Puluhan Geng Sekolah Hantui Jalanan Jogja, Menguji Anak SMP Hingga Terkapar di Kuburan Cina

Ilustrasi Puluhan Geng Sekolah Hantui Jalanan Jogja, Menguji Anak SMP Hingga Terkapar di Kuburan Cina. MOJOK.CO

Geng sekolah jadi legenda hidup yang mewarnai jalanan Jogja. Kelompok ini telah bertahan beberapa generasi, saling mewariskan kekerasan berdarah.

Terdapat puluhan geng sekolah dari jenjang SMP sampai SMA. Mojok mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan beberapa di antara pelaku. Kami menggali kengerian mereka di jalan, bagaimana mereka beregenerasi, hingga mengapa siklus ini tak bisa berhenti.

***

Sebut saja Dimas* (18), pertengahan 2021 silam ia mulai tergabung dengan sebuah geng SMK di DIY. Meski pandemi, tahun itu Polda DIY mencatat ada 52 laporan kasus kejahatan jalanan dengan pelaku usia 15-25 tahun. 

Usia Dimas saat itu masih 16. Ia sedang menjalani program Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) saat seorang teman mengirim pesan ajakan nongkrong. Kebetulan, ajakan itu datang dari teman satu sekolah yang dulunya kakak kelas di SMP.

Awalnya, ia malas bergabung. Pelaksanaan PLS masih secara daring. Dimas pun belum berminat jauh-jauh datang ke tongkrongan di dekat sekolahnya.

“Besoknya, kok temanku itu nge-chat lagi. Ngajak nongkrong lagi,” kenangnya. Gabut, ia pun memutuskan untuk mengiyakan undangan kawannya itu.

Malam, setelah isya, ia pun mendatangi lokasi yang dikirimkan temannya. Di sana, ia dikenalkan dengan sejumlah remaja yang merupakan kakak kelasnya.

Tak berselang lama, temannya berujar, “Ameh gabung geng ora?”. Sebenarnya percakapan itu menyebut secara eksplisit nama geng sekolah. Namun, Dimas tidak ingin identitas kelompoknya tertulis jelas di liputan ini.

Pengalaman pertama pertumpahan darah

Ajakan teman Dimas bukan tanpa dasar. Dimas memang punya pengalaman bergabung dengan geng saat masih SMP. Belum sempat berpikir panjang, ia langsung mendapat tawaran untuk menjadi jongki atau joki. Geng itu berencana kangsen atau bentrok melawan sekolah musuh. Waktunya saat dini hari.

“Pokoke koe melu ning mburiku wae,” ujar temannya.

Saat itu Dimas sempat ragu, bukan hanya karena tawaran mendadak itu, namun juga motornya yang hanya Vario 110. Baginya, cukup sulit untuk mengendalikan motor itu saat melaju kencang.

Seperti tak punya pilihan, ia lantas mengikuti sembilan motor rekannya yang sudah melaju di depan. Menuju sebuah permukiman di pinggir Kali Code.

Setelah sampai di sana, bruk…, belasan senjata tajam temannya keluarkan dari tempat penyimpanan. Kaget, meski pernah bergabung geng saat SMP, ia belum pernah tawuran dengan senjata semengerikan itu. Keringat sedikit mengucur melintasi dahinya.

“Ada clurit, pedang arab, sampai gergaji. Aku dikasih gosir, semacam gergaji gitu,” ujarnya. Senjata itu ia sembunyikan di dalam hodie.

Selain senjata mereka juga memperhatikan betul pertahanan diri. Anak geng ini memanfaatkan bekas ban dalam motor sebagai armor di lengan. Buku juga mereka bebat di perut yang tertutup jaket.

“Kalau pakai hoodie itu nggak cukup satu, harus dobel,” terang Dimas.

Setelah alat serang dan bertahan lengkap, rombongan itu lantas melaju pelan menuju utara sekitar pukul setengah satu. Mereka terlebih dahulu mampir ke sebuah pom bensin. Dimas semakin terheran, sebagian rekannya itu menenteng senjata terang-terangan.

