Indekos ‘Las Vegas’ atau biasa disebut kos LV bisa dengan mudah ditemukan di Jogja. Para penghuninya beralasan tak ingin dikekang berbagai macam aturan. Terutama saat membawa pacar atau pasangan ke kamar. Mojok membuat dua seri liputan tentang fenomena ini. Edisi pertama memuat alasan orang-orang memilih kos yang tak memiliki aturan khusus ini.
***
“Aku betah di sini soalnya induk semang nggak tinggal satu bangunan. Jadi lebih bebas aja. Mau bawa teman masuk kamar juga nggak kelihatan. Kalau ketahuan biasanya cuma dibilangin aja sih,” kata Revina (27) penghuni kos LV di kawasan Babarsari, Sleman. Sejak datang ke Yogyakarta tiga tahun lalu, kos LV jadi tempat yang dicarinya. Ingin dapat kebebasan jadi alasan utamanya.
Alasan serupa juga diungkapkan Farel (30) yang bertahun-tahun menjadikan kos LV sebagai tempat tinggalnya di Yogyakarta. Ia memiliki kebebasan tinggal bersama pacar tanpa dilarang oleh pemilik. “Ngirit biaya hotel,” kata Farel yang tinggal di daerah Klitren, Kota Yogyakarta.
Macam-macam kos di Jogja
Jayadi Kastari (50) salah satu pendiri Info Kos Jogja yang berisi pemilik indekos non-LV di Jogja menjelaskan tentang berbagai jenis kos dalam khazanah dunia indekos di Yogyakarta.
Indekos biasa adalah kos dengan jam malam dan pengawasan ketat. Sementara kos bebas adalah kos dengan jam malam bebas, tapi penghuninya tidak boleh membawa lawan jenis masuk ke dalam kamar.
“Kos LV adalah kos dengan kebebasan mutlak. Penghuninya bebas melakukan apa saja,” kata Jayadi. Penghuni indekos bebas untuk menginapkan pacar, mabuk-mabukan, pokoknya ngapain aja boleh deh. Freedom!
Nah, kalau kos eksklusif itu lebih menitikberatkan kelengkapan fasilitas yang memberikan kenyamanan penghuninya. Tidak semua kos ekslusif adalah kos LV.
Istilah ‘Kos Las Vegas’ terutama populer di wilayah Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Mengapa disebut sebagai kos LV, itu merujuk pada julukan kota Las Vegas di Amerika Serikat yang disebut sebagai kota dosa. Menurut situs keuangan pribadi WalletHub, ada tujuh dosa mematikan di Las Vegas.
Saya mengetikkan keyword “Info kos LV Jogja” di Facebook. Hasil pencarian akan menampilkan berbagai grup Facebook bernama Info Kos LV Jogja. Satu grup info kos LV saja bisa menjaring minimal 30.000 pengikut. Padahal, grupnya baru saja dibikin September 2017. Sementara beberapa grup tanpa embel-embel kos LV dengan waktu pembuatan yang kurang lebih sama, pengikutnya baru terkumpul sekitar 1.000-3.000 orang.
Saya juga mencoba menyisir postingan di grup Info Kos Jogja (tanpa ada embel-embel LV ya). Di dalam postingan iklan kos biasa, selalu ada komentar semacam “Tapi masih boleh bawa pacar ke kamar nggak?” Selalu ada yang berharap aturan kos masih bisa dilonggarkan.
Aturan longgar, bahkan tidak ada aturan yang mengikat ini yang menjadi daya tarik pencari kos LV. Di Facebook kos LV ada macam ragam tawaran lama kos. Bisa harian, mingguan, bulanan. Bahkan ada yang ada yang menawarkan per 3 jam. Harga sewanya juga beragam mulai dari Rp100 ribu untuk sehari hingga Rp1 jutaan per bulan.
Kebebasan dan tanpa aturan yang mengikat itu yang dicari penghuni kos LV. Setidaknya itu diungkapkan Lubis, fresh graduate salah satu kampus di Jogja yang meminta namanya disamarkan dan saya temui belum lama ini di indekosnya, di kawasan Cokrodingratan. Lubis menemukan indekos tersebut di grup Facebook yang berisi para pencari kos LV berikut pemilik indekos dan perantara.
Saat itu ia masih di kampung halaman, Sumatera Barat. Usai lulus kuliah di Jogja, Lubis memutuskan untuk balik ke rumah, tapi tidak tahan karena lingkungan yang ia rasa sudah tidak cocok. Ia pun membulatkan tekad untuk kembali merantau ke Yogyakarta untuk mencari pekerjaan. Hal pertama yang ia pikirkan saat hendak ke Yogyakarta tentu saja adalah tempat tinggal.
Lubis pun berselancar dari satu grup Facebook ke yang lain, yang menyediakan informasi seputar indekos LV siap disewa. Di laman sebuah grup di Facebook, ia menuliskan kriteria tempat tinggal yang ia cari, mulai dari budget, area, dan terakhir: LV, bebas bawa teman lawan jenis atau pasangan.
