Menjadi dosen di Indonesia, selain sibuk dengan perkara akademis di kampus, sebagian lainnya juga harus berpikir bagaimana dapurnya tetap ngebul. Ada banyak cara yang mereka lakukan untuk memastikan keluarga aman dari sisi finansial.
Mojok ngobrol dengan empat dosen yang bukan hanya mengajar di kampus, tapi juga nyambi jualan. Ada yang nyambi jualan dimsum, buka angkringan, usaha petshop, bisnis jual beli bawang dan kemiri sampai menjajal driver ojol. Alasannya pun beragam, mulai dari hobi sampai terdesak kebutuhan sehari-hari.
***
Dari driver ojol sampai jualan bawang dan kemiri
Safutra Rantona (33) secara buka-bukaan menceritakan kendala dan kesulitannya kepada saya selama menjadi dosen. Sebelum masuk ke pertanyaan pokok, ia sudah mendahului saya seraya bercerita kalau menurutnya, gaji dosen kecil, begitu pula dengan tunjangan dari Kemdikbud terkait penelitian. Selain itu banyak hal-hal administratif yang harus dikerjakan di luar tugas pokok dalam tri dharma perguruan tinggi.
“Ternyata jadi dosen administratif banget, lah,” ujar pria yang kini berstatus dosen tetap itu.
Ia sudah mengajar selama 5 tahun di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) di Bandung. Tapi Unikom bukanlah kampus pertamanya, ia menjelajahi pengalaman mengajar bidang komunikasi dan kajian media dari berbagai kampus seperti Universitas Terbuka (UT), Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun, karena saat itu sedang menjajal usaha lain, ia akhirnya memilih Unikom menjadi tempat mengajar satu-satunya. Jadi bisa lebih fokus kepada keduanya. Kini ia merambah bisnis bawang putih, bombay, dan kemiri. Sebelumnya ia bahkan pernah nyambi jadi ojol. Semua usaha itu ia lakoni untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bukan hanya Safutra yang masih merasakan terimpit ekonomi dan memilih membangun usaha. Teman-teman dosennya yang lain pun ada yang jualan keripik bahkan jualan beras untuk menambah penghasilan.
“Jujur, gaji dosen tidak bisa untuk masa depan,” katanya terang-terangan.
Saat ini, penghasilan utamanya bergantung pada bisnis bawang dan kemiri. Meski menjadi dosen bukanlah pilihannya, melainkan pilihan ibunya yang mengancam Syafutra untuk pulang kampung saja kalau tak ada kerjaan saat itu. Ia sepenuhnya menyadari kalau Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya Pendidikan dan Pengajaran adalah tugas utamanya. Tapi Safutra berharap agar pemerintah lebih memerhatikan nasib dosen.
Buka usaha angkringan karena tunjangan tak cair setiap bulan
Addahri Hafizd Awlawi (35) dosen tetap PNS Bimbingan Konseling di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Gajah Putih Takengon, Aceh tak mengira kalau jalan yang ia lalui akan sesulit ini. Ia melepaskan mimpinya menjadi seorang seniman dan beralih menjadi dosen mengikuti alur kehidupan.
Sehari-hari sembari melakukan tugas utama sebagai dosen, Hari membuka usaha angkringan bersama sang istri dari tahun 2022. Usaha ini membantu perekonomian keluarganya.
“Kalau (pendapatan) dosen dibilang cukup, gak cukup. Kalau saya bilang nggak cukup, takutnya dibilang nggak bersyukur. Tapi kalau saya bilang cukup, ya gimana, setiap hari kebutuhan bertambah,” ujarnya seraya tersenyum.
Setelah mengenal dosen dan profesor lain, ia baru menyadari untuk sampai di tahapan yang sama (profesor) ada tahapan lain yang harus mereka tempuh. Salah satunya kebutuhan yang tercukupi.
Dosen melakukan tugas pokoknya berdasarkan Beban Kerja Dosen (BKD) yaitu gambaran beban SKS dosen untuk melaksanakan Tri Dharma satu semester. Salah satu bagian dari BKD adalah sertifikasi dosen yakni musim naik pangkat tiap 2 tahun.
“Tentu mengganggu pengajaran, mau nggak mau,” ujarnya.
