Jogja yang Katanya Murah: Tidak untuk Harga Tanah dan Rumah 

Jogja yang Katanya Murah: Tidak untuk Harga Tanah dan Rumah

Hidup di Jogja itu katanya murah. Tapi tidak dengan harga tanah dan rumah di provinsi dengan UMP Rp1,8 juta ini. 

***

Jogja 1999. Ia hendak memperpanjang sewa kontrakan kala istrinya mengabari ada perumahan dengan uang muka Rp6 juta. Sementara, biaya perpanjangan kontrakan Rp4 juta untuk satu tahun. Kesempatan punya rumah, demikian pikirnya saat memutuskan membeli. Itu tidak seperti dugaannya, sebab selain membayar uang muka, belakangan ia harus membayar sisa tanah senilai Rp7 juta rupiah. Padahal gajinya hanya Rp1 juta  dan uang tabungan sudah habis untuk tambah uang muka.

Selama 10 tahun kemudian, Herry mengangsur rumah tersebut dengan biaya Rp286 ribu per bulan. Jika membayar tunai, harga rumah waktu itu Rp24-26 juta. Rumah tersebut menurut Herry merupakan perumahan termurah di masa krisis moneter waktu itu.

Kisah itu dialami Herry Mardianto (61), seorang pensiunan PNS warga Perumahan Margomulyo Asri, Seyegan, Sleman. Tahun lalu, ia baru saja membeli rumah baru di Jalan Gito-Gati, Sleman. Semua dimulai dari proyek tol yang menggusur rumahnya. Mau tidak mau, ia harus merelakan impian sederhananya untuk menikmati hari tua bersama sang istri di rumah 149 meter persegi penuh kenangan tersebut.

Tanah, rumah, dan perjuangan memilikinya

“Saya itu sudah milih perumahan di pelosok desa tapi kok ternyata tetap kena tol,” ungkap Herry sambil tertawa. Ia tidak menduga jika desas-desus tol akan melewati Selokan Mataram benar adanya. Harapan sederhana bahwa pandemi akan menggagalkan rencana pembangunan tersebut juga berakhir sia-sia.

Herry Mardianto, salah satu warga korban gusuran tol di Seyegan. Ia harus berpindah rumah dan itu tidak mudah baginya. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Herry dan istrinya menjalani bulan Agustus-Oktober 2021 dengan penuh kecemasan. Sejak Agustus, setelah mengetahui nominal ganti rugi, keduanya mulai melakukan survei. Berbekal gambaran nominal, keduanya sepakat untuk membeli tanah dan rumah dengan luas sama dengan tempat tinggal sekarang. Ternyata, itu semua tidaklah mudah.

Pertama, harga pemukiman dengan luas yang sama, berada di luar jangkauan. Herry berkisah, suatu kali ia survei perumahan di daerah Godean. Di sana, harga rumah berukuran 100 meter mencapai 700 juta rupiah. Sementara di daerah Perumahan Tata Bumi, Gamping, harga rumah berukuran 120 meter sudah mencapai Rp1 miliar.

Kedua, uang ganti rugi terlambat turun. Semula dijanjikan dua minggu, nyatanya molor hingga hampir 2 bulan. Herry dan istri harus menguras tabungan mereka untuk membayar uang muka rumah sebesar 30% serta pembayaran 2 termin pertama. Padahal di perhitungan awal mereka, pembayaran ganti rugi akan dilakukan sebelum termin pertama. Di tengah kondisi itu, mereka telanjur punya agenda menikahkan anak.

“Kami sampai bingung. Tabungan habis, hutang banyak. Tiap pagi saya dan istri cuma bisa melamun,” kenang Herry. Beruntung, ia cukup melek kebijakan. Herry bersama warga perumahan lain akhirnya menyurati Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) agar proses ganti rugi semakin cepat. Mereka bahkan menyiapkan langkah lain jika pembayaran akan terus molor.

Hal serupa juga dialami para tetangganya yang memilih membeli tanah sawah untuk membangun hunian baru. Mereka kerap ditagih oleh si empunya sawah perihal pembayaran. Sementara, mereka tidak tahu pasti kapan pembayaran ganti rugi cair. “Ya mereka hanya bisa jawab, ‘besok kalau cair’. Kan si pemilik sawah tidak bisa dibayar dengan janji,” lanjut Herry.

