Tak Ada Ruang Gratis untuk Anak Muda, Klitih di Jogja Makin Menggila

Tahun 2021, ada 58 kejadian, 102 orang ditangkap

Klitih

Klitih menjadi masalah kompleks dan tiada akhir di Yogyakarta. Makin runyam seiring perkembangan kota yang ruwet dan minimnya ruang ekspresi untuk anak muda.

***

“Aku gur pengen seneng-seneng wae, seneng gelut!

Itulah yang terlontar dari Raga, seorang pelajar SMA di Kota Yogyakarta. bocah ini kerap berpindah sekolah dan otomatis juga kelompok atau geng sekolah. Di tempat tinggalnya ia juga bergabung di geng kampung.

Namun, jadi anggota geng atau bukan, menurut Raga, bukan persoalan. Yang terpenting ia bisa menyalurkan hasratnya: gelut!

Raga hanya salah satu dari sekitar 100 pemuda yang diajak ngobrol Yahya Dwi Kurniawan (26) beserta sejumlah seniman dan peneliti muda dalam riset kolaborasi soal klitih atau kekerasan jalanan di Yogyakarta.

Awal pekan ini, sejumlah aksi kriminal oleh remaja yang kerap disebut klitih itu mencuat lagi, seperti aksi bacok dan tawuran di Jalan Kaliurang. Warganet yang geram pun mengerek tagar di Twitter, #YogyaTidakAman dan #SriSultanYogyaDaruratKlithih. Setelah itu, medsos banjir pengalamannya netizen yang menjadi korban klitih.

Data Polda DIY pun mengonfirmasi bahwa klitih bukannya surut,tapi meningkat tahun ini. Dalam jumpa pers akhir tahun, Rabu (29/12), pada 2020, ada 52 laporan klitih. Dari jumlah ini 38 kasus terungkap dan 91 orang ditetapkan sebagai tersangka. Namun jumlahnya bertambah pada 2021 ini, yakni 58 kasus. Dari jumlah ini  40 kasus terungkap dengan 102 orang ditangkap.

Minim ruang ekspresi anak muda

Saat djiumpai Mojok, Kamis (31/12), Yahya menjelaskan fenomena kenakalan remaja itu  sebenarnya bukan khas Jogja. Namun, sejak  mengamati, bahkan berinteraksi dengan pelakunya pada 2017, klitih turut dipengaruhi perkembangan Kota Jogja.

“Tidak ada ruang gratis, ruang aman, untuk anak-anak muda ini untuk menunjukkan eksistensi. Mau nggambar, dianggap vandal. Mau band-bandan, nggak ada acara, nggak ada modal. Apalagi sekarang sekolah online. Mereka bingung. Nglitih, adalah yang mereka tahu satu-satunya cara ngeksis tanpa modal,” tutur Yahya saat ditemui Mojok, Kamis (29/31).

Yahya Dwi Kurniawan mojok.co
Yahya Dwi Kurniawan saat berbincang dengan Mojok (Arif Hernawan/Mojok.co).

Yahya menuturkan fenomena klitih saat ini berbeda dengan aksi geng-geng pada periode sebelumnya. Dari hasil risetnya, pada 1980-1990-an di Jogja banyak geng kampung. Setelah Orde Baru jatuh, periode 2000, geng sekolah mulai bermunculan.

Aksi mereka makin meningkat hingga pada masa 2010-an, termasuk hingga menewaskan pelajar. “Waktu itu diambil kebijakan menghapus badge sekolah. Tapi ini nanti juga malah bikin runyam,” tuturnya.

Kebijakan lain seperti  pembatasan siswa laki-laki juga dapat jadi blunder saat para siswa itu juga membentuk gengnya sendiri. “Yang masuk justru sesama cunthel dan jadinya kompak.”

Kelompok-kelompok sekolah memang makin sulit mengenali kelompok lain. Kondisi ini ditambah kelompok dari luar Kota Jogja, yakni kelompok Kabupaten dari Bantul dan Sleman.

Geng jalanan pun terbentuk tanpa afiliasi jelas dan berbasis di tempat nongkrong. Sejak itu, aksi kriminal mulai acak seperti saat munculnya aksi kelompok Vario Putih. “Ini dulu yang paling aktif, terutama di kawasan Maguwo,” kata dia.

