Mie Sapi Banteng, kuliner yang membuat orang antre berjam-jam di Yogyakarta ternyata berawal dari perjalanan pemiliknya yang sempat sekolah kuliner di Singapura. Mojok berbincang dengan Mas Satria, pemilik yang punya alasan tersendiri mengapa mie yang laku 500-600 porsi sehari ini libur ketika jalanan macet.
***
Saya kembali mengaktifkan Instagram. Alasannya sederhana dan sedikit tidak masuk akal, hanya untuk memantau sebuah akun kuliner kekinian yang konon katany selalu dipenuhi pembeli ketika buka. Selama tiga hari ini, setiap pagi saya mengecek status yang di dibagikan oleh akun @miesapi.banteng dengan berharap cemas kuliner yang menjadi primadona itu buka. Ya, menunggu membuat saya seperti orang ngidam.
Mie Sapi Banteng, salah satu dari banyaknya kuliner yang menjadi primadona di Jogja. Terletak di Jalan Banteng Utama, No. 25, warung makan ini termasuk dalam kawasan perkotaan Kabupaten Sleman atau dikenal Sleman Tengah. Mie Sapi Banteng buka pukul 11.00 – 17. 00 WIB atau sampai habis.
Setelah tiga hari Mie Sapi Banteng libur, akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Ditemani gerimis kecil, Kamis (23/11/2021) saya melajukan sepeda motor membelah jalanan Jogja yang masih becek karena sisa hujan kemarin. Memang, akhir-akhir ini hujan turun setiap hari. Namun, tidak sedikit pun menyurutkan semangat saya untuk mencicipi Mie Sapi Banteng.
Empat puluh lima menit berlalu, saya sempat terdiam melihat banyaknya pembeli yang mengantre. Bahkan tak sadar, saya masih berada di tengah jalan dan mengundang klakson dari beberapa pengendara lainnya. “Memang ramai Mbak, parkir dulu saja,” ajak seorang laki-laki muda yang saya yakini sebagai warga sekitar yang mengatur parkir.
Kepalang tanggung dan rasa ingin mencoba yang tinggi, saya mengikuti anjuran pengatur parkir itu. “Eh, tapi antrenya dua jam, Mbak,” tambah laki-laki muda itu lagi sembari terkekeh. Saya menelan ludah. Jiwa malas menunggu saya mulai meronta-ronta. Namun, apalah arti dua jam untuk menunggu semangkok mie sapi dan sepiring pangsit rebus yang menjadi perbincangan banyak orang karena rasanya sangat otentik dan menggugah selera.
Rela datang dari Jakarta untuk semangkuk mie sapi
Tempat duduk yang terbatas membuat saya berbagi meja dengan Amel (23). Datang jauh-jauh dari Jakarta, Mie Sapi Banteng ini sudah jadi daftar kuliner yang harus dicoba ketika berkunjung ke Jogja. “Kebetulan banget pas hari terakhir di Jogja, Mie Sapi Banteng buka,” ungkap Amel yang memang akan kembali ke Jakarta dengan kereta pukul sepuluh malam nanti.
Awalnya, Amel mengetahui Mie Sapi Banteng dari rekan kerjanya yang mempunyai rumah di Jogja. “Dari rekomendasi teman, berujung mengikuti di Instagram,” ucap Amel. Setelah menahan rasa ingin mencicipi hampir satu tahun lamanya karena masa Pandemi Covid-19 kemarin yang membuatnya tidak bisa jalan-jalan ke Jogja, kini Amel mendapat kesempatan mencicipi Mie Sapi Banteng. Menurut Amel, dari beberapa mie sapi yang sudah ia coba, Mie Sapi Banteng ini mendapatkan urutan pertama di lidahnya.
Amel menambahkan, “Nggak papa deh antre panjang, tapi rasanya worth it,” sembari terkekeh dan kemudian berpamitan karena harus membeli oleh-oleh sekaligus mengembalikan sepeda motor rental yang digunakannya.
