutnya KKN tidak penting kalau sekadar memenuhi nilai dan tak punya proker jelas.

Baginya sebuah keniscayaan kalau mahasiswa memang pantas disebut eksklusif. Sebagai jembatan kepada kehidupan nyata, KKN jawabannya.

“Memang akan lebih bermanfaat dan pasti merepotkan kalau wajib KKN, tapi idealnya kampus sebagai lembaga pendidikan harusnya cenderung kepada KKN. Sebab di sana terkandung Tri Dharma yang mulia itu,” ujarnya.

Bento mengkritisi narasi muluk soal mahasiswa yang membangun atau memajukan desa. Lebih nyata daripada itu justru mahasiswa lah yang banyak belajar dari masyarakat.

“Ya mungkin bisa membantu betulan salah satunya dari pemanfaatan teknologi, itu yang bisa memajukan,” tutupnya.

Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cerita Cinlok KKN, Jadian Sama Anak Pak RT hingga Putus Karena Beda Aliran

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version