Pada teman-teman kuliahnya, Gintani Nur Apresia Swastika (37) berseloroh, karena mereka ia bisa kuliah. “Kalian suka minum Lapen Santoso to? Nah itu racikannya eyangku,” kata Gintani tertawa dalam perbincangan di Ace House Collective di Jalan Mangkuyudan, Yogyakarta.
Ditemani Yahya Dwi Kurniawan dan suaminya, Uji Hahan, kami berbincang tentang Lapen Santoso yang memunculkan istilah lapen di Yogyakarta. Untuk mengetahui sejarah lapen, bisa membaca artikel ini Sejarah Lapen yang Terlupakan, dari Jamu di Jalan Solo hingga Jadi Miras Oplosan.
Di tahun 2018 Yahya dan Gintani membuat pameran seni yang berjudul ‘Made of: Stories of the Material’. Pameran dalam bentuk seni instalasi dengan medium video berjudul ‘Regime of Truth’. Pengunjung diminta untuk karaoke dengan musik milik NDX a.k.a yang liriknya mereka ganti dengen resep dan tutorial membuat Lapen Santoso.
Liriknya jadi begini :
Santoso ing Jogjakarta Men
Ayo kabeh pada nggawe ning omahe dewe-dewe
ora usah macak kere, golek bahan dewe-dewe
nes wes dadi podo rene, terus lodse rame-rema
ojo lali trambulane, kanggo dhalad rame-rame
ayo podo mangkat rene
tak ajari cara nggawe
iki resep pak Santoso
Santoso jamu po lotse
ayo ngracik bareng Santoso aku lan kowe
ora nggawe alkohole.
…
Tuku bahan ning bringharjo
nembung cengkeh secang polo
pasak bumi salak sawo, kayu manis gingseng gulo
kabeh kui campurane digodog nganti sempurno
rong puluh lietere toyo
nek mateng dadi jamune
ditutupi diademke
nek sing versi jamu anget dicampur arak berase
….
Gintani dan Yahya sengaja menggunakan medium karaoke untuk memberitahu ke orang-orang bahwa sejatinya resep Lapen Santoso adalah jamu dan siapapun bisa membuatnya. Resep yang ia masukan dalam lirik lagu berasal dari Sudargono atau lebih dikenal dengan Pak Lik Gono. Menantu, sekaligus tester racikan lapen buatan Eyang Santoso.
Yahya yang asal Magelang ini menceritakan awalnya untuk mencari tahu tentang lapen ia melakukan riset di kawasan Pajeksan dan Sayidan. Dua tempat ini di masa lalu jadi tempat tongkrongan untuk mendapatkan ‘banyu surgo’. Sampai kemudian ia bertemu Gintani dan dipertemukan dengan Pak Lik Gono, yang merupakan tester di Jamu Tradisional dan Ramuan Ginseng Santoso atau lebih dikenal dengang sebutan Lapen Santoso.
“Kalau dari resep dan saya mencoba, ini memang jamu dan tidak berbahaya. Jadi lapen sebenarnya memang jamu,” kata Yahya. Racikan tersebut adalah racikan utama yang bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dari orang yang minum jamu, misalnya ditambahi kuning telur, madu, jahe, dan lainnya.
Pengunaan arak beras yang mengandung alkohol peruntukannya untuk menghangatkan badan dan bukan hal yang utama dalam jamu tersebut.
Resep jamu yang ada dilirik tersebut mengingatkan saya akan Jamu Ginggang Pakualaman yang eksis hingga kini. Dalam satu menu pilihannya memang ada pilihan tambah anggur dalam jamu yang dijual.
Ginanti mengatakan, ayah bertugas sebagai testernya Eyang Santoso, setiap kali membuat ramuan baru. “Eyang Santoso selalu meminta ayah saya mencicipi kalau dapat resep baru,” kata Ginanti. Sehingga Pak Lik Gono, ayahnya tahu betul kalau ada penyimpangan dalam resep Lapen Santoso.
Saya masih ingat, Pak Lik Gono di hari pertama saya wawancara itu nggak mau cerita banyak tentang Lapen Santoso. Baru hari kedua, Pak Lik Gono memberikan semua rahasia bagaimana membuat ramuan Santoso yang legendaris itu. Ia bahkan diminta mempraktikan. “Saya belanja ke Pasar Gamping beli buah-buahan. Ada buah-buahan yang sedang tidak musim, seperti sawo saya ganti dengan apel,” kata Yahya.