Mengantongi uang ganti rugi hampir Rp1 miliar, Herry mungkin akan dianggap punya duit banyak. Namun, uang ganti rugi itu sejatinya cukup rawan jika penggunaanya tidak tepat. Dalam hal ini, Herry dan sang istri sudah sepakat untuk mengalihkan uang ganti rugi sepenuhnya untuk mencari rumah baru. Mereka tidak tergiur, misalnya, untuk menggunakan sebagian uang tersebut untuk beli mobil baru.

“Tapi dengan uang itu, kami harus kehilangan semua kenangan di sini. Semua kenangan sejak anak-anak masih kecil, kenangan dengan tetangga dan warga, semua harus hilang. Kami harus memulai kehidupan baru. Itu tidak pernah bisa dinilai dengan uang,” tuturnya dengan tatapan sedih.

Pilih tidak jadi penduduk Jogja 

Rumitnya mencari rumah juga  dialami Achmad Sofyan (30), warga Jakarta yang memutuskan tinggal di Jogja. Tahun lalu, ia berencana mengambil Kredit Perumahan Rakyat (KPR) di daerah Kalasan, Sleman. Ia dan istrinya punya standar pribadi berkaitan dengan rumah. Mereka, misalnya, tidak ingin tinggal di perumahan berisi 3-5 rumah. “Kami mau lingkungan ideal, kalau terlalu sepi kok gak enak,” terangnya.

Rumah warga di Pundong, Mlati, yang dibongkar karena akan dilewati proyek tol. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Sudah lama ia tahu mahalnya harga tanah dan rumah di Jogja. Namun, pengalaman melakoni sendiri mencari rumah membuatnya tetap kaget. Ia tidak menyangka harga rumah berukuran 45 meter persegi di daerah Kalasan melebihi Rp600 juta. Angka itu, sepengetahuannya, mirip harga rumah ukuran serupa di Depok, Jawa Barat.

Harga tidak ramah kantong akhirnya membuat Utta, nama panggilan pria itu, berpindah haluan ke daerah Manisrenggo, Klaten. Di sana, ia bisa mendapatkan rumah tipe 45 seharga 420 juta. Rumah itu berada 7 kilometer di sebelah timur lokasi KPR yang pernah ia survei dengan harga 600 juta tadi. “Cuma 7 kilometer loh, selisihnya seratus juta lebih,” ungkapnya.

Dengan kondisi keuangannya sekarang, Utta sama sekali tidak menyesal karena gagal tinggal di ‘daerah Jogja’ sesuai keinginan awalnya. Kini, dalam sebulan, ia dan istrinya harus membayar 3,7 juta rupiah per bulan selama 15 tahun ke depan demi hunian mereka sekarang.

Kisah di balik harga tanah

Saya mencoba melakukan riset kecil-kecilan di internet untuk mengetahui harga tanah di provinsi dengan UMP Rp1,8 juta ini. Hasilnya, harga tanah pekarangan di daerah Jalan Palagan, Sleman mencapai harga Rp4,2 juta per meter persegi. Sementara di daerah Jalan Godean, muncul angka Rp2,4 juta per meter persegi. Bergeser lebih ke selatan, di Sanden, Bantul, atau 25 kilometer dari pusat Kota Yogya, muncul harga Rp650 ribu per meter persegi.

Sementara untuk harga rumah, harganya jauh lebih bervariasi. Rumah ukuran 85 meter persegi di daerah Wirobrajan mencapai angka Rp1,08 miliar. Ada pula rumah seluas 42 meter persegi dengan luas tanah 99 meter persegi seharga Rp200 juta di Kasihan, Bantul. Di daerah Kalasan, ada rumah seluas 36 meter persegi dihargai 375 juta.

Lilik Suwantoro (41), seorang makelar tanah asal Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, mengatakan bahwa harga tanah di Jogja 2 tahun belakangan sebenarnya cenderung turun. Ia mencontohkan, beberapa lahannya belum juga laku sejak 2019 silam. “Sekarang cari orang dengan duit banyak susah loh, apalagi di Jogja,” cetusnya. Ia mencontohkan, setahun ini pembeli tanah didominasi oleh warga gusuran tol.

Menyoal tingginya harga tanah di Jogja, ia tidak bisa berkomentar banyak selain mengiyakan. Menurutnya, hal ini dipengaruhi beberapa hal. Pertama, meningkatnya kebutuhan pemukiman. Kedua, banyaknya orang luar kota membeli hunian di Jogja sebagai investasi. Ketiga, adanya pergeseran wilayah yang diincar para pengembang pemukiman.

