Hidup di Jalur Sesar Opak Bantul, 17 Tahun Tak Berani Tidur di Kamar Akibat Ancaman Gempa

Ilustrasi Hidup di Jalur Sesar Opak Bantul, 17 Tahun Tak Berani Tidur di Kamar Akibat Ancaman Gempa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Hidup di sekitar Sesar Opak membawa ketakutan tersendiri bagi warga Bantul. Mereka masih trauma kejadian kelam 2006. Belakangan, BMKG mewanti-wanti adanya peningkatan aktivitas di patahan yang membahayakan.

***

Sukirzin (61) terhenyak dari tidurnya saat saya mendekat. Lelaki paruh baya ini langsung menata bantal yang tergeletak di atas kasur tipis yang beralaskan dipan kursi panjang. Di situlah, ia setiap hari beristirahat.

Padahal, ia punya rumah dengan kamar-kamar yang layak. Di samping rumahnya, ada kediaman sang anak yang tidak kekurangan ruang. Namun, ia memilih untuk selalu memejamkan matanya di luar ruangan.

Rumah Kirzin terletak di Dusun Blawong, Trimulyo, Jetis, Bantul. Tak sampai 100 meter di sisi barat kediamannya, terdapat aliran Sungai Opak. Sekitar aliran sungai ini, sejak 2006, dikenal sebagai area Sesar Opak yang membentang sekitar 45 kilometer dari pantai selatan Bantul sampai Prambanan.

Sesar Opak kembali aktif terdorong gerakan dari lempeng di laut selatan Jawa pada 2006. Hingga kini, patahan ini dikenal aktif dan membuat area yang dilewatinya berisiko tinggi terkena dampak gempa.

Kirzin beranjak dari dipan dan mengajak saya duduk bersama di teras rumahnya. Langkahnya gontai, ada hal yang tak bisa pulih seutuhnya sejak gempa 27 Mei 2006 silam.

Hampir semua rumah di Dusun Blawong merupakan bangunan baru konstruksi pasca-gempa 2006. Rumah Kirzin pun dulu runtuh nyaris tak tersisa. Saat itu, ia tinggal di rumah bersama istrinya, Susanti (59) dan anak bungsunya.

“Saya ingat betul. Hari Rabu anak saya yang besar baru akad. Lalu bermalam di rumah mertua sampai Sabtu pagi. Jam enam kurang lima belas, ada gempa,” kenangnya.

Selamatkan anak, belasan tahun tak berani tidur di rumah

Sabtu pagi saat subuh, Kirzin sudah bangun. Membantu istrinya menyiapkan dagangan soto yang jadi sumber penghidupan keluarganya. Sementara anak bungsunya masih terlelap.

Suasana tiba-tiba berubah jadi kepanikan, saat suara gemuruh terdengar, disusul adanya getaran yang menggerakkan tanah. Bukan sekadar bergetar, dataran benar-benar bergoyang vertikal dan horizontal.

“Orang-orang pada lari. Mereka yang bawa motor jatuh bergelimpangan di jalan,” kata Kirzin mengorek memori.

Ia sebenarnya bisa lari menyelamatkan diri dengan segera. Namun, tiba-tiba ingat anak kecilnya yang saat itu masih duduk di bangku TK, sedang tertidur pulas di kamar. Ia segera menyusul ke dalam menggeret buah hatinya untuk keluar rumah.

Semua terjadi sangat cepat. Goncangan semakin kencang, tiba-tiba saja atap rumahnya ambruk. Hitungan detik, anak berhasil ia rengkuh, tapi Kirzin tak bisa menghindari material yang jatuh menimpa tulang bahunya. Krek…patah.

Dalam kondisi itu, ia masih sempat lari keluar rumah. Namun, kembali tergelincir karena kondisi permukaan tanah yang sudah tidak karuan. Ia kembali mengalami penderitaan, kala itu, tulang di selangkangannya juga retak.

Sebulan Kirzin menginap di rumah sakit. Di rawat dengan kondisi seadanya, bahkan rebah di kasur tanpa dipan di lantai rumah sakit lantaran banyaknya korban.

“Dusun sini yang meninggal enam. Kalau yang luka-luka, banyak sampai nggak bisa hitung,” ucapnya bergetar.

