Tiga Cerita Tak Kasat Mata di Utara, Tengah, dan Selatan Yogya

Tiga Cerita Tak Kasat Mata di Utara, Tengah, dan Selatan Yogya

Yogya bukan hanya terdiri dari kenangan, kembali, dan rindu. Lebih kompleks dari itu, Jogja menyimpan spirit-spirit tak kasat mata yang kadang melampaui batas nalar pemahaman manusia pada umumnya.

Mojok.co berkesempatan menukilkan kisah-kisah tak kasat mata di tempat yang terkenal energi gaib di dalamnya. Mulai dari Yogya bagian selatan, tengah, hingga utara.  

***

Hantu perempuan berambut panjang di Terminal Giwangan

Cerita tak kasat mata pertama terjadi di wilayah selatan Yogya. Jika biasanya selatan Yogya identik dengan laut selatan, kali ini nggak selatan-selatan banget karena tak begitu jauh dari pusat kota. 

Terminal Giwangan menyimpan banyak misteri yang nggak bakalan cukup dikisahkan hanya dalam satu lembar liputan saja. Banyak kejadian mistis yang dialami oleh para pekerja di dalam Terminal Giwangan maupun masyarakat sekitar. Di sana pula terletak Makam Kyai Guna Mrica yang tidak ikut digusur ketika pembangunan awal Terminal Giwangan pada 2002 yang mulai beroperasi pada 2004.

Pembangunan terminal ini sejatinya sudah berlangsung sejak 2001. Selain terkendala Makam Kyai Guna Mrica, juga permasalahan warga setempat mempersoalkan uang kompensasi buat pembebasan.

“Banyak kejadian mistis di sekitar Terminal Giwangan,” kata Yanti (36) kepada saya ketika ditemui pada (6/7/2021) sore hari. Yanti merupakan salah satu pekerja di Terminal Giwangan. Namun, harus gulung tikar karena mata rantai pandemi tak pernah selesai dan membuat nadi keuangan di Terminal Giwangan menjadi mampat.

Menurut keterangan Yanti, cerita yang beredar di sana bergerak dengan liar dari mulut ke mulut. “Katanya dulu ada orang yang kencing di dekat makam (Makam Kyai Guna Mrica, red), esoknya penisnya membesar dan meninggal seketika,” katanya. Yanti juga menceritakan bahwa sempat ada yang judi di sana, menimbulkan kegaduhan, lantas pingsan seketika.

“Namun penampakan yang sering terjadi bukan hanya itu, tapi ada perempuan berambut panjang, tinggi, yang sering nembus tembok-tembok Terminal Giwangan,” terang Yanti. Perempuan itu disinyalir sudah ada sebelum berdirinya Terminal Giwangan. Menurut Yanti, banyak yang melihat sosok ini, baik siang hari maupun malam hari. Ia memiliki pengalaman perihal perempuan tak kasat mata itu.

Saat itu Yanti sedang mengurus bus malam yang beroperasi pada pukul sembilan. Ia tengah duduk di agen miliknya, di Blok D, lantai dua. “Saya sedang menghitung uang, tiba-tiba tercium wangi yang menyengat sekali,” katanya. Selang beberapa waktu, muncul sosok perempuan bertubuh tinggi, rambutnya panjang dan menurut Yanti, wajahnya tidak nampak lantaran tertutup oleh rambut.

“Mau ke mana, Mbak? Jakarta?,” begitu Yanti menawarkan jasanya, seperti kepada tiap calon penumpang yang sliweran di depan agennya. Namun perempuan itu terus berlalu, agen demi agen ia lewati. Yanti pun beranjak dari tempat duduk lantaran Blok D jika berjalan ke arah selatan terus, menemui jalan buntu. Yanti pun berlari menyusul. “Udah malam, kasihan kalau kesasar,” katanya.

Ketika ia berlari di belakang perempuan tersebut, ketika menemui jalan buntu di lantai dua, perempuan itu melaju terus dan menembus tembok. “Kaki saya langsung lemes, baca semua bacaan ayat suci yang saya ingat dan langsung kapok nggak mau lagi ngurusin bus malam,” tutup Yanti.

Kejadian serupa dialami oleh Deri (32). Kisah yang ia alami rasanya lebih menyeramkan dan membuat bulu kuduk saya meremang seketika. “Jadi kejadiannya malam hari, waktu mau pulang, saya kalah habis judi,” kata Deri sebagai pembuka. Deri melihat jam, pukul sebelas malam, terminal sudah amat sepi, menyisakkan beberapa orang mabuk di pojok-pojoknya.