Setelah itu,  muncul pula kelompok RKS singkatan dari Raden Kian Santang yang kerap beroperasi di Ring Road Utara hingga Gamping. RKS ini diidentifikasi sebagai geng dengan nama kelompok yang jelas.

Kelompok-kelompok ini juga punya cara soal melakukan identifikasi diri, kendati dari pemahaman mereka sendiri. misalnya saat yakin pelaku klitih lain menunggangi  motor tertentu, mereka akan ikutan naik kendaraan itu.

Walhasil, sejumlah merek dianggap sebagai motor anak klitih, mulai dari RX King, Mio, Vario, KLX, hingga kini Scoopy. “Ini mitos saja, tapi kemudian diwujudkan mereka sendiri,” kata dia.

Namun, setelah itu aksi geng klitih mulai tidak jelas, yakni mencari sasaran secara acak. “Sekarang lebih panas-panasan. Ada yang habis mbacok, senang, bikin panas teman, dan akhirnya (teman) ikutan. (Cari korban) benar-benar acak dan spontan. ‘Kayaknya menarik ini’. Se-random itu.”

Menurut Yahya, para remaja ini cukup nongkrong dua-tiga anak dan bisa bertindak kriminal. Beda dari kelompok di masa lalu yang kerap meninggalkan tanda seperti grafiti nama geng, anak-anak ini tak melakukan itu.

Setelah nglitih, mereka cukup memberi tahu pada kenalan terdekat mereka. Gara-gara panas, si kawan pun boleh jadi mengikuti jejak berbuat beringas.

“Klitih tidak butuh sekolah, geng, bendera, tapi bisa mlaku dewe. Masuk media atau viral bangga. Cukup diakui teman main. Tidak harus pengakuan besar seperti  dulu. Mereka sebenarnya tak punya tujuan membunuh. Yang dikejar kejadiannya, misal nggak kena nggak apa-apa. Tapi kadang ada yang kebablasan,” kata dia.

Tak hanya karena kesenjangan ekonomi

Faktor ekonomi menyumbang situasi anak-anak ini. Dengan upah minimum di Jogja yang rendah, orang tua tak memberi banyak uang saku.  Tempat nongkrong favorit mereka bisanya di burjo alias warmindo yang relatif terjangkau.

“Enggak mungkin ke kafe, karena minimal Rp50 ribu. Di tempat yang kita anggap gratis saja, mereka harus bayar parkir. Mereka jarang nongkrong di utara Jogja karena mahal-mahal, ya biasanya di kawasan selatan,” kata dia.

Namun, faktor ekonomi bukan satu-satunya sisi pelaku klitih. Yahya menyebut ada pula anak tentara, guru, dan dokter yang terlibat. Saat terjerat kasus di aparat, mereka dapat dijamin oleh orang tua.

Barang-barang klitih di pameran Museum of Lost Space di Galeri Lorong yang diinisiasi Yahya Dwi Kurniawan (Arif Hernawan/Mojok.co).

Yahya mengamini bahwa aksi klitih para remaja ini sebenarnya punya sisi ideologi kelasnya sendiri. Secara ekonomi, mereka kebanyakan dari kalangan ekonomi pas-pasan. Pendatang dari luar Jogja datang dengan kondisi ekonomi lebih baik. Mereka pun terdesak ke pinggiran.

Apalagi Jogja selalu gamang mendefiniskan sebagai Kota Pelajar dan Kota Wisata. Sebagai kota pelajar, segala kegiatan yang dianggap berujung negatif, seperti acara anak muda lokal, ditiadakan. Namun kini agenda tidak ada karena susahnya izin.

“Dulu kenakalan remaja itu ada. Tapi masih ada ruang-ruang eksis seperti acara musik di JNM. Sekarang acara anak muda juga kurang. Ke JNM Bloc saja harganya berapa?”

Saat di acara itu terjadi rusuh, aksi itu terjadi di lingkup terbatas. Penanganan juga sebenarnya relatif mudah. “Targetnya pun jelas. Gelut dengan musuh sekolah atau geng lain. Ada garis jelas mereka musuh. Sekarang itu tidak ada. Aksi nakal jadi menyebar dan sporadis,” katanya.