Kemudia, saya bercengkerama dengan dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang duduk di semester tiga, mereka adalah Karin (19) dan Ajeng (20). Datang berdua dengan berboncengan sepeda motor dari Bantul, keduanya memang pelanggan setia Mie Sapi Banteng. “Aku sudah enam atau tujuh kali makan di sini,” ungkap Karin. Bahkan menurut Karin, hampir satu bulan sekali, ia sengaja menyempatkan waktu untuk makan di Mie Sapi Banteng. Berbeda dengan Ajeng yang baru dua kali ini makan di Mie Sapi Banteng karena ajakan Karin.
Karin mengetahui Mie Sapi Banteng ini dari temannya di grup Whatsapp yang membahas tugas kuliah. “Tiba-tiba ada yang posting Mie Sapi Banteng, lalu penasaran dan akhirnya mencoba,” ungkap Karin. Menurut Karin, rasa dari Mie Sapi Banteng ini lebih dari ekspektasinya. Karin mengatakan rasa enak dan khas dari mie sapi membuatnya ketagihan.
Jika Karin ketagihan dengan mie sapi, Ajeng malah ketagihan dengan pangsit rebus. Awalnya ketika di ajak oleh Karin, Ajeng langsung mengiyakan, karena ia juga penasaran dengan Mie Sapi Banteng. “Karena di Jogja ini mie identik dengan mie ayam, kebetulan ini pakai sapi, jadi pengen coba,” ucap Ajeng. Meskipun untuk mendapatkan mie sapi dan pangsit rebus harus melalui antrean panjang dan bahkan pernah mengalami makan di mobil karena tidak mendapat tempat duduk, namun Karin dan Ajeng tetap jatuh hati dengan Mie Sapi Banteng ini.
Harga murah meriah, tapi rasa tetap bintang lima
Hal serupa juga diceritakan oleh sepasang kekasih yang sedang menunggu pesanan mie sapi dan pangsit rebus di meja sebelah saya. Namanya Dina (21), mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang datang bersama pacarnya ke Mie Sapi Banteng. Ini bukan kali pertama bagi Dina dan pacarnya. Pasalnya keduanya sudah sering datang ke Mie Sapi Banteng, bahkan sejak belum ramai seperti sekarang ini. “Sudah nggak terhitung berapa kali kesini,” ungkap Dina dengan pandangan menerawang sembari terkekeh.
Dahulu, Dina dan pacarnya mengetahui Mie Sapi Banteng ini dari review seorang food vlogger di Instagram. “Penasaran, waktu itu belum pernah dengar mie sapi, ya akhirnya di coba,” ungkap Dina. Ternyata, cita rasa Mie Sapi Banteng sesuai dengan lidahnya. Kebetulan, letak Mie Sapi Banteng ini masih terjangkau dari rumahnya di Jalan Magelang. Alhasil, Dina dan pacarnya jadi sering datang ke Mie Sapi Banteng.
Meskipun demikian, Dina mengungkapkan beberapa kali kecelik saat datang di Mie Sapi Banteng. “Biasanya di sini kalau antrenya panjang, sampai dua jam, sering diberhentikan dulu pemesanannya,” ungkap Dina. Kebetulan saja, hari ini Dina beruntung bisa menikmati Mie Sapi Banteng yang katanya hanya perlu menunggu sampai tiga puluh menit ke depan.
Dua jam terlewati. Pesanan mie sapi dan pangsit rebus yang sudah saya idamkan akhirnya datang juga. Mencium aromanya saja, sudah membuat saya ingin segera mencicipi dua menu yang katanya favorit pembeli di Mie Sapi Banteng.