Suasana Terminal Giwangan di siang hari. Foto Gusti Aditya/Mojok.co

Deri berjalan menuju parkiran motor, dekat dengan ruko-ruko yang berjejeran. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seperti benang yang menjuntai ke bawah, di dinding ruko-ruko tersebut. “Saya kira benang layangan,” katanya. Lantas ia memegang dan mengamati. “Tapi kok banyak sekali. Lebih mirip seperti….. rambut!” katanya.

“Saya pun melihat ke atas. Ada sosok perempuan berpakaian putih tengah duduk di atas ruko-ruko itu. Perempuan itu tinggi sekali. Tangannya lantas menjuntai ke bawah, seperti bisa meraih saya. Saya pun lari sampai terkencing-kencing,” kata Deri.

Keramaian di tengah suasana hening Benteng Vredeburg

Senin (6/9/2021) malam adalah malam yang amat kering. Lebih tepatnya di Bantul, ketika saya hendak mencoba menelepon narasumber, angin sepoi pun bahkan tak mau mampir di teras rumah saya. Dengan kondisi terus-terus mengelapi kening yang berkeringat, saya menelpon narasumber. “Mantan goblok!” begitu salam pembuka yang saya terima alih-alih ‘Halo’ atau ‘selamat malam’.

Meidiana (23) atau acapkali disapa Mei ini berbagi kisah perihal kenangannya bersama mantannya tiga tahun lalu. “31 Oktober 2018, lebih tepatnya sebelum mantanku itu berangkat KKN, aku diajak main random gitu,” terangnya. Kenangan main ke tempat wisata itu, berubah horor lantaran pemilihan tempat yang dituju oleh mantannya Mei.

Hubungan mereka memang sedang tidak baik, apalagi ketika mantan Mei, sebut saja Adi, hendak pergi untuk KKN. Mereka memutuskan untuk bermain bersama dalam rangka menyatukan pemikiran, berharap hubungan itu kembali utuh dan nggak penuh dengan problematik lagi. “Malah makin parah,” kata Mei ketika menggambarkan kondisi hubungan mereka pasca-pulang dari bermain bersama mantannya itu.

“Kita ke Benteng Vredeburg, ya? Kita lihat hal-hal abadi di museum, berharap cinta kita juga ikutan abadi,” kenang Mei, menirukan apa yang dikatakan oleh Adi. 

“Sumpah, saat itu aku bingung harus jawab apa. Tiga tahun pacaran, masak dia nggak paham kalau aku gampang ketempelan dan kesurupan?” kata Mei.

Benteng yang dibangun pada 1787 dan berada di Jalan Malioboro ini memang terkenal dengan banyaknya mahluk tak kasat mata. Tak jarang wisatawan yang datang, ketika pulang selain membawa kenang, juga membawa kisah-kisah mistis yang mereka alami. Acapkali kisah yang dibagikan adalah mendengar suara teriakan minta tolong hingga suara serdadu. Namun, apa yang dialami oleh Mei agaknya berbeda.

Mei berharap bahwa Adi mengurungkan niatnya ke sana. Jika menyelesaikan masalah hubungan di Benteng Vredeburg, bukan seperti mau pacaran, tapi malah seperti anak SMP yang sedang studi banding, begitu canda Mei dalam telepon.

“Apa nggak mau ke kafe aja?” kata Mei ketika Adi membawanya menggunakan motor. Berharap, Adi mencari tempat lain.

Hanya ada mereka berdua dan beberapa orang yang sedang menggambar ketika sampai sana. Saat itu Benteng Vredeburg tengah mengalami renovasi di berbagai titik, jadi kondisi di atas jam sepuluh pada saat itu lumayan sepi. Mereka saling bergandeng tangan, mengitari kompleks museum dan melihat beberapa diorama ketika zaman kemerdekaan.

Mei merasakan pusing yang begitu melilit di kepala bagian belakang. Adi dengan sigap pergi guna membeli beberapa minuman dan makanan di kantin. Mei duduk di taman tengah dan terus memegangi kepalanya yang rasanya kian berat. “Seperti ada yang duduk di leher belakangku dan menarik-narik kepalaku,” katanya.