“Jadi, jongki yang masuk ke pom ngisi bensin. Fighter-nya turun di depan. Senjata ya mereka tenteng. Etel tenan,” kenangnya sambil tersenyum getir.

Pacu kendaraan dari kejaran lawan

Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, di Jalan Magelang, sebelah utara Terminal Jombor. Jalanan itu relatif sepi dengan lintasan lurus yang ideal untuk bertempur. 

Namun, Dimas kaget. Di sekitar Restoran Pringsewu, ternyata, lebih dari dua puluh musuh telah menunggu di pinggiran jalan.

Tanpa aba-aba, batu sekepalan tangan melayang ke arah rombongannya.  Menghajar fighter yang membonceng motor tepat di depan dimas. Sepintas, Dimas melihat rekannya itu memalingkan wajah, mengelap bibirnya yang sudah penuh darah.

Umpatan saling bersahut-sahutan. Jongki berhenti di tepi jalan, para fighter berlarian mengejar lawan.

Pokoknya, nek kita kena poin (terhajar), harus poin ganti, lebih keras,” kata Dimas.

Situasi semakin tak terkendali. Kelompoknya kalah jumlah. Sekelebat saja para fighter kembali naik ke motor. Sebagai jongki, tugas Dimas adalah memacu kendaraan secepat mungkin melalui rute terbaik untuk menghindari kejaran lawan, warga, dan juga polisi.

area tawuran geng sekolah di Jogja
Jalan Magelang, salah satu medan tempur geng sekolah saat malam hari (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Pembagian peran dalam geng sekolah

Mereka terpisah, tapi kembali berkumpul di titik pengambilan senjata. Mengumpulkan dan membersihkan barang yang sebagian telah ternodai bercak darah.

“Kami langsung forum. Iuran untuk pengobatan teman yang terluka. Ya dari situ aku sadar tentang solidnya geng ini,” gumamnya.

Dalam sebuah geng terdapat pembagian peran. Aktivis merupakan sebutan untuk anggota geng secara umum. Selanjutnya, leader adalah ketua atau koordinator lapangan saat serangan berlangsung.

“Tapi kalau tempatku nggak ada leader. Semuanya sama rata,” kata Dimas.

Peran lainnya yakni jongki atau joki yang bertugas mengendarai motor saat aksi. Umumnya dalam pertempuran geng sekolah, pihak lawan tidak boleh menyerang jongki.

Kemudian fighter atau algojo yang membonceng dan bertugas jadi juru hantam saat kangsen. Di luar itu ada yang namanya juru sparing yang maju ketika saat tantangan duel satu lawan satu antar-geng.

“Terus ada tim gawang, itu biasanya di belakang. Nanti untuk sapu bersih setelah yang depan selesai,” jelasnya.

Setiap tawuran, Dimas berpendapat kalau para geng ini punya satu batasan yakni jangan sampai ada korban jiwa. Di luar itu mereka bebas melukai musuh dengan cara apa saja.

“Batasannya jelas. Intinya jangan sampai mati. Kalau sampai begitu urusannya repot, bukan geng lagi tapi melibatkan orang tua dan polisi,” papar anak ini.

Pada November 2021 lalu terjadi tawuran yang menyebabkan kematian seorang remaja di Bantul. Terdapat sebuah surat perjanjian antara dua geng yang berselisih yakni STEPIRO dan SASE. Tertera sejumlah kesepakatan di antaranya larangan melapor dan melukai jongki, tidak boleh visum, namun tidak tercantum larangan menimbulkan korban jiwa.

Kehidupan sebagai anak geng Jogja

Sejak momen itu, tanpa baiat, Dimas secara resmi tergabung dalam geng. Uji mental ia lalui dengan pengalaman menjadi jongki.

“Resmi gabung. Nggak perlu sparing, buang-buang tenaga. Kata temenku, mending tenaganya untuk lawan musuh,” paparnya.

Sekolahnya memang punya pamor cukup gahar urusan tawuran di Jogja. Menurutnya, geng sekolahnya tak punya aliansi. Semuanya bisa jadi musuh.