Sementara status Kota Wisata selalu membuat masalah di kota ini disembunyikan. “Jogja itu selalu diromantisasi terbentuk dari kangen. Padahal setelah kita tinggal di sini kita jadi tahu Jogja tidak baik-baik saja.”

Yang patut disayangkan, kritik atas Jogja kerap ditudingkan ke para pendatang. Padahal riset Yahya menunjukkan temuan yang gamblang. “Pelaku klitih itu selalu local youth, tidak ada pendatang. Mereka meneror kota sebagai kritik karena tidak ada tempat untuk mereka,” kata dia.

Aksi klitih saat ini bukan hanya memutus hubungan dengan geng zaman old. Namun juga membuat para senior mereka cemas. “Preman tua bahkan takut sama mereka. Kalau habis nglitih, nyari di mana lebih susah. Dulu dari penampilan, dulu kelihatan misal tatoan. Sekarang nggak ketok blas sebagai preman atau gento.”

Yahya juga resah jika tak diatasi aksi klitih semakin berbahaya. Sebab, dari sekadar kayu dan batu, lalu senjata tajam modif, saat ini kekerasan remaja juga menggunakan senjata api rakitan dan airsoft gun. “Semakin ke sana, nakal punya modal. Dulu nakal gelut, rokok mabuk, saiki senjata, narkoba,” kata di.

Dengan terbatasnya ruang publik, upaya pembangunan taman, sanggar, atau youth center tak serta merta jadi solusi.  “Solusinya kebutuhan ruang aman untuk berdialog. Kalau (tempat itu) gak ada yang ngurus, jadi tempat nongkrong baru, diparkiri ilegal, lalu mereka terenggut lagi.  Mereka cuma pengen menyalurkan, tapi nggak ada yang nuntun.”

Grafiti yang dibuat anak-anak muda pelaku klitih dalam pameran Muesum of Lost Space (Arif Hernawan/Mojok.co).

Solusi pertama dari keluarga. “Remaja jangan banyak dikekang. Kalau dia (kegiatannya) positif di-support, kalau negatif jangan dihajar-diusir,  tapi ajak bicara. Keluarga harus jadi tempat paling intim.”

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan memang sudah dicoba penanganan pelaku klitih bersama keluarga yang melibatkan konsultan. Namun biaya penanganan dengan konsultan itu mahal. “Biayanya waktu itu mereka minta Rp3 juta-Rp4juta untuk satu keluarga. Itu masih terlalu mahal. Jadi kita perlu cari lain yang lebih memungkinkan,” katanya, Rabu (29/12) lalu.

Sultan pun punya rencana menghidupkan sekolah khusus untuk anak nakal Prayuwana. Namun, Yahya pesimistis karena model ini pernah dicoba. “Ada sekolah semacam itu, tapi mereka akhirnya bikin geng sendiri. Murid sedikit, yang penting bisa bayar, kompak, malah jadi menang-menang (gengnya).”

Penangkapan dan bui juga tak selalu menuntaskan klitih. Ada kalanya pelaku justru tambah pintar selepas di penjara: misalnya menyamarkan klitih sebagai tabrak lari. “Mereka harus diberi program dan diajak ngobrol. Klitih harus dilihat akarnya.  Tiap anak bisa beda-beda. Tapi selama ini keluarga, sekolah, dan lingkungan selalu saling menyalahkan.”

Langkah Yahya dan sejumlah kawannya mengajak para pelaku klitih terlibat dalam aktivitas seni. Mereka mengajak melakukan aktivitas seni, seperti musik dan grafiti, bahkan membuat podcast dan jual beli clothing dan thrifting (baju bekas). Karya mereka terekam di pameran Museum of Lost Space yang ada di Galeri Lorong, Bantul, awal 2021 lalu.

“Niatnya bukan untuk menghilangkan, tapi meliburkan mereka dari klitih. Ada yang sudah berhenti, ada yang masih diajak gabung atau anget-angetan. Mereka bisa lepas kalau ada lingkungan baru yang membuat mereka eksis,” katanya.

BACA JUGA Cerita dari Wasit Sepakbola: Tarkam, Suap, dan Lisensi dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.

Reporter : Arif Hernawan
Editor      : Purnawan Setyo Adi

Exit mobile version