Ketika pusing terus menggelayuti kepala Mei, ia lantas mendengar suara-suara riuh dari arah depan. “Aku kira kan si Adi, ternyata….” Ketika Mei berusaha sekuat mungkin melawan pusing dan mengangkat kepala, ia melihat kondisi di depan tempat ia duduk. Bukan Adi, pun bukan penjaga museum yang ia temui, melainkan orang-orang berpakaian aneh yang berlalu-lalang di hadapannya.

Photo by Mert Kahveci on Unsplash

“Mereka jalan dengan cepat. Ada yang ke arah timur, barat. Semuanya jalan dengan wajah pucat, tanpa ekspresi, pakaian yang aneh seperti zaman Belanda. Bahkan anak-anak ada yang melompat-lompat, namun wajahnya datar saja,” kata Mei dengan nada bergetar dalam saluran telpon di malam yang amat sumuk itu.

Lantas Mei menangis. Ia tak tahu sebabnya lantaran tangisan itu terjadi dengan sendirinya. Mulutnya tidak bersuara, hanya saja matanya terus menitikan air mata. “Aku seperti melihat tragedi, karena setelah orang-orang yang berpakaian Belanda itu hilang dan pergi, yang datang berikutnya adalah orang-orang berpakaian compang-camping.”

Siang yang terik itu membuat tubuh Mei menjadi kian lemah. Pohon-pohon rambat yang memayungi Mei dari terik sinar matahari seakan nggak cukup teduh untuk membuatnya tidak kehilangan kesadaran. “Nggak pingsan total, cuma rasanya capek banget,” katanya, lantas Adi datang membawa minuman dan ia bercerita semua kepadanya.

Adi melihat Mei dari jauh, katanya ia tidak melihat apa-apa. “Katanya nggak ada siapa-siapa yang melewatiku. Benteng Vredeburg sepi-sepi aja dalam pandangan mata Adi, namun yang aku alami justru sebaliknya.”

Saya merinding mendengar cerita Mei, apalagi kejadian itu berlangsung di siang hari. Kata beberapa orang yang paham hal klenik, kekuatan astral itu melemah ketika siang hari. Jika di siang hari saja bisa sekuat ini, lantas bagaimana ceritanya ketika matahari terbenam dan digantikan oleh bulan?

Namun, bulu kuduk saya yang merinding nggak berhenti sampai kisah Mei perihal mahluk tak kasat mata yang dilihatnya, saya kian merinding ketika Mei bilang pasca-kejadian itu, kisah cintanya dengan Adi berakhir pada hari yang sama. “Dia bilang, aku putusin dia karena di bawah pengaruh kerasukan demit,” kata Mei sebagai penutup.

Kuntilanak kembar yang menjilati pembalut

Saat itu abu turun dengan indah ketika sore berangsur pudar di lereng Gunung Merapi. Di sebuah bumi perkemahan yang namanya nggak disebutkan, namun dengan ciri jumlah kamar mandinya ganjil. “Karena kebanyakan bumi perkemahan di sana jumlah kamar mandinya ganjil, sih,” kata Danu (24).

Malam pada akhirnya datang juga. Pada sekitar tahun 2016 akhir, malam amat gelap dan pekat seakan bisa menelan siapa saja yang akan berkegiatan Pramuka. Seakan, bulan dan bintang tidak mampu untuk menjatuhkan cahayanya. Angin pating sembribit seakan mengatakan Cangkringan malam ini sedang dingin-dinginnya. “Saya nggak merasakan pertanda apa-apa. Dan saya juga nggak ada kegiatan apa-apa pada malam itu,” jelas Danu.

Jatah istirahat dari kegiatan perkemahan yang padat, itu tandanya Danu bisa ambil jeda. Nahas, kata salah satu peserta, anjing liar acapkali masuk di belakang kebun bambu di belakang kamar mandi perempuan. Ditambah abu Merapi masih berguguran. “Namun, kata pembina kami yang berpengalaman, itu adalah hal yang lumrah terjadi,” begitu yang Danu katakan via saluran telepon kepada saya.

Peserta dan panitia perkemahan berangsur keluar untuk agenda jelajah malam. Danu bergegas mengambil senter guna berkeliling bumi perkemahan yang luasnya hampir satu hektare ini. Ketika baru jalan dua langkah, kaki Danu membentur patok milik peserta, “Asu!” pisuh Danu, lantas ia langsung memegang mulutnya agar diam, agar pisuhan demi pisuhan lainnya nggak mengalir dengan deras.