Setelah pulih, Kirzin mengalami trauma berat. Ia tak pernah tidur di dalam rumah lantaran selalu terbayang gempa. Ia memilih tidur di dipan di depan rumahnya. Khawatir tak bisa menyelamatkan diri jika bencana itu datang di tengah malam saat ia terlelap. 

Kirzin di dipan tempatnya tidur sehari-hari, Kamis (4/8/2023). Trauma membuatnya tidak berani tidur di dalam rumah. MOJOK.CO
Kirzin di dipan tempatnya tidur sehari-hari, Kamis (4/8/2023). Trauma membuatnya tidak berani tidur di dalam rumah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Kala itu, data BPBD Bantul melaporkan sebanyak 4143 korban tewas di wilayah Bantul, serta mencatat 71.763 rumah rusak total, 71.372 rumah rusak berat, 66.359 rumah rusak ringan. Ini menjadi salah satu bencana alam dengan korban jiwa terbanyak di Indonesia.

Hidup di jalur Sesar Opak

Permukiman warga di jalur Sesar Opak mengalami dampak paling parah dari gempa Jogja 2006. Gempa kala itu memang terpusat di patahan yang berada di daratan sekitar Pundong, Bantul ke arah timur laut. Bantul sisi barat tidak mengalami dampak separah itu.

Bayang-bayang ancaman gempa terus menghantui warga di kawasan itu. Pada Jumat (30/5/2023) lalu misalnya, terjadi goncangan berkekuatan magnitude 6,6 yang mengguncang wilayah Jogja jam 19.57. Pusatnya berada 94 kilometer di selatan Bantul dengan kedalaman 12 kilometer.

Gempa itu sempat membuat Kirzin panik. “Saya sampai lari ke jalan. Sampai menggak-menggok larinya. Lumayan besar,” ujarnya.

Sarbini (43) warga Blawong juga mengaku merasakan ketakutan yang sama. Saat gempa 2006 terjadi, ia sedang buang air besar di tepi Sungai Opak. Ia kaget, saat tiba-tiba ada suara gemuruh dari dalam sungai. Kemudian muncul gelembung-gelembung udara muncul sepanjang aliran sungai.

Ia langsung melarikan diri menjauhi sungai. “Saat itu sungai ada suara krocok-krocok, seperti airnya mengalir ke bawah tanah. Ngeri sekali,” kenangnya.

Setahun awal pasca-bencana, Sarbini ingat warga di kampungnya, terutama para lansia tidak berani tidur di rumah meski bangunan sudah mulai direhabilitasi. Banyak warga bermalam di teras karena masih ketakutan.

“Kekhawatiran itu sampai sekarang masih ada. Kalau ada gempa kecil saja panik,” katanya.

Salah satu hal yang sedikit membuatnya tenang adalah konstruksi bangunan yang sudah jauh lebih baik. Dulu, rumah keluarga lelaki ini rata dengan tanah.

“Setelah gempa itu, bangunan lebih kuat. Besi pondasinya lebih besar, ditanamnya lebih dalam. Semuanya pakai ring besi pengikat bawah sama atas. Dulu sebelum gempa kan bawahnya saja,” katanya sambil menunjuk bangunan rumahnya yang berdinding bata merah tanpa dicat.

Getaran lokal dan suara dari dalam tanah

Setelah berbincang dengan warga di bantaran Sungai Opak, Blawong, Jetis, saya meneruskan perjalanan ke selatan. Menuju Tempuran Opak, pertemuan Sungai Opak dengan Sungai Oyo yang konon merupakan titik pusat gempa 2006.

Sekitar 400 meter dari pertemuan dua sungai itu, berdiri Monumen Gempa Potrobayan. Monumen yang terletak di Dusun Potrobayan, Srihardono, Pundong, Bantul ini dibangun pada 2016 silam, memperingati momen satu dekade gempa Jogja.

Di dekat Tempuran Opak, saya berbincang Suyamti (53), warga setempat yang jadi saksi bencana hebat dari dekat titik pusatnya. Saat itu jelas, semua rumah di sekitar sini luluh lantak.