Jika dilihat, mie sapi yang disajikan memiliki bumbu berwarna kecokelatan. Di atas mie terdapat potongan daun bawang dan daging sapi yang dicacah. Sebagai pelengkap, ditambah selembar pakcoy. Sedangkan, pangsit rebus yang disajikan memiliki kuah dengan tekstur berminyak dan warna kemerahan. Terdapat lima bola-bola pangsit rebus dalam satu piring. Sebagai pelengkap, pangsit rebus ini juga ditambahkan selembar pakcoy.
Suapan demi suapan membuat mie sapi dan pangsit rebus yang semula ada di piring, kini berpindah dalam perut saya. Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam, harga yang ditawarkan dari Mie Sapi Banteng ini cukup terjangkau, Rp12 ribu untuk semangkuk mie sapi dan Rp13 ribu untuk sepiring pangsit rebus.
Tepat saat saya selesai menyantap mie sapi dan pangsit rebus, sebuah suara memasuki indra pendengaran saya. “Cari saya ya Mbak?” tanya suara itu yang membuat saya menoleh. Adalah Mas Satria (28), pemilik dari Mie Sapi Banteng.
Rela tidak melanjutkan kuliah demi berjualan mie sapi
Usut punya usut, Mas Satria pernah menjadi mahasiswa sekolah kuliner di Singapura. Namun sayang, Mas Satria tidak lulus dari sekolah kuliner itu karena memilih menekuni Mie Sapi Banteng. Ceritanya bermula ketika Mas Satria memutuskan pulang ke Indonesia saat menunggu internship setelah menyelesaikan pembelajaran teori. “Panggilannya itu lama, aku dapat di Kuala Lumpur, karena belum tahu tempatnya, akhirnya pulang ke Indonesia,” jelas Mas Satria. Tidak ada kegiatan, membuat Mas Satria menjajal berjualan mie sapi pada Februari 2019.
Mie sapi merupakan adaptasi dari mie chilli oil yang berasal dari Tiongkok dan diproduksi di Singapura. Mas Satria sering mencicipi mie chilli oil saat masih di Singapura. Berbekal pengalaman latar belakang sekolah kuliner, Mas Satria mengubah cita rasa mie chilli oil yang ditemukan di Singapura dengan dominan asam karena vinegar menjadi lebih manis khas Indonesia. Meskipun demikian, Mas Satria tetap menggunakan sapi sebagai pelengkap mie yang disajikan.
Mas Satria kemudian berjualan mie sapi di pinggir Jalan Damai dengan berbekal gerobak besi dan lima kursi plastik. “Jadi, pembeli makan mie sambil mengelilingi saya memasak di gerobak,” ungkap Mas Satria menerawang. Saat itu, satu porsi mie sapi masih dijual sepuluh ribu rupiah saja. Mas Satria berharap harga sepuluh ribu mampu menarik pembeli. Benar, saja mie sapi yang dijualnya laris. Bahkan, Mas Satria mengungkapkan para pembeli rela antre untuk mendapatkan mie sapi.
Bertahan selama empat bulan di pinggir Jalan Damai, Mas Satria memutuskan untuk pindah ke rumahnya di Jalan Banteng Utama – tempatnya berjualan hingga saat ini. “Terlalu banyak pembeli, parkirnya memenuhi jalan jadi macet, ditegur sama orang-orang di sana,” ujar Mas Satria tertawa.
Kembali mencoba peruntungan, Mie Sapi Banteng ini pernah sepi pembeli. Hingga datanglah seorang food vlogger yaitu @jogjabikinlaper yang membantu mempromosikan di Instagram. Tidak ketinggalan, pemilik akun kuliner tersebut juga mengajak teman-teman food vlogger lainnya untuk menjajal Mie Sapi Banteng. “Semenjak itu, Mie Sapi Banteng menjadi ramai seperti sekarang ini,” ungkap Mas Satria.
Fokus pada usaha Mie Sapi Banteng, membuat Mas Satria memilih untuk tidak melanjutkan kuliah sekolah kuliner di Singapura. “Kalau diingat sebenarnya rugi, karena hanya tinggal enam sampai delapan bulan lagi sudah lulus,” ungkap Mas Satria tertawa.