“Kuku milikku cuil. Darah lumayan banyak mengalir dan aku langsung buntel aja pakai kain kassa,” kata Danu. Ia meneruskan untuk ngecek bumi perkemahan. Setelah misuh tadi, lantas ia ingat kata-kata pembinanya; pisuhanmu bisa saja menjadi bait untuk mendatangkan mahluk tak kasat mata, penunggu bumi perkemahan di sini.

“Penunggu bumi perkemahan ini katanya mudah tersinggung. Pernah pembina saya berkata bahwa ada semacam benteng ghoib di sini. Benteng yang melindungi keseimbangan dua dunia,” terang Danu. Semua kesombongan Danu luntur malam itu. Ia yang hobi misuh dan berbicara lantang, menjadi diam selama memutari bumi perkemahan.

Photo by Denny Müller on Unsplash.com

“Kaki saya memang memutari bumi perkemahan dan ngecek segalanya, tapi pikiran saya berkelana ke mana-mana. Ditambah malam itu dingin sekali,” jelasnya. Perasaannya makin nggak karuan kala mendekati kamar mandi perempuan. Karena di belakang kamar mandi perempuan ada semacam bunker tua di tengah kebun bambu.

“Langkah demi langkah saya liwati. Malam terasa sangat gelap sekali. Abu-abu merapi terlihat berterbangan saat senter saya menyoroti ke atas. Saya hanya bisa menelan ludah dan mengingat perkataan kawan-kawan; Merapi tak pernah ingkar janji,” ingat Danu, sedang anjing liar yang sering dilihat peserta, belum ia temui.

Lantas ia membuka kamar mandi satu persatu. Satu, aman. Dua, aman. Tiga, aman. Empat, aman. Dan lima…. “Di titik itu, saya mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Leher saya pating semriwing seperti sedang didamu-damu. Gojak-gajek mau membuka pintu atau tidak. Ada suara anjing liar menggong-gong, tapi suaranya jauh. Awalnya hanya satu, kemudian menjadi banyak. Ah, mungkin peserta jelajah malam sedang dihadang anjing-anjing liar.”

Kuku kaki Danu kembali berdenyut. Ia melihat ke bawah, kain kassa yang memeluk luka itu tengah dikerubungi oleh semut dan tanah lempung. Ketika Danu hendak membersihkan kain kassa tersebut, pintu kamar mandi kelima, bagian paling pojok dengan pintu paling reot, terbuka. “Saya merinding, Mas,” kata Danu dalam teleponnya.

“Suaranya ngeeeeeek….Pintu itu begitu reot. Segera saya arahkan senter ke bagian dalam. Tiba-tiba….bajilaaaaaaaak,” teriak Danu dalam saluran telepon menirukan kejadian yang ia alami saat itu. Danu melihat dua sosok kuntilanak sedang membawa pembalut penuh darah yang menetes-netes. Mereka sedang mencium, menjilat dengan nikmat.

“Wajah dua kuntilanak itu pucat pasi, rambutnya panjang, matanya putih blasss nggak ada hitamnya sama sekali,” terang Danu. Kuntilanak yang diceritakan oleh film-film horor nggak ada yang seseram ini. Bercak merah mengotori pakaian mereka yang putih kusam.

“Asu bajingan…! Fix ini sih demit! Tidak ada ceritanya manusia mbadog pembalut seperti sedang nguyup jangan gori,” begitu yang dituturkan oleh Danu. Ia lantas pingsan begitu melihat dua mahluk tak kasat mata di kamar mandi tersebut.  

Kegiatan perkemahan SMA itu menjadi penuh dengan cerita horor bak mata rantai yang tidak berkesudahan dari angkatan satu ke angkatan yang lainnya.

Danu yang kini menjadi salah satu pembina di salah satu SMP di Bantul itu lantas mengatakan, “Di mana pun berada, di dunia mana pun itu, kebersihan tubuh dan menghargai penduduk asli memang harus ditegakkan. Entah kepada penduduk manusia pada umumnya, atau sebangsa jin dan penunggu yang memiliki kekuatan-kekuatan tertentu.”

Menurut penuturan Danu, kisah itu hanya salah satu dari sekian banyak fragmen kisah menyeramkan lainnya di bumi perkemahan tersebut. “Hingga saat ini, pasti ada satu atau dua peserta yang kerasukan tiap kali kami mengadakan kegiatan perkemahan di sana, dan hal tersebut selalu terbawa sampai ke sekolah-sekolah mereka….” tutupnya.

 

Exit mobile version