Saya berjumpa dengan Dimas di sebuah kafe daerah Bantul pada Rabu (3/5) siang. Ia datang menggunakan jaket hoodie berwarna hitam, celana jeans, dan sepatu kasual. Kalung besi melingkar di lehernya.

Tampilan remaja  ini memang tampak sangar. Namun, saat kami berbincang, ia terdengar ramah dan sopan. Menyapa dan berbagi cerita dengan antusias namun nada pelan.

Ia mengaku sedang tidak berangkat ke sekolah hari ini. “Mau tangi-tangi jebul wis awan. Lha pie maneh, bolos to akhire,” kelakarnya.

Sebagai anak yang tergabung di salah satu geng sekolah terbesar di Jogja, ia punya beberapa kegiatan pasti. Setiap pekan, ada agenda nongkrong bareng bersama teman-teman kelompoknya. Kegiatan itu bisa berlanjut dengan aktivitas “mubeng”.

Mubeng artinya berkeliling mencari musuh. Berbeda dengan tawuran, kegiatan ini tidak selalu berakhir dengan pertikaian. Mubeng juga biasanya tidak melibatkan terlalu banyak pasukan.

Dimas menceritakan, anggota inti geng bisa terlacak dari forum tongkrongan. Saat nongkrong rutin biasanya ada sekitar 20-30 anak yang hadir. Namun, saat tawuran, jumlahnya bisa lebih banyak.

“Nek tawuran itu sudah pasti janjian. Cenderung lebih banyak yang ikut tapi biasanya ada kesepakatan terkait jumlah antara dua geng itu. Kalau mubeng itu belum tentu ribut,” paparnya.

Geng sekolah yang ngawur asal bacok karena kagok

Sayang, menurutnya sebagian geng kadang ngawur saat melakukan aktivitas mubeng. Banyak di antara mereka, yang menurut Dimas, bermental “sapi” dan “mendem”. Artinya, melakukan kegiatan saat kondisi tidak sadar akibat efek pil maupun minuman keras.

“Tempatku itu anti mental sapi dan mendem. Kalau mubeng dan tawur ya sadar. Soalnya bisa repot kalau nggak sadar,” jelasnya.

Ketika mubeng pun, sasarannya spesifik. Gengnya biasanya sudah punya identifikasi kelompok lawan dari atribut hingga kendaraanya. Bahkan ada beberapa pentolan kelompok lain yang sudah jadi sasaran spesifik.

Anggota geng yang berkeliling dengan kondisi mabuk dan terdampak obat terlarang, punya kecenderungan kesal saat gagal mendapatkan sasaran. Apalagi, mereka telanjur membawa senjata. Ada perasaan kagok saat belum membasahinya dengan darah. Sehingga akhirnya memutuskan menyasar korban acak.

“Kami ya menyayangkan kejadian ada yang menyasar orang sembarangan. Ojol kok jadi sasaran, mereka kan cari duit,” terangnya.

Beberapa senjata tajam yang digunakan geng sekolah [Dok. Narasumber]

Pengalaman mendekam di tahanan

Sebagian anak geng, termasuk Dimas, punya pengalaman apes tertangkap saat sedang melakukan kekerasan di jalan. Ia misalnya, pernah tertangkap polisi saat ribut dengan sebuah SMA di Bantul.

Dimas menunjukkan sebuah video, saat ia dan rekan-rekannya terkena amukan warga. Tampak, mereka terkena pukulan dan injakan warga, polisi, dan aparat militer. Peristiwa itu sempat viral di media sosial, namun Dimas menyarankan untuk tidak mengungkap lokasi kejadiannya.

Kejadian itu membuat orang tuanya tahu aktivitasnya sebagai anak geng. Selain itu, ia juga sempat mendekam di sel selama dua hari.

“Di ruang tertutup itu, temenku malah ngentut. Asu tenan,” ujarnya terbahak. Ia mengaku, masih bisa bercanda dengan temannya, mengurai rasa tertekan, saat menjalani hukuman.