Ada bahan baku yang diimpor dari Singapura
Meskipun demikian, Mas Satria rupanya senang karena bisa mengaplikasikan ilmu kulinernya di Mie Sapi Benteng ini. “Dari awalnya iseng, sekarang bisa berjalan lebih dari dua tahun itu sudah senang sekali,” ungkap Mas Satria yang juga lulusan D3 Teknik Elektro UGM. Bahkan Mas Satria mengungkapkan jika dahulu ia berencana berjualan mie dan dipersiapkan dengan baik, mungkin malah tidak akan berkembang seperti Mie Sapi Banteng sekarang ini.
Merupakan adaptasi dari mie chilli oil yang ada di Singapura, Mas Satria juga mengimpor rempah dari negara singa tersebut, salah satunya star anise atau bunga lawang. Menurut Mas Satria bunga lawang yang dikirim dari Singapura memiliki bau yang lebih pekat. Biasanya, butuh waktu satu bulan untuk paket rempah dari Singapura itu datang ke Indonesia.
Sedangkan beberapa rempah lainnya di beli Mas Satria dari pasar tradisional yang ada di Jogja, seperti jahe. Setiap pagi, pada pukul 06.00 WIB, Mas Satria akan berangkat sendiri ke pasar tradisional untuk berbelanja. Setelah itu, rempah-rempah itu harus dijemur terlebih dahulu. Pasalnya, rempah itu memang kering jika dipegang, namun ketika digiling dan diolah ternyata masih basah. Barulah pukul 10.00 WIB, Mas Satria dan pekerjanya mempersiapkan jualan.
Ternyata Mas Satria juga membuat sendiri mie yang menjadi bahan baku mie sapi dan pangsit. Cara pembuatannya pernah dipelajari oleh Mas Satria saat masih menjadi mahasiswa di sekolah kuliner di Singapura. “kalau tidak percaya, itu di belakang ada alat-alatnya, setiap hari produksi,” ujar Mas Satria.
Begitu pula dengan memasak mie sapi dan pangsit rebus, Mas Satria juga melakukannya sendiri. Pekerjanya yang berjumlah tujuh orang hanya bertugas sebagai kasir, pelayan, pembuat minum, dan pemberi pelengkap seperti daging ataupun membungkus pesanan yang dibawa pulang. “Selagi masih bisa, semuanya dikerjakan sendiri, lagi pula ini lebih ringan dibanding jika di dapur restoran atau hotel,” ungkap Mas Satria.
Alasan tak jualan saat libur dan jalan yang macet
Dalam sehari, Mas Satria bisa menjual lima ratus sampai enam ratus porsi mie sapi dan pangsit rebus. Dari satu porsi mie sapi dan pangsit rebus, Mas Satria hanya bisa meraup untung tiga sampai empat ribu saja. Karena itulah, Mas Satria biasanya akan mendapatkan banyak keuntungan melalui penjualan minuman.
“Hitungannya kalau minuman tiga ribu bersih, paling hanya terpotong sedikit untuk gula dan teh atau jeruk,” ungkap Mas Satria. Jika tidak begitu, Mas Satria tentu akan kesulitan untuk menggaji pekerjanya agar mendapat upah di atas UMR dengan enam jam kerja per harinya.
Keuntungan yang sedikit dari satu porsi mie sapi dan pangsit rebus juga membuat Mas Satria tidak berani buka di hari libur. “Kalau di hari libur, hanya sedikit porsi yang dapat terjual, padahal keuntungan dari penjualan banyak porsi,” ungkap Mas Satria.