Ia mengakui sendiri, banyak orang dari luar kota membeli tanah di Jogja untuk tujuan investasi. Sebuah daerah penuh persawahan di Kulonprogo ia sebutkan. Kata Lilik, sawah-sawah di sana sudah dibeli oleh orang-orang dari luar kota untuk tujuan investasi. “Katanya ada yang mau buka kafe di sana,” imbuh pria itu. Masih dari Kulonprogo, ia mencontohkan ada sawah seluas 8000 meter yang konon dimiliki seseorang dari luar negeri. Otomatis, sawah di sekitarnya langsung diserbu makelar dan harganya ikut melambung.

Ada ‘pemain’ bagi yang terkendala perizinan

Tingginya harga tanah dan kebutuhan akan pemukiman akhirnya membuat berbagai cara dilakukan. Lahan sawah yang secara perizinan terlarang untuk dijadikan rumah pun tinggal peraturan belaka. Bukit-bukit pun digunduli demi dijadikan perumahan. Silakan melintas dari perempatan Pasar Godean ke arah utara sampai daerah Seyegan untuk membuktikannya.

Sawah yang dialihfungsikan ke bangunan menjadi pemandangan biasa di beberapa tempat. Padahal, sejatinya ini melanggar peraturan. Lokasi foto di Seyegan, Sleman. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Menurut pria yang juga kepala dusun itu, hal di atas terjadi karena ada ‘pemain’ yang bisa menguruskan kendala perizinan. Sehingga, saat lahan sawah dikeringkan dan dijadikan rumah tetap bisa mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tentu saja, semua proses itu butuh tambahan biaya per meter di luar harga awal. Di sisi lain, ada pemain-pemain yang menguasai banyak lahan dan pemukiman. Bahkan, beberapa sengaja menyimpannya untuk jangka waktu lama. “Kan bisnis,” selorohnya santai.

Kepada Lilik, saya bertanya rata-rata harga tanah di Sleman. Untuk wilayah Seyegan dan Minggir, harganya mencapai Rp2 juta rupiah per meter persegi. Sementara di daerah Gamping dan Godean harga bisa jauh lebih tinggi lagi. Bicara soal tanah murah, Lilik mengatakan masih ada tanah dengan harga di bawah Rp300 ribu per meter persegi. “Tapi ya tempatnya di pinggiran banget seperti di pedesaan Kulonprogo atau selatan Bantul.”

Dengan harga rumah Rp375 juta dan gaji Rp2 juta per bulan, tentu tidak mungkin membuat permisalan bahwa seorang pekerja harus menabung selama 188 bulan demi memilikinya. Lebih tidak mungkin lagi karena tidak semua pekerja bisa merasakan gaji standar UMP. KPR pun terasa berat – untuk tidak mengatakan mustahil – ketika gaji hanya 2 juta per bulan.

Berdasar laman Bapedda DIY, pada 2021 Provinsi DIY memiliki tingkat rasio gini sebesar 0,441, di atas rata-rata nasional sebesar 0,384. Angka ini tertinggi se-Indonesia dan menunjukkan ketimpangan pengeluaran kumulatif terbuka lebar di kota istimewa ini. Sederhananya, ada seseorang bisa mengeluarkan uang 5 juta rupiah per bulan saat orang lain hanya bisa menghabiskan 1 juta per bulan.

Saya tiba-tiba teringat percakapan dengan Iksan (18), salah satu pekerja pabrik di Sleman dengan gaji 1,7 juta rupiah beberapa waktu lalu. Kepadanya, saya bertanya soal rencana jangka panjang mengenai rumah dan tanah. Kala itu ia terdiam cukup lama.

“Iya ya, aku bisa beli tanah sama rumah gak ya besok?” Ia balik bertanya. “Mana gak mungkin dapat warisan, wong orang tuaku juga tidak punya tanah,” Iksan melanjutkan. Kami mengakhiri percakapan dengan mengumpat bersama sembari menertawakan nasib.

Saya kembali harus mengumpat di akhir tulisan ini. Ternyata, Jogja yang katanya murah tidak berlaku dalam soal tanah. Atau, jangan-jangan, mahalnya harga tanah adalah salah satu hal istimewa di provinsi ini?

 

Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Lentera Damar Kurung Gresik dan Kisah Sang Maestro Masmundari  dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version