Salah satu pemilik kos pun membalas unggahannya dengan sebuah info kamar kosong. Tak lupa, pemilik indekos itu memberikan nomor WhatsApp. Lubis pun menghubunginya lalu membuat janji untuk bertemu.
Sesudah mengecek kondisi indekos dan segala macam hal, Lubis bertanya apakah di indekos itu bebas atau tidak. “Iya, nggak apa-apa bawa teman cewek,” kata pemilik kos.
Lubis pun menyimpulkan bahwa kos tersebut semi LV, kendati pemilik kos tak pernah menyebutnya begitu, atau tak pernah membuat aturan tertulis soal “membawa pasangan”.
Adinda (28), sebut saja begitu, penghuni kos LV di daerah Pogung, mengatakan sebenarnya kosnya semi LV. Setiap ada pelanggaran seperti membawa lawan jenis masuk ke kamar atau penghuni mabuk-mabukan, induk semang hanya sebatas menasihati.
“Awalnya merasa terjebak soalnya aku anaknya lumayan ‘lurus’. Tapi lama-lama males pindah kos. Terus ternyata aku suka juga kok dengan rasa bebas selama aku di sini. Penghuninya cuek, nggak suka basa-basi, nanya-nanyain hal gak perlu yang ngabisin energi,” kata Dinda.
Alasan mahasiswa cari kos LV
Keberadaan kos LV ini jadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa yang kuliah di Jogja. Meski harus bersiasat di tengah aturan yang ada, baik dari pemilik indekos maupun dari masyarakat, kebebasan jadi alasan mereka mencari kos LV.
Salah satunya Jamila, bukan nama sebenarnya, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga yang kini menginjak masa akhir studi. Jamila tinggal di indekos putri di daerah Papringan, Depok, Sleman. Ia menyewa indekos itu sejak 2020, setelah dua kali pindah tempat tinggal.
Pada mulanya, Jamila menyewa indekos di belakang kampusnya, di daerah Ngentak Sapen. Spesifikasi indekos itu terbilang biasa-biasa saja. Dengan rate Rp3.000.000 per tahun, ia mendapatkan kamar kosong berukuran 3×3, kamar mandi luar, dapur, dan ruang tengah untuk berkumpul dengan teman-teman indekos yang dilengkapi TV.
Adapun peraturannya, bagi Jamila, cukup ketat. Ia dan teman-teman kos, misalnya, tak boleh membawa teman cowok ke kamar atau bahkan ruang tengah. Bila ada teman cowok yang berkunjung, ia hanya boleh nangkring di teras.
Jamila hidup di indekos itu selama dua tahun. Saat itu, baginya, tidak ada pilihan. Sebab, ia tak begitu tahu-menahu tentang dunia kos-kosan dengan beragam tipenya. Di sekitar UIN, sejauh yang ia tahu, hanya ada kos putra muslim dan kos putri muslimah.
Sebetulnya, Jamila nyaman dengan indekos itu. Namun, menginjak tahun ketiga, ia terpaksa pindah tempat tinggal. Alasannya, ia menjadi ketua sebuah organisasi mahasiswa. Karenanya ia harus menyewa rumah bersama teman-teman seorganisasi untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus pusat kegiatan.
Mengontrak sebuah rumah adalah pilihan yang paling wajar agar ia bisa menjalankan roda organisasi. Dengan tinggal di sekretariat, ia bisa berinteraksi dengan teman-teman seorganisasi tanpa dibatasi aturan-aturan dari induk semang, katakanlah, jam malam.
Jamila tinggal di rumah itu satu tahun lebih. Setelah menjabat sebagai ketua organisasi, ia dan teman-temannya memutuskan untuk mengakhiri kontrak rumah. Jamila pun harus mencari tempat tinggal baru.
Aturan hanya formalitas
Jamila ingin tinggal di indekos dengan aturan yang lebih lentur. Keinginannya pun mendapatkan jalan ketika ia berkunjung ke kos teman di daerah Papringan, Depok, Sleman, tempat tinggalnya saat ini. Saat main ke situ, ia melihat beberapa cowok dengan santai masuk kamar.
“Kos ini ‘bebas’, ya?” tanya Jamila.
“Iya,” jawab temannya.
Setelah mengulik spesifikasi dan harga indekos, Jamila pun merasa cocok. Satu kamar kosong berukuran relatif besar dibanding kamar lain pun menjadi pilihannya. Belakangan, ia tahu kalau kos itu ternyata tidak bebas-bebas amat.
Saat memindahkan barang dari rumah kontrakan yang lama, ia mendapati sejumlah aturan yang tertulis di selembar kertas HVS tertempel di pintu kamar barunya. Salah satunya, tidak boleh membawa teman lawan jenis masuk ke indekos.