Ia menceritakan pengalaman ditahan di ruang tertutup, minim udara, dan pengap. Di sana ia juga mengaku digulung -sebutan untuk dihajar habis-habisan- oleh aparat.

Remaja ini punya dua pengalaman tertangkap saat beraksi. Sekali oleh polisi dan lainnya tertangkap satpam sekolah lawan.

Tiga syarat keluar dari geng

Sejak punya pengalaman mendekam di tahanan, ia mengaku merasa ingin mengurangi aktivitas tawurannya. Terlebih, ia sempat patah tulang karena kecelakan. Belum pulih sempurna, ia kena hajar warga, sehingga harus operasi lagi. Kalau sekadar mubeng, menurutnya, masih tidak jadi masalah.

Keluar dari geng menurutnya bukan perkara mudah. Terlebih, ia punya peran mengurusi para anggota yang membelot. Di kelompoknya, ada tiga syarat bagi anggota yang hendak keluar.

“Pertama harus dapat kunci motor musuh. Kedua ambil atribut seragam musuh. Ketiga kami gulung bareng-bareng,” ujarnya.

“Kadang ya aku tambahin lagi tugasnya. Suruh vandal di titik tertentu, biasanya di teritori sekolah musuh,” imbuhnya.

Tugas memberi sanksi itu, membuat Dimas mengaku malu kalau keluar dari keanggotaan. Menurutnya, durasi anggota geng itu sepanjang masa sekolah. Artinya, jika masuk 2020 maka dianggap mentas saat masa kelulusan 2023.

“Kalau akhirnya dikeluarkan atau pindah sekolah di tengah jalan ya tetap bisa gabung bareng kami. Nggak masalah. Durasinya yang penting sampai lulus,” terangnya. 

Setelah lulus, alumni tidak mereka libatkan dalam aktivitas tawuran maupun mubeng. Anggota geng SMA dengan alumni biasanya menjalin silaturahmi pada acara-acara tertentu saja. Ada gengsi jika melibatkan mereka yang sudah lulus dalam pertempuran.

Ketok jireh (terlihat penakut) nanti,” cetusnya. Namun, ia tidak memungkiri bahwa ada sejumlah geng yang masih melibatkan alumni sekolahnya.

Peta geng sekolah di Jogja

Dimas menuturkan bahwa saat ini peta geng sekolah di Jogja itu lumayan merata kekuatannya. Ada beberapa geng terkuat dengan jumlah massa yang banyak.

Kekuatan geng sekolah bisa berubah-ubah sesuai angkatan. Ada geng yang sempat besar beberapa tahun lalu, namun pamornya meredup karena sedang dipegang angkatan yang tidak solid dan ketiadaan dukungan penggerak yang kuat.

Kombes Pol Yuliyanto yang pada 2021 masih menjabat sebagai Kabid Humas Polda DIY mengungkapkan hampir semua sekolah di DIY memiliki geng. Terutama di tingkat SMA.

Sumber : Kajian Kenalakan Anak di Jalanan DIY 2022. (Ega Fansuri/Mojok.co)

“Polda menghimpun data dari polres dan polresta. Kami sudah punya datanya sekolahnya mana saja,” ujarnya, Rabu (10/11/2021).

Kajian Kenakalan Anak di Jalanan DIY (2022) pernah memetakan puluhan geng sekolah di Jogja. Ada tiga kategori yakni geng dengan anggota kebanyakan anak tidak sekolah atau lulusan SMA, kebanyakan anggota anak SMA, dan kebanyakan anggota anak SMP.

Dominasi terbesar berasal dari geng anak SMP. Beberapa nama tenar di antaranya MIZOH, MOECHILD, COZMOE, SPETAZA, hingga TISJAY.

Sementara itu, geng anak SMA yang populer di antaranya VOZTER, VASCAL, MORENZA, STEMSA, hingga BOSSE. Beberapa nama geng kategori anak tidak sekolah atau alumnus yakni WTJ, CKJ, PENDOPO 02, hingga MOXONDO.

