Ada sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah yang dulunya dikenal sebagai salah satu desa terangker. Namun, seiring tahun-tahun yang berganti, nuansa mistis dan angker di desa ini perlahan justru lenyap.
Mojok menelusuri cerita-cerita dari warga setempat perihal keangkeran desa ini di masa lalu, hingga bagaimana mulanya nuansa itu memudar seiring waktu.
***
Di masa lalu, Desa Manggar, Kecamatan Sluke bisa dibilang sebagai salah satu “sarangnya demit” di Rembang, Jawa Tengah. Setidaknya, demikianlah klaim dari beberapa warga setempat.
Tentu ada banyak desa lain dengan klaim demikian. Namun, ada cukup banyak cerita yang saya dapat tentang Manggar, sehingga mendorong saya untuk menulisnya. Apalagi, ada beberapa jejak keangkeran yang masih tersisa di banyak sudut desa ini.
Menariknya, jejak-jejak keangkeran itu kini justru seperti tak pernah dianggap ada. Padahal dulu menjadi momok tersendiri dan menjadi tempat yang paling warga hindari di malam hari.
Cerita mistis di batu dan pohon angker legendaris
Berdasarkan cerita yang beredar, hampir di setiap sudut Desa Manggar pasti ada batu dan pohon yang disebut jadi sarang demit. Masing-masing juga menyimpan cerita-cerita mistis tersendiri.
Dari batu atau pohon angker yang terletak di beberapa desa tersebut, beberapa di antarnya menjadi yang paling legendaris dan ikonik. Sebab, diyakini menyimpan aura mistis yang lebih besar daripada sudut-sudut yang lain.
“Dulu tempat-tempat ini orang anggap yang paling mengerikan gangguannya,” kata Mbah Syuhada (79), salah satu warga yang rumahnya tak jauh dari salah satu batu angker legendaris itu membagikan ceritanya.
Watu Tekek: Bukan sarang sembarang tokek
Jika diurut dari gapura masuk desa, Watu Tekek (batu tokek) menjadi batu angker ikonik pertama yang bakal orang jumpai jika masuk Desa Manggar.
Penamaan Watu Tekek sendiri terbilang unik. Sepintas, batu tersebut sebenarnya lebih mirip wajah monyet. Akan tetapi, hal itu tak serta merta membuatnya dinamai Watu Ketek (batu monyet).
“Sebab, dulu jadi rumahnya tokek. Di sela-sela batu ada puluhan tokek yang bersarang di situ,” terang Syuhada.
Konon, tokek-tokek yang hidup di Watu Tekek bukanlah tokek sembarang. Tidak sedikit warga yang percaya bahwa tokek-tokek itu adalah jelmaan lelembut.
Itulah kenapa, kata Mbah Syuhada, tidak ada yang berani mengambil tokek dari batu itu. Meskipun tergiur dengan goadaan “bisa dijual dengan harga mahal”.
Ada yang menyebut, jika nekat mengambil apalagi jika sampai membunuh tokek dari Watu Tekek, maka bisa jatuh sakit bahkan sampai meninggal.
“Watu Tekek sudah ada sejak saya kecil. Di depan Watu Tekek dulu ada batu agak ceper. Nah, biasanya orang-orang meletakkan sesaji di situ, biar nggak diganggu. Sekarang sudah nggak ada. Tokeknya juga sudah nggak ada,” ungkapnya.
Hantu egrang yang suka menghadang orang lewat
Beredar cerita pula bahwa tokek-tokek di Watu Tekek itu kalau malam hari bisa berubah wujud menjadi tokek raksasa.
Namun, kata Mbah Syuhada, cerita yang cukup populer dari Watu Tekek adalah tentang hantu egrang.
“Kakinya panjang. Jadi sebutannya hantu egrang,” jelas Mbah Syuhada.
Menurut Mbah Syuhada, ada sepupunya yang dulu pernah berpapasan dengan hantu egrang.
Sebenarnya, zaman dulu, keluar-masuk desa di atas jam 8 malam adalah sesuatu yang sebaiknya dihindari. Karena masyarakat desa percaya, jam 8 malam ke atas adalah jam di mana demit-demit Desa Manggar akan berkeliaran menampakkan diri.
Akan tetapi, saat itu ada keperluan yang memaksa sepupu Mbah Syuhada harus ke dusun sebelah dan harus melewati Watu Tekek.
Konon, sepupu Mbah Syuhada itu dihadang oleh sosok hantu egrang. Sontak saja sepupu Mbah Syuhada panas dingin hingga pingsan di tempat. Sebelum akhirnya beberapa warga yang melintas menemukannya.
“Sampai pertengahan tahun 2000-an, seingat saya tokek-tokek itu masih ada. Tapi setelahnya kok hilang. Entah bagaimana mulanya. Semakin ke sini orang-orang juga sudah mulai tak takut lagi lewat situ,” ungkap Mbah Syuhada.
Batu gong yang bergema mistis tiap tengah malam
Batu angker legendaris di Desa Manggar berikutnya ada di ujung paling utara desa. Letaknya berada di tengah perkebunan warga yang berbatasan dengan desa di lereng Bukit Rakitan.
Masih mengutip dari cerita Mbah Syuhada, batu gong konon dulu sering berbunyi tiap tengah malam. Suaranya terdengar cukup jelas di dusun-dusun bagian utara Desa Manggar.
“Dulu rumah saya kan di daerah utara desa. Sebelum pindah ke ujung selatan sini. Jadi semasa kecil sering mendengar,” akunya.
“Bagi anak-anak ya takut. Tapi bagi orang-orang tua pada masa itu sebenarnya sudah biasa,” imbuhnya.
Mbah Syuhada mengaku belum pernah melihat bentuk asli dari batu gong tersebut. Karena dulu para orang tua melarang anak-anak kecil mendekat ke perkebunan tempat batu gong itu berada.
Hanya saja, dari cerita yang ia dengar, bentuk batu gong sebenarnya hanya berupa bongkahan batu biasa. Cuma, bunyinya saja yang terdengar seperti bunyi gong, salah satu alat musik dalam gamelan Jawa.
“Terakhir terdengar pada 80-an. Lupa persisnya. Yang jelas, waktu anak-anak (saya) lahir di tahun 80-an itu, batu gong sudah nggak terdengar lagi,” katanya.
Mbah Syuhada juga mengaku tak tahu-menahu apa yang menyebabkan batu gong kemudian berhenti berbunyi lagi.
Batunya pun sekarang katanya sudah tidak ada lagi. Tinggal bekas tempat batunya berada saja yang tersisa.
Baca halaman selanjutnya…
Ringin Ngelo: Segala jenis demit tinggal di sini