“Aku nggak mau ingat-ingat itu lagi. Aku sampai nggak bisa berdiri jatuh tengkurap di dekat pintu. Keluarga pada lari, aku nangis sendiri,” kenangnya.

Suyamti bercerita, kalau ia beberapa kali merasakan getaran lokal di sekitar dusunnya beberapa tahun pasca gempa 2006. Namun, ia heran, mengapa di tidak ada berita mengenai getaran itu.

“Kalau ada berita, itu berarti gempanya dari laut. Kalau nggak ada berarti dari sini dan kecil,” katanya menyimpulkan.

Kejadian ganjil juga sempat terjadi di Imogiri, Bantul. Sejumlah warga melaporkan adanya dentuman dari dalam bumi. Bahkan ada yang mengaku mendengarnya 12 kali dalam sehari pada 2014 silam.

Lokasi tempuran atau pertemuan dua sungai yang diperkirakan menjadi pusat gempa Jogja 2006. Foto diambil, Kamis (4/8/2023) (Foto oleh Hammam Izzuddin/Mojok.co).

Melansir Tribun Jogja, Anang, warga Selopamioro, Imogiri bercerita sering mendengarkan getaran cukup keras seperti dentuman dari dalam tanah. Hal itu ia sampaikan pada 2014.

Sejumlah warga yang mendengar dentuman serupa, biasanya pergi ke atas Bukit Selopamioro. Wilayah itu memang berada di kawasan perbukitan dan dekat aliran Sungai Oya.

“Penasaran. Selain itu kami juga khawatir kalau suatu saat ambles,” kata Anang.

Sesar Opak rentan mengalami pergerakan

Ahli geologi UPN Veteran Yogyakarta, Dr Ir Carolus Prasetyadi MSc kepada Mojok menerangkan bahwa fenomena-fenomena tersebut memang bisa warga sekitar Sesar Opak alami. Menurutnya, area tersebut bukan sebuah jalur tunggal, tapi punya banyak segmentasi.

“Seperti ada rambutnya, di titik-titik rambut atau segmentasi itu ada zona-zona lemah yang rentan,” terangnya saat Mojok hubungi Jumat (4/8/2023).

Baik suara maupun gempa lokal kemungkinan terjadi di area-area lemah tersebut. Sebab, Sesar Opak lebih rentan mengalami pergerakan ketika ada pergerakan lempeng di selatan Pulau Jawa.

Meskipun terbilang kecil, Sesar Opak yang menjadi titik rawan karena zona pergeseran yang ada di patahan memiliki kedalaman yang relatif dangkal. Jika terjadi pergeseran di area tersebut, maka goncangan yang warga rasakan cukup besar.

Mengenal lebih jauh Sesar Opak

Prasetyadi menambahkan, Sesar Opak sebenarnya merupakan patahan yang sudah lama ada. Di Jogja sendiri ada beberapa patahan serupa seperti di Kulon Progo. Namun, sesar lain sudah puluhan tahun tidak mengalami pergerakan.

“Kalau Opak, patahan itu ternyata aktif, tergerakkan kembali oleh penunjaman lempeng dari selatan Pulau Jawa pada 2006 lalu,” paparnya.

Dinamika gempa bumi di Jogja, menurut Prasetyadi bersumber di pergerakan lempeng di selatan Jawa. Keberadaan Sesar Opak membuat pergerakan di lokasi yang jauh dari daratan itu bisa menimbulkan bahaya lebih besar di Bantul dan sekitarnya.

BMKG mencatat Sesar Opak berpotensi memicu gempa magnitudo 6,6 dan membuat Bantul mengalami kerusakan jauh lebih besar dari kabupaten lain. Tingkat kerusakan gempa tidak berdasarkan kekuatan magnitudonya saja atau jarak dari pusat gempa. Namun, karakteristik tanah setempat sangat menentukan seberapa fatal gempa terjadi. 

Hal ini terjadi karena karakteristik tanah di Bantul cenderung gembur, lunak dan berpasir laiknya agar-agar. Tanah di wilayah barat Sungai Opak berkarakteristik lunak akibat proses tektonik sebutannya Graben yaitu wilayah yang berada pada apitan bukit patahan.

