Hampir semua petani di Jogja punya keluhan yang sama tentang anak mereka
Saiman bahkan mengatakan ke anak-anaknya, kalau mengalami kendala dari sisi pengairan, pemupukan, atau kendala lain, ia yang akan turun tangan membiayai. “Itu mereka nggak mau, Mas. Tanahnya dikembalikan, ‘digarap bapak saja’,” kata Saiman geleng kepala.
Saiman paham, bekerja jadi petani itu memang tidak langsung bisa menerima uang. Selain itu, masalah dalam sistem pertanian di Indonesia begitu banyak.
Ia menegaskan, bukan hanya anak-anaknya saja yang menolak untuk menggarap tanah warisan. Sebagian besar petani yang ia kenal di Jogja juga mengalami hal yang sama. “Saya tahu karena saya aktif di kelompok tani sudah puluhan tahun,” kata Saiman.
Bagi yang tidak kuat mengolah sawah, maka biasanya akan dijual. Belum tentu juga selanjutnya menjadi tanah pertanian, bisa jadi beralih menjadi permukiman atau hal yang lainnya. “Mereka yang kemarin dapat uang dari lahan yang kena tol kan banyak yang bingung, mau beli tanah, tapi tanahnya mahal,” kata Saiman.
Padahal belum tentu hasil sawah yang diolah bisa menjamin penghidupan seluruh keluarganya. Kecuali jika tanah itu luas.
Masalah-masalah yang dihadapi petani
Saiman mengatakan masalah yang petani hadapi selain regenerasi adalah persoalan-persoalan teknis ketika menggarap lahan. “Misalnya saja sekarang ini, harusnya Selokan Mataram kan jangan dikeringkan dulu, karena belum hujan. Nah karena tidak ada pengairan, petani jadi dapat masalah karena nggak ada airi,” kata Saiman.
Saiman sendiri tidak menyerah dengan kondisi tersebut. Ia menanami lahan garapannya di wilayah Sedayu dengan palawija yang tidak membutuhkan banyak air. “Ini sedang saya tanami lembayung, tiap pagi bisa panen, tambah-tambah uang belanja,” katanya.
Masalah lain yang jadi keluhan petani adalah soal pupuk. Saat ini untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani harus membawa kartu tani. Ternyata tidak sesederhana itu persoalannya. Untuk mendapatkan kartu itu, syarat administratifnya ribet.
“Kalau masa kartunya habis, petani harus ngurus ke BRI. Nah, BRI tidak mudah mengeluarkan kartu itu karena harus mengisi data. Sementara kalau membeli pupuk non-subsidi, mahal banget,” kata Saiman.
Persoalan lain, misalnya soal karakter petani sekarang yang ingin lahannya produktif terus untuk bertanam padi. Padahal sesuai anjuran, pola musim bertanam yang baik, harusnya padi-padi-palawija. “Sekarang hampir semua petani selalu, padi-pantun-pantun (pantun merupakan bahasa Jawa kromo artinya padi),” ujar Saiman.
Yang terjadi, tanah menjadi tidak subur lagi. Bahkan menurut Saiman dari penelitian UGM yang ia dengar, kondisi tanah pertanian di Jogja unsur haranya sedikit banget. Kondisi lahan yang kurang dari sisi kesuburan membuat petani makin banyak menggunakan pupuk kimia.
“Kalau saya, sampai kapan pun akan bertani, hasilnya mungkin tidak bisa jadi pegangan, tapi bisa untuk hidup ayem. Saya pun nggak akan jual sawah tanah warisan, selama saya masih kuat, akan saya olah sendiri. Nggak tahu nantinya,” kata Saiman.
Surplus beras tapi harganya naik terus
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Sugeng Purwanto, menyampaikan, stok beras di pertengahan hingga akhir 2023 di DIY masih aman. Bahkan surplus.
Dari data per 11 September 2023, ketersediaan beras di DIY mencapai 11.135,98 ton, sedangkan kebutuhan per minggu 5.907,33 ton.
“Artinya, neraca mingguan surplus 5.228,65 ton,” katanya Rabu, 13 September 2023. Saat itu, ia juga mengatakan belum mendapat laporan dari kabupaten terkait tanaman padi yang rusak akibat musim kemarau.
Namun, hari ini 13 Oktober 2023, pedagang-pedagang beras di Pasar Beringharjo menjerit karena harga beras yang terus naik. Penyebabnya karena DIY masuk musim paceklik karena kemarau panjang yang membuat panenan padi berkurang.
Kondisi ini makin menggambarkan ancaman krisis pangan di DIY. Selain karena musim kemarau panjang, susutnya lahan persawahan di DIY kemungkinan besar ikut menyumbang sedikitnya panenan.
Tanda-tanda krisis pangan di DIY makin dekat
Mengutip Kompas.com, tahun 2013, Biwara Yuswantana yang saat itu menjabat Kepala Bidang Perekonomian Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi DIY menyatakan, DIY terancam krisis pangan di 2039.
Hal tersebut Biwara sampaikan 10 tahun lalu dalam sarasehan “Membangun Yogyakarta yang Berkecukupan, Sejahtera, Mandiri, Lestari”, (18/4/2013). Saat itu, ancaman krisis pangan 2039 didasarkan pada pertambahan penduduk dan permukiman.
Dengan adanya pembangunan jalan tol dan pariwisata yang kian masif, lahan pertanian semakin cepat berkurang.
Harian Jogja edisi cetak pada 25 September 2017 bahkan mengangkat liputan khusus, dengan judul headline halaman pertama, 2025, DIY Krisis Pangan.
Ancaman krisis pangan pada 2039 bisa makin cepat melihat kondisi alih fungsi lahan pertanian dan persawahan di DIY. Hal ini karena setiap tahun rata-rata 250 hektare lahan persawahan di Yogyakarta beralih fungsi. Padahal luas lahan sawah di DIY sekitar 76 ribu hektare.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY, Bambang Dwi Wicaksono, seperti dikutip dari Kumparan.com, 2 Februari 2023.
Berkurangnya lahan sawah ini menurutnya karena alih fungsi lahan menjadi permukiman penduduk, jalan, dan tempat usaha seperti restoran dan kafe.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jalan Kaliurang: Ketika Petani Tua Enggan Menukar Tanah Warisan dengan Uang Receh 3,5 Miliar
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News