Vandal sebagai bukti eksistensi

Salah satu cara puluhan geng sekolah ini menandai eksistensinya yakni lewat vandal. Coretan inisial geng terpampang di banyak titik pinggir jalan Jogja. Terutama di area-area sepi saat malam hari.

Di sepanjang Ring Road misalnya, coretan dengan inisial nama geng tertentu tampak bertebaran terutama di bangunan terbengkalai dan ruko-ruko kosong. Mojok mengamati ada beberapa inisial geng yang dicoret dengan pilox berwarna lain. Di atasnya, tertera inisial kelompok yang disinyalir melakukan pencoretan. 

Andreas Budi Widyanta, salah satu tim peneliti Kajian Kenalakan Jalanan Anak di DIY mengungkapkan bahwa keberadaan geng sekolah merupakan penyebab maraknya angka kenalakan di jalan yang memakan korban.

“Jadi istilah klitih yang asal bacok sebenarnya tidak dominan. Kebanyakan justru motif saling serang dan balas dendam anak geng ini,” papar dosen sosiologi UGM ini.

Hal itu sesuai dengan pendapat Dimas bahwa kebanyakan serangan terjadi antargeng. Meski tidak memungkiri kerap terjadi salah sasaran.

Geng yang anggotanya bukan anak sekolah atau alumnus, menurut Dimas datang dari beragam latarbelakang. Ada yang mulanya geng kampung lalu bertumbuh besar, ada pula pecahan dari geng sayap partai politik. Beberapa kelompok non-sekolah ini punya rivalitas dengan geng anak SMA.

Setiap geng memang punya aturan dan karakter yang berbeda-beda dalam mengatur anggota dan melancarkan aksi. Geng SMP misalnya, menurut Dimas belum terlalu banyak menggunakan senjata tajam. Mereka juga sering mubeng, namun angka tawurannya tidak setinggi SMA.

“Intinya memang  anak SMP secara nyali dan penggunaan senjata tajam belum seperti anak SMA,” papar Dimas.

Saling coret vandal antar geng di Jogja (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ujian di Kuburan Cina Gunung Sempu

Saat bergabung dengan geng SMA, Dimas tidak perlu melalui proses uji mental berupa sparing antar anggota. Namun, saat di jenjang SMP, ia pernah menjalaninya. Anak-anak yang usianya masih 12-15 tahun ini, perlu melatih kekuatan mental dengan berkelahi.

Saya juga sempat berbincang John* (23) yang sempat bergabung dengan salah satu geng SMP masyhur di Jogja yakni MIZOH. Ia menjalani masa SMP pada medio 2012-2015.

“Masa-masa itu berbeda dengan sekarang. Tawuran terang-terangan di siang hari masih sering kejadian di Jogja. Terutama karena banyak event futsal antar sekolah,” kenangnya.

Bergabung dengan MIZOH jadi jalan yang John pilih agar bisa lebih mudah bersosialisasi dengan rekan. Ia mengenang, dulu mayoritas siswa di sana bergabung dengan geng.

“Kalau yang aku amati dulu, cowok yang nggak ikut kok terlihat terpojok dan nggak ada teman. Bisa dikatakan, 60 persen cowok di setiap kelas ikutan,” terangnya.

MIZOH di matanya, saat itu, merupakan salah satu geng SMP kuat di wilayah Kota Jogja bagian barat. Menurutnya, banyak sekolah yang lebih memilih tidak mencari masalah dengan geng ini.

“Walaupun yang berani ya ada. Ya ribut akhirnya,” ujarnya tertawa.

Berawal dari ajakan untuk nongkrong, John akhirnya mendapat tawaran untuk masuk geng. Mulanya ia bergabung dalam forum kelompok itu. Ia mendapat penjelasan bahwa harus mengikuti sebuah ujian.

“Mereka mengajakku berangkat ke Gunung Sempu, pemakaman Cina itu, sore sepulang sekolah,” ujarnya.