Pasalnya, jika di hari libur Jalan Banteng Utama akan macet karena menjadi jalur alternatif menuju Jalan Kaliurang yang bebas lampu merah. Maka dari itu, setiap Sabtu yang berada di tanggal kejepit dan Hari Minggu, Mas Satria memilih untuk libur. Bahkan, jika libur lebaran dan libur tahun baru, Mie Sapi Banteng akan libur selama satu bulan.
Sebenarnya, tidak ada yang melarang Mas Satria untuk tetap berjualan di hari libur. Namun, tepo seliro kepada warga sekitar yang membuat Mas Satria mengambil jalan tengah. “Parkir mobil pembeli kan di pinggir jalan, tempat parkir belum terlalu luas, itu mengganggu jalan, jadi aku sadar diri,” ungkap Mas Satria. Ke depannya, Mas Satria memang berharap untuk mempunyai tempat parkir yang lebih luas sehingga tidak merembet ke bahu jalan.
Alasan tak mau buka cabang
Berbicara soal cabang, Mas Satria tidak tertarik untuk membuka cabang Mie Sapi Banteng. “Memang benar, Mie Sapi Banteng ini mie sapi pertama di Jogja,” ungkap Mas Satria. Namun, saat ini, sudah banyak bertebaran mie sapi lain, bahkan sampai enam atau tujuh tempat makan yang juga menjual mie sapi.
Alasan Mas Satria tidak membuka cabang adalah mengikuti cara berpikir orang Tiongkok, di mana cabang dapat menutup sinar dari Mie Sapi Benteng utama. “Dengan membuat cabang, pelanggan akan mencari Mie Sapi Banteng yang terdekat, sehingga bukan menambah pemasukan, namun mengurangi pemasukan yang ada di warung utama,” ujar Mas Satria menjelaskan.
Berbagai pengalaman menarik didapatkan Mas Satria dalam menjalankan usaha Mie Sapi Banteng yang resepnya ia temukan saat kuliah di Singapura ini, salah satunya yang masih di ingat Mas Satria adalah ketika seorang pembeli ingin bertemu dan berbincang dengan pemilik Mie Sapi Banteng. Pembeli tersebut bertanya pada pekerja bagian kasir. Namun, pekerja bagian kasir itu menyuruh untuk bertanya ke belakang.
Barulah pembeli itu sadar jika yang sedang memasak adalah pemilik Mie Sapi Banteng. “Beliau kaget, karena mungkin mie sapi ini identik dengan makanan Tiongkok, di mana biasanya yang jual wajahnya ada keturunan Tionghoa,” ungkap Mas Satria sembari tertawa. Sementara wajahnya ya wajah Jawa kebanyakan.
Mas Satria juga memberikan tips untuk menekuni bisnis kuliner, yaitu mempunyai target sasaran yang jelas dan berjualan makanan yang dapat dimakan kapan saja. “Seperti Mie Sapi Banteng, target sasarannya adalah anak muda dan mahasiswa,” ungkap Mas Satria. Selain karena sifat anak muda dan mahasiswa yang loyal, keluarga dinilai kurang cocok karena biasanya kurang sabar untuk menunggu.
Menurut Mas Satria, pembeli yang berulang kali bertanya kapan makanan disajikan akan mengganggu kecepatan memasak. Karena itu, Mas Satria biasanya sudah memberikan jam yang pasti sesuai antrean, seperti meminta untuk menunggu tiga puluh menit, satu jam, dan bahkan dua jam lagi.
Sedangkan, berjualan makanan yang dapat dimakan kapan saja diumpamakan Mas Satria seperti Mie Sapi Banteng ini, mie dapat dimakan pagi, siang, dan malam tanpa membuat kenyang berlebihan. “Rencana untuk Januari 2022 akan launching menu baru yaitu mie sapi kuah,” pungkas Mas Satria memberikan sedikit bocoran dan berpamitan akan beres-beres bersama pekerja lainnya.
BACA JUGA Butet Kartaredjasa dan Spirit Bangkit di Usia Wingit dan liputan menarik lainnya di Susul.