Lengkapnya seperti tertuang di dalam lagu, bahan dasar Lapen Santoso terdiri dari cengkeh, secang, buah pala, pasak bumi, gingseng, salak, sawo, kayu manis, gula pasir dan air. Semua bahan utama itu kemudian direbus dalam air sebanyak 20 liter. Setelah itu didiamkan hingga dingin. Jamu dasar itu kemudian dikembangkan lagi dengan bahan rempah-rempah lain. Sedangkan arak ditambahkan diakhir ketika jamu siap diminum.
“Tidak ada fermentasi, semua bahan-bahan itu segar. Dan Jamu Santoso itu tidak awet, maksimal tiga hari. Itupun harus dihangatkan setiap hari,” kata Yahya.
Pak Lik Gono menjadi mentor bagi Yahya saat meracik Lapen Santoso. Memberikan petunjuk jika racikannya kurang bahan tertentu. Persis saat Pak Lik Gono jadi tester bagi resep buatan Eyang Santoso.
Lapen buatannya itu kemudian ia bawa saat pembukaan pameran. Tamu-tamu yang datang ikut merasakan Jamu Santoso.
“Banyak yang mabuk Mas?” tanya saya.
“Ya nggaklah mas, araknya itu sedikit. Yang ada saya ngantuk!” katanya tertawa.
Ginanti mengatakan, Lapen Santoso yang asli tujuannya memang bukan untuk mabuk. Dulu ia ingat, orang-orang yang datang ke tempat eyangnya rata-rata pulang dari kerja.
“Biasanya tambulan minum jamu ada kacang bawang, ceker…”
“Hush…ceker ki Pajeksan,” potong Gintani cepat. Gintani mengaku masa mudanya diisi dengan kumpul-kumpul dengan teman-temannya di kawasan Malioboro, termasuk Pajeksan. Jadi ia tahu, di Pajeksan sendiri bukan jenis lapen yang seperti dibuat eyangnya.
Resep Eyang Santoso mengalami perubahan drastis saat pindah ke Mrican dan lepas dari pengelolaan keluarganya.
“Istilah Black dan Cassanova baru muncul saat Lapen Santoso sudah pindah ke Mrican dan tidak di bawah pengelolaan keluarga,” kata Gintani. Salah satu ciri yang membedakan, Lapen Santoso dikenal kental dennen warna keruh. Sementara yang beredar di pasaran saat itu lebih encer dan rasa jamunya sudah tidak dominan.
Gintani mengatakan, selain mendapatkan resep jamu dari seorang Tionghoa di Semarang, secara eklusif Eyang Santoso juga dapat pasokan arak berkualitas dari orang yang sama. Rata-rata kadar alkohol yang digunakan untuk Lapen Santoso sebesar 25 persen. Eyang Santoso juga dapat hak istimewa untuk meminta dibuatkan arak dengan kadar yang sesuai diminta.
Gintani yang tengah menyelesaikan program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ini mengatakan pascakrisis ekonomi 1998 dan adanya aturan peredaran minuman beralkohol di tahun 1997, banyak bermunculan minuman-minuman keras oplosan. Sebelumnya minuman keras itu harganya bahkan lebih murah dari Lapen Santoso. “Dulu minuman impor sekelas Mansion itu lebih murah. Lapen Santoso mahal karena bagian dari craftmanship,” katanya.
Sayangnya yang muncul di media, minuman keras oplosan identik dengan lapen. Padahal ada juga yang membeli lapen atau jamu kemudian mencampurnya dengan berbagai bahan yang berbahaya seperti obat nyamuk dan pembersih lantai.
Gintani mengingat, eyangnya saat masih jaya ibunya bertugas sebagai kasir, sementara ayahnya dan pakdenya menjadi pelayan untuk tamu-tamu yang datang.
Uji Hahan mengatakan, pameran yang mereka buat di tahun 2018 sendiri sebagai sarana distribusi pengetahuan. Agar orang bisa membuat minumannya sendiri, dan tahu bahan-bahan yang digunakan itu aman.
“Bahan-bahannya itu kan ada di sekitar kita, seperti apotek hidup, rempah-rempah, ada di dapur. Jangan sampai justru karena pengaruh asing kita seperti dijauhkan dari apa yang sebenarnya sudah ada di sekitar kita,” kata Uji.
Gintani mengatakan, di tahun 2019 ayahnya Sudargono atau Pak Lik Gono meninggal dunia karena kanker paru di usia 63 tahun. Ia dan Yahya merasa beruntung karena di tahun 2018, ayahnya mau membuka diri tentang Lapen Santoso. Lebih penting lagi, ia dan Yahya bisa memperkenalkan kembali tentang Lapen Santoso yang sebenarnya adalah jamu untuk kesehatan.
BACA JUGA Liputan Jogja Bawah Tanah, tema Lapen lainnya