Berkelahi dengan teman untuk uji mental

Sempat ragu, namun ia yakinkan diri untuk menjalani proses itu. Sore harinya ia berangkat ke daerah di Kasihan, Bantul itu bersama sejumlah temannya. Mereka memilihkan lawan tanding bagi John.

Perkelahian pun terjadi. Tidak ada kata berhenti sampai salah satu di antara mereka terkapar di tanah. Jatuh dan tidak mau bangkit baik sengaja maupun karena sudah tidak kuat lagi, merupakan tanda menyerah. Saat itu terjadi perkelahian harus berhenti.

“Ya sudah, ketika jatuh aku diangkat. Kalah menang nggak masalah. Intinya itu momen uji mental saja,” terangnya.

Badannya memar-memar. Namun malam harinya, ia langsung nongkrong kembali. Saat itu, kebetulan jadi hari ulang tahun salah satu pentolan gengnya. Sekitar jam 11 malam mereka mabuk di sudut Alun-alun Utara.

“Lewat tengah malam akhirnya kami mubeng. Mau ngedrop tongkrongannya ZEKOTOE. Ya padahal awakku masih pegel-pegel tenan,” katanya tertawa.

Saat itu ia langsung mendapat tugas sebagai fighter. Bukan semata karena ia kuat, melainkan teman dekatnya berbadan lebih besar, sehingga lebih baik menjadi jongki. Fighter perlu lincah berlari.

Kondisnya mabuk sehingga ia lupa sebagian besar momen mubeng pertamanya. Ia hanya mengenang, di sekitar Kantor Samsat Jogja, Bumijo, mereka tercegat polisi. Beruntung, John dan rombongan berhasil kabur.

Momen besar geng SMP

Aktivitas John sebagai anggota geng, berkutat pada tiga hal, nongkrong, mubeng, dan ngedrop lawan. Menurutnya, kegiatan besar yang sarat kekerasan biasa dilakukan pada momen-momen tertentu.

“Biasanya mubeng itu yang rutin habis acara besar. Misalnya habis UTS, UAS, ulang tahun geng, sampai ulang tahun salah satu pentolan,” terangnya.

Namun, sesekali MIZOH juga merespons pancingan yang lawan berikan. Misalnya, jika ada yang menutup vandal MZH dengan coretan bertanda geng lain. Bisa juga berupa ajakan untuk duel, antara jago sparing satu geng dengan geng lain.

“Tapi ya memang biasanya nggak pakai banyak senjata. Cuma apa sih, paling sajam kecil-kecil. Pedang pun tumpul,” paparnya.

Ia mengamati bahwa saat ini sudah terjadi sedikit pergeseran tren di kalangan geng pelajar Jogja. Ada beberapa penyebab, mulai dari pelarangan sejumlah event futsal yang dulunya menyita perhatian para siswa hingga semakin ketatnya aturan sekolah.

Sanksi bagi siswa yang ketahuan terlibat aktivitas geng pun semakin berat. Risiko dikeluarkan membayangi mereka yang ketahuan meresahkan dan saling sikat di jalan.

Perubahan tren geng sekolah di Jogja

Kondisi-kondisi itu mendorong perubahan tren kenakalan anak geng di Jogja. Sebelum 2015, banyak terjadi kasus tawuran di siang hari. Pertikaian itu bahkan terjadi di depan area sekolah.

Selain pertikaian sepulang sekolah, event futsal jadi salah satu pemantik adanya tawuran antargeng. Pada 2016 silam misalnya, kompetisi TJ PAF Regional Sleman akhirnya berhenti bergulir setelah beberapa siswa SMKN 1 Cangkringan menjadi korban kekerasan.

Pada medio 2012-2015, kompetisi futsal yang biasanya berlangsung di Gor Amongrogo itu jadi ajang berkumpulnya suporter antar-sekolah. Tribun GOR bisa penuh pada pertandingan yang melibatkan sejumlah SMA besar. Saat pulang, friksi sering terjadi di jalan.

Menurut penuturan narasumber Mojok, mulai masifnya penyebaran informasi lewat media sosial juga membuat mereka khawatir untuk melakukan aksi di siang hari. Akhirnya, mereka memilih waktu malam untuk saling serang.