Selain itu sebagai pengajar masih punya beban Penetapan Angka Kredit (PAK) yaitu hasil penilaian berdasarkan angka kredit untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat dalam jabatan guru atau dosen. Serta SKP yang digunakan dalam penilaian prestasi PNS.
Hari, panggilan akrabnya, mempermasalahkan apabila tolok ukurnya presensi yang harus hadir di tiap pagi dan sore. Sedangkan dosen tentunya memiliki penelitian yang mengharuskan ada di lokasi dalam kurun waktu tertentu. Peraturan ini mungkin berbeda setiap perguruan tinggi.
“Kerja administratif memberatkan dosen. Sulit ikut target itu kalau dibebani stand by kampus. Kalau apakah itu memberatkan? Tidak, tapi tidak bisa dibilang tidak memberatkan juga. Kalau tolok ukur presensi, sulit bagi dosen melakukan penelitian,” katanya.
Tunjangan yang tak cair setiap bulan
Saya bertanya apa hal-hal yang dilakukan selama ini membuyarkan fokus mengajarnya? Ia mulanya hanya menjawab dengan senyuman kecut.
“Pasti, BKD untuk serdos (musim naik pangkat 2 tahun) mengganggu pengajaran, mau gak mau. Naik pangkat itu dikasih waktu dan berubah-ubah peraturannya. Ini barusan (Januari) terjadi, mau naikkan golongan IIIC, peraturan berubah di hari-hari terakhir (1 hari),” terangnya.
Ia pun berharap ada regulasi yang jelas terkait prosedur dan ketentuan yang jelas dan tidak plin-plan.
“Jangangkan mengajar, olahraga aja nggak sempat,” selorohnya.
Secara jujur, Hari menjelaskan bagaimana ia menjalankan usaha angkringan dan tugas sebagai pengajar di kampus. Baginya memang akan ada yang terbengkalai sejago apapun manajemen yang dilakukan.
Ia dan dosen lainnya dihadapkan pada persoalan pelik. Pertama, mereka harus menerima apa adanya pendapatan yang yang tak mencukupi kalau hanya fokus Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedua, mengabaikan produktivitas dosen seperti meneliti, menulis karena mengejar kebutuhan rumah tangga.
”Kita bicara standarnya dosen, bukan lektor kepala. Kita harus meninggalkan menulis itu padahal kewajiban (ketika menjalankan usaha),” pungkasnya.
Memang dosen mendapatkan berbagai tunjangan di luar pendapatan pokok, tetapi tunjangan itu tidak cair setiap bulan. Sehingga Hari yang kini memiliki dua orang anak memilih cara lain agar kebutuhan rumah tangganya tercukupi.
Menjadi dosen bukan untuk mencari uang
Di sela-sela istirahat sebelum kelas selanjutnya, saya menemui Risma (30), seorang dosen yang tengah menempuh S3 di gedung perkuliahan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Risma (30) bercerita ia tak berangkat dari ekspektasi bahwa dosen dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak awal, ia dan sang suami membuka usaha petshop sekaligus sebagai penghasilan utama. Perempuan yang mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu juga menjadi content creator di Youtube.
“Ini sebetulnya pertanyaan menggelitik,” ujar Risma tertawa ketika saya menanyakan apakah gaji dosen cukup seimbang dengan beban yang ia tanggung.
Menurutnya, gaya hidup menentukan perihal kecukupan tersebut. Sehingga baginya cukup-cukup saja karena memang sejak awal tujuannya menjadi dosen bukanlah mencari uang.
“Ini ibu beli di Shopee, jaket 150 ribu, sepatu 250 ribu. Kalau gaya hidup tinggi, duit seberapa pun enggak akan cukup, jadi kalau ditanya cukup nggak buat dosen? Cukup-cukup saja,” ia menunjuk jaket dan sepatu yang dikenakannya.
Dosen punya beban berat
Ia tak menutup mata, gaji dosen cukup untuk makan keluarganya tapi memang bukan yang utama.
Menurutnya pemerintah sudah cukup memberi ruang bagi dosen honorer sepertinya untuk berkembang. Namun, tak dipungkirinya tugas dosen memang berat dan kadang realistis tak realistis.
“Misalnya, sudah suruh mengajar masih ada tuntutan ini dan itu. Coba pemerintah menggali lagi, memang niatnya bagus tapi realitanya kalau dosen banyak beban, ngajarnya nggak bisa membagi waktu. Takutnya jadi keteteran gabisa transfer ilmu pengetahuan dan moral,” katanya.