Jamila pun merasa ganjil. Pasalnya, ia merasa tak salah lihat sewaktu mengunjungi kos temannya itu pada kali pertama; ia melihat cowok masuk ke wilayah ke indekos, bahkan masuk kamar. Ia lantas mengonfirmasi hal tersebut ke teman indekosnya.
Ternyata, aturan itu hanya sekadar formalitas. Teman kos Jamila di sana punya semacam kesepakatan tidak tertulis untuk mengabaikan aturan tersebut.
Meskipun demikian, beberapa kali induk semangnya mengomel karena mendapat laporan, entah dari mana, bahwa ada penyewa yang membawa cowok masuk ke indekos. Namun, bila ada omelan semacam itu, setiap anak kos mengaku tak pernah melihat cowok masuk.
Pada mulanya, pacar Jamila juga kaget ketika melihat aturan tertulis yang tertempel di kamarnya itu. Aturan tersebut ditulis dengan font berwarna merah, seolah menjadi aturan yang dilarang keras untuk dilanggar.
Namun, Jamila pun berkata bahwa aturan itu formalitas saja. Indekos dengan aturan lentur semacam itu menguntungkan mereka. “Kita kan kalo pacaran sering keluar jalan, makan, kalau capek, bisa istirahat di kos,” Jamila bercerita.
Namun, pacarnya tak pernah menginap di kosnya. Jika sudah larut malam, pacarnya mesti pulang. Sebab warga di sekitar indekos, kerap melakukan inspeksi mendadak. Pernah, suatu malam rombongan warga datang memasuki indekosnya. Jamila lantas kaget. Ia keluar dari kamarnya dan melihat kehebohan yang entah karena apa.
Menurut cerita warga itu, mereka melihat ada satu cowok yang masuk ke indekos. Kedatangan warga tersebut untuk memastikan kebenarannya. Namun, setelah diselidiki, ternyata warga tersebut salah lihat. “Sebenarnya yang dilihat warga itu cewek, tapi mungkin bagi warga gayanya agak tomboy, jadi dikira cowok,” cerita Jamila ke saya.
Dengan indekos seperti itu, Jamila dan pacarnya pun tak bisa merasa terlalu bebas. Kendati demikian, Jamila sudah merasa cukup puas dengan kos semacam itu. Kendati kadang-kadang harus bersikap awas, ia bersyukur mendapat indekos dengan aturan lentur dekat kampus.
Menghadapi aturan tak tertulis warga
Kendati bebas membawa masuk lawan jenis ke dalam kamar, bukan berarti penyewa kos semi LV macam Jamila dan Lubis bisa lepas siaga. Bisa saja pemilik indekos tak terlalu ambil pusing dengan kelakuan anak kosnya, tapi warga kerap bersikap lain. Ada aturan tak tertulis atau norma warga yang harus mereka hadapi.
Upi, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga tinggal di kos yang terbilang longgar. Di sebelah indekosnya yang baru itu, ada indekos untuk cowok yang pemiliknya sama dengan kos Upi. Kedua indekos itu disatukan dengan teras, parkiran dan tempat menjemur pakaian yang sama.
Kerap kali, penghuni kos cowok dan kos cewek itu nongkrong sampai larut malam di teras indekos. Upi juga bercerita kalau beberapa kali penghuni indekos cowok masuk ke kos cewek untuk masak bersama atau sebaliknya.
Karena kultur dan ruang kosnya yang sedemikian rupa, beberapa temannya pun tak sungkan untuk membawa teman cowoknya ke indekos. Upi sendiri sering membawa teman-teman organisasinya untuk berkumpul di kos.
“Soalnya dulu aku belum punya motor, jadi sekalian aja teman-teman yang lain kuajak ngumpul di kosku,” jelas Upi yang sejak 2021 menakhodai organisasi fakultas. Dengan sendirinya kosnya jadi tempat rapat organisasi jika dibutuhkan.
Aturan dan perlakuan tak enak dari warga yang dialami Upi adalah ketika penghuni indekos cewek berkumpul di teras indekos bersama penghuni kos cowok. Tiba-tiba, Upi mendengar teriakan dari warga “Woi jangan pada bikin mesum. Kalau mau mesum, aku ikut ya,” Upi menirukan omongan warga.
Tak kalah galak, Upi dan teman kosnya pun membalas, “Yaudah sini kalau mau ikut.”
Di lain waktu, Upi dan teman indekosnya juga pernah mendapat teguran dari salah seorang warga. Berbelit-belit warga tersebut memperingati Upi dan teman-temannya untuk menjaga perilaku. “Saya sih nggak apa-apa, tapi nggak enak dilihat warga,” kata Upi, menirukan omongan warga tersebut.
Di masa pandemi, pemilik indekos yang tertib aturan dihadapkan dilema. Menjadikan indekosnya yang semula tertib jadi LV adalah solusi agar kamar mereka cepat terisi. Liputan selanjutnya bisa dibaca esok hari.
Reporter: Sidratul Muntaha dan Salsabilla Annisa Azmi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Tidak Ada Batman di Babarsari Gotham City dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.