Karenanya bila arus konveksi di dalam bumi terjadi dorongan secara terus menerus dari lempeng Australia maka khawatirnya akan terjadi gempa besar di Jawa. 

Peningkatan aktivitas sesar yang perlu diwaspadai

Belakangan, BMKG juga mewanti-wanti adanya peningkatan aktivitas di Sesar Opak yang perlu menjadi perhatian warga. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menerangkan kenaikan aktivitas Sesar Opak tampak dari monitoring gempa bumi oleh BMKG.

“Ternyata membentuk kluster aktivitas kegempaannya yang sangat aktif dan intensif,” paparnya kepada Mojok, Sabtu (5/8/2023).

Daryono mengingatkan potensi bahaya dengan sesar tersebut karena memiliki magnitudo tertarget mencapai 6,6. Jika menilik gempa 2006, magnitude gempa lebih kecil yakni 6,4. Pusat gempa di daratan dan kedalaman yang relatif dangkal membuatnya sangat berbahaya.

Ia juga mengamini bahwa di sekitar jalur patahan kerap terjadi gempa. Banyak gempa dengan magnitudo kecil yang sama sekali tidak warga rasakan. Namun, pada kondisi tertentu, gempa bisa warga lokal rasakan di sekitar sesar.

“Hal itu karena kedalaman hiposenternya yang dangkal,” tegasnya.

Perhatian pada Sesar Opak membuat Jogja terpilih menjadi lokasi pelaksanaan ASEAN Disaster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX) 2023. Sesar ini juga menjadi tema utama pembahasan dalam agenda penting kebencanaan di Asia Tenggara lalu.

Antisipasi warga

Mengenai kondisi ini, Daryono mengajak warga untuk terus waspada dengan menggencarkan kegiatan mitigasi berkelanjutan. Salah satunya terkait keterampilan menyelamatkan diri saat terjadi gempa.

Selain itu, komponen utama mitigasi gempa terletak pada konstruksi bangunan. Gempa dengan magnitudo 6,0 30 Juni 2023 lalu hanya menyebabkan kerusakan ringan di sejumlah titik Bantul dan Gunungkidul.

“Ini salah satunya berkat antisipasi struktur bangunan yang cukup baik pasca gempa Bantul 2006,” kata Daryono.

Senada, Prasetyadi menegaskan konstruksi bangunan menjadi hal paling penting dalam mitigasi gempa bumi. Bangunan menjadi penyebab terbanyak jatuhnya korban jiwa saat adanya bencana ini.

Bagian nelakang rumah Kirzin merupakan Sungai Opak, yang menjadi jalur sesar opak. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Di negara maju seperti Jepang, building code yang memenuhi syarat kegempaan sudah ditegakkan betul. Kalau di sini, saya lihat belum ada policy yang mengaturnya,” katanya.

Prasetyadi mengingatkan, keberadaan Sesar Opak membawa dampak turunan selain gempa bumi. Likuifaksi tanah merupakan salah satu yang perlu jadi perhatian. Sejumlah penelitian menunjukkan, beberapa desa di Bantul punya tingkat kerawanan tinggi akan likuifaksi.

Daerah di Bantul dengan muka air tanah yang dangkal paling rawan dengan bahaya tersebut. Jika daerah tersebut dekat dengan patahan sekaligus memiliki muka air tanah dangkal, maka potensi likuifaksi saat terjadi gempa bumi tergolong tinggi.

“Parameternya itu jauh dekatnya dengan patahan, kemudian muka air tanahnya dangkal atau tidak. Kalau dua-duanya masuk maka sangat rawan,” pungkasnya.

Situasi ini membuatnya berharap warga bisa proaktif dalam urusan mitigasi bencana. Tidak sekadar menunggu prediksi dari para ahli untuk mempersiapkan diri.

“Terkadang kita masih reaktif. Artinya, kita masih khawatir kapan terjadinya gempa. Kalau ahli mengatakan jangan khawatir, yaudah dia abai. Karena dia reaktif. Baru setelah kejadian dia sadar,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editoer: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Kampung Ahli Sumur di Jogja yang Mendadak Ditinggal Laki-laki Usai Gempa 2006

Cek berita dan artikel lainnya di Google News



Exit mobile version