Siang itu, Risma menyampaikan keinginannya sebagai dosen untuk mentransfer ilmu dan moral kepada anak didik. Menjadi dosen ialah seni dari apa yang dipilihnya. Itu pula yang menjadi dasar pembuatan channel YouTube yang dikelolanya. Berawal dari pandemi yang harus mengajar online dan banyak mahasiswa yang tidak bisa fokus pada materi.
“Ngajar daring tapi banyak mahasiswa yang nggak mengaktifkan kamera. Pernah ada mahasiswa yang nggak bisa mengaktifkan kamera dengan alasan ‘saya tidak bisa mengaktifkan kamera karena baru mengantar ibu ke pasar’. Ada-ada aja lah pokonya,” ujar Risma mengenang awal menjadi content creator.
Risma dengan channel YouTube-nya
Ia membangun YouTube untuk memberikan materi dan bisa dilihat ulang mahasiswanya. Alhasil saat ini, YouTube itu pun mencoba konten-konten kuliner kampus.
Jadi dosen dan jualan karena hobi
Nilam Wardasari (35) merupakan dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Brawijaya yang menjalankan usaha pizza dan dimsum rumahan. Usaha itu ia jalankan untuk menyalurkan hobinya masak saja. Tugas utamanya tetap sebagai dosen.
“Dosen tidak hanya sekadar Tri Dharma, masalahnya di BKD tadi itu ada satu kategori beban kerja yang harus dilaporkan, itu namanya beban kerja pendukung. Kinerja pendukung ada nilainya, jadi harus aktif turut serta ke kegiatan tersebut, pekerjaan yang sifatnya teknis dan administratif. Contohnya, kepanitiaan dalam event tertentu, pekerjaan borang akreditasi,” kata Nilam.
Ada kalanya terasa berat kalau tugas datang berturut-turut alias tak ada jeda. Namun, ada kalanya ia menghadapinya dengan ‘ya udahlah dikerjakan saja’.
Nilam mengakui pendapatannya sebagai pengajar dan beban kerjanya sudah cukup. Terlebih ia berada di instansi negeri dan UB sendiri telah menerapkan sistem remunerasi. Sistem ini memungkinkan karyawan menerima inmbalan atas kontribusinya pada kampus.
“Alhamdulillah selama ini cukup. Kalau mau dapat penghasilan banyak ya pekerjaan surat tugasnya harus banyak juga. Jadi Insya Allah sudah sesuai porsi, sudah pas, didukung dengan sistem remunerasi,” terangnya.
Jadi, antara bekerja sebagai pengajar dan usahanya adalah dua hal berbeda. Ia menjalankan usahanya karena hobi memasak, meskipun mengerjakannya di hari-hari libur sebagai dosen, ia menyebutnya sebagai ‘refreshing’.
Harapan berkurangnya beban administratif dosen
Dari empat wawancara yang kami lakukan dengan para dosen dari berbagai kampus, saya mendapatkan satu kesimpulan yang sama mengenai beban administratif yang mereka terima. Hal-hal yang harus mereka lakukan di luar Tri Dharma Perguruan Tinggi cukup mengusik tugas utama.
Hari, misalnya, mengeluhkan beban administrasi serdos yang ujug-ujug berubah di hari-hari terakhir pengumpulan. Belum lagi, ketiadaan aplikasi yang terintegrasi sehingga setiap kali mengurus administrasi serdos penuh dengan keribetan.
“Sekarang masih harus setor ini itu, nunggu tanda tangan, harus print. Zaman gini harusnya berinovasi. Tempat kami (mengajar) belum ada (aplikasi seperti itu),” katanya.
Begitu juga dengan Nilam. Baginya perampingan birokrasi bukan semata harapannya tapi juga seluruh dosen.
“Harapan banyak dosen, pemerintah mengurangi pekerjaan administratif, kami ingin mengembangkan Tri Dharma. Bukan hilang sama sekali karena kami juga butuh BKD tadi untuk tugas-tugas tambahan. Sebaiknya porsinya berkurang agar bisa fokus mengembangkan kajian. Bisa banyak publikasi, dan cepat naik pangkat,” pungkas Nilam.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
Baca juga Derita Mahasiswa Skripsi, Dosen Sibuk hingga Dosen Pembimbing Meninggal dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.