Dosen pembimbing memang punya karakter masing-masing, perfeksionis salah satunya. Tapi, bagaimana rasanya dibimbing oleh dosen perfeksionis? Skripsi bisa jadi jauh lebih rumit daripada yang seharusnya.
***
Menjadi sempurna adalah impian semua orang. Tapi semua yang memimpikan jadi sempurna, tahu betul bahwa itu tidak penting. Ruang-ruang untuk apa-apa yang tidak sempurna selalu ada, dan justru itulah yang membuat manusia berusaha untuk mendekati kesempurnaan, dengan belajar dari apa-apa yang tidak sempurna.
Usaha mengejar kesempurnaan itu terkadang dimaknai manusia dengan memegang standar tertinggi terhadap apa pun. Bagi beberapa manusia, standar tinggilah yang bikin manusia sempurna. Sayangnya, manusia diciptakan dengan kemampuan yang terbatas, beberapa di antaranya, tak bisa mencapai batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Celakanya, tak semua orang bisa mengerti ini, dan tetap memaksakan standar-standar tersebut.
Ayu (bukan nama sebenarnya) tahu betul bagaimana rasanya berusaha memenuhi standar yang saya bilang di atas. Mahasiswa Surabaya ini bercerita bahwa dia “menderita” karena mendapat dosen pembimbing skripsi yang perfeksionis (14/05/2024). Standar dosennya begitu tinggi, dan ini bikin dirinya terhambat serta berputar-putar pada satu bahasan yang sama. Nahasnya, bukan Ayu saja yang jadi “korban”, tapi banyak mahasiswa lain.
Perfeksionis banget
Awalnya Ayu merasa biasa saja saat mendapati dia mendapat dosen pembimbing, sebut saja Pak X. Sebenarnya, di jurusan di mana Ayu kuliah, dosen pembimbingnya sudah terkenal perfeksionis dan sulit. Selain perfeksionis, dosen tersebut juga sibuk. Kombo yang amat lengkap. Tak heran jika banyak mahasiswa bimbingan dosen tersebut yang lulusnya telat.
Standar yang diterapkan oleh dosen pembimbing skripsi Ayu termasuk tinggi. Ayu memberi contohnya saat mengerjakan latar belakang.
Saat Ayu membawa penelitian terdahulu sebagai referensi skripsi, dosennya menanyakan dari mana (siapa yang menulis dan jenisnya). Ayu menjawab, kalau yang jadi referensinya adalah jurnal. Dosennya menolak bahan jurnalnya. Alasannya, jika jurnal tersebut ditulis oleh mahasiswa, dia skeptis dengan keakuratan datanya. Sebab, kadang mahasiswa memasukkan nama dosen dalam jurnal, tapi tidak dibimbing oleh dosen tersebut.
Setelah jurnal ditolak, Ayu membawa disertasi dari UGM di pertemuan selanjutnya. Tapi masih ditolak juga oleh dosen tersebut. Dosen pembimbingnya meminta penelitian dari luar negeri, bukan dari Indonesia. Tentu saja hasilnya bisa ditebak, tak ada kemajuan setelah pertemuan tersebut.
Tapi Ayu tidak punya pilihan selain menuruti apa yang dosen pembimbingnya mau. Selanjutnya, Ayu bawakan penelitian dari luar negeri. Akhirnya, diterima.
“Waktu itu saya memaklumi, karena mendengar dari yang lain, beliau itu agak susah. Agak susah menemukan hal-hal yang klop dengan beliau.”
“Teorimu tidak relevan!”
Sifat tak kompromi seseorang biasanya menghasilkan dua hal: ketegasan dan perselisihan. Dan kasus kali ini, hasilnya adalah perselisihan,.
Sebenarnya, gesekan antara dosen pembimbing dan mahasiswa di kala mengerjakan skripsi itu biasa. Apalagi jika model bimbingannya adalah diskusi. Ayu pun mengalami ini. dia sempat berselisih paham dengan dosennya gara-gara satu teori yang dia gunakan untuk skripsinya.
Pada saat bimbingan, Ayu mengatakan bahwa dia memakai salah satu teori yang dia anggap berhubungan dengan skripsinya. Tapi, dosennya berkata bahwa teori tersebut tidak relevan dan tidak bisa digunakan. Ayu lalu memberikan argumennya bahwa teori ini bisa digunakan berdasarkan penelitian terdahulu. Dosennya berkata bahwa teori ini tidak bisa digunakan dan misalnya ada penelitian di Indonesia yang memakai teori tersebut, penelitan tersebut nggak bener.
Dosennya pun akhirnya meminta bukti kalau memang teori ini bisa digunakan untuk skripsi Ayu. Akhirnya Ayu pulang, dan mencari bukti yang dia butuhkan. Ternyata, tak disangka, Ayu menemukan buktinya. Sudah ada diskusi di salah satu universitas di luar negeri yang mengatakan bahwa teori ini bisa digunakan, dengan beberapa catatan. Transkrip diskusi tersebut akhirnya Ayu bawa sebagai bukti.
Meski bukti sudah ada, dosennya tetap menolak argumen Ayu meski ada bukti kuat. Lalu Ayu diajak diskusi lagi oleh dosennya, diberikan contoh-contoh fenomena yang menunjukkan bahwa teori Ayu tidak bisa dipakai.
Hasilnya, lagi-lagi bisa ditebak, tentu saja teori Ayu tersebut tak jadi dipakai. Sebab dia akhirnya meminta ganti pembimbing.
Baca halaman selanjutnya