Narasumber pertama Mojok, Dimas, menuturkan bahwa gengnya memutuskan mengendurkan sedikit intensitas mubeng dan tawuran saat terjadi kasus viral yang menyita perhatian. Saat itu terjadi sorotan semua pihak tertuju pada kekerasan remaja di jalan.

“Sekarang kan sithik-sithik viral. Kami juga terdampak. Akhirnya ya harus bisa tahu waktu. Ada masanya mengurangi dulu,” paparnya.

Hal itu juga membuat mendorong kekerasan antargeng biasanya terjadi lewat tengah malam sampai subuh. Mereka fokus pada area-area sepi seperti jalur Ring Road hingga Jalan Magelang utara Terminal Jombor.

“Pokoknya kami kalau aksi ya malam. Mungkin ada yang siang hari, tapi risiko ketangkapnya besar,” ujarnya.

Mengakhiri siklus kekerasan geng sekolah

Dimas mengungkapkan, sulit untuk mengakhiri tradisi geng ini. Geng yang pamornya meredup pun bisa kembali aktif saat ada angkatan baru yang menggerakkan.

“Berhenti itu kalau sudah nggak ada penerus atau anggotanya sekali. Geng yang vakum pun bisa hidup lagi kalau nanti ada yang menggerakkan kembali. Nama dan sejarah geng udah melekat ke sekolah,” paparnya.

Peneliti penyusun Kajian Kenakalan Anak di Jalanan di DIY 2022 mengadakan Forum Group Discussion dengan perwakilan guru dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan DIY untuk memetakan penyebab kondisi ini.

Mereka menemukan sejumlah faktor penyebab. Dari sisi internal keluarga, mereka menemukan banyak pelaku yang berasal dari kondisi keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang tidak mampu mengawasi anak, hingga kurangnya perhatian dan kebersamaan antara orang tua dengan anak.

Sementara itu dari pihak sekolah, ada kecenderungan guru hanya fokus dengan tanggung jawab mengajar di kelas. Sehingga luput dari persoalan karakter siswanya.

Berlanjut pada kecenderungan peran pertemanan dan lingkungan yang jauh melebihi guru dan orang tua. Di sisi lain, penegakan aturan oleh pihak berwenang juga tidak secara kontinyu.

Peran sekolah, keluarga, dan masyarakat

Sosiolog Andreas Budi Widyanta melihat bahwa tidak ada jalan cepat untuk mengentaskan persoalan kenalakan anak di jalanan. Baginya, pengentasan persoalan ini, di luar aspek penegakkan hukum, memerlukan peran sekolah, keluarga, dan masyarakat.

“Banyak anak yang di ranah keluarga mengalami defisit afeksi, di sekolah merasa tertekan, lalu di masyarakat mendapat stigma. Sehingga, itu meluap di jalanan dalam bentuk kenakalan,” papar Andreas.

“Kita tidak bisa menyalahkan situasi ini kepada satu entitas saja,” ia menambahkan.

Sebelumnya, pihak Polda DIY yang telah melakukan pemetaan geng sekolah juga mengaku tidak bisa memonitor seluruh jalan di Jogja. Langkah penegakkan hukum terus berusaha dilakukan namun butuh bantuan pihak keluarga. Selain itu peran masyarakat dalam melakukan pengawasan lingkungan juga penting. 

Sebenarnya kondisi ini kekerasan di jalanan, menurut Andreas, terjadi di sejumlah daerah lain. Namun, Jogja sebaga barometer pendidikan mendapat sorotan lebih. Sehingga, upaya untuk mereduksi kenakalan anak di jalan, meski tidak bisa singkat, perlu terus upaya bersama.

*)Nama narasumber kami samarkan atas untuk menjaga privasi.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Akar Klitih di Jogja: Kejahatan Jalanan Berdarah Tak Berkesudahan dan tulisan menarik lainnya di kanal Jogja Bawah Tanah.

 

Exit mobile version