Ini bukan gimmick atau prank seperti yang dilakukan Awkarin saat beli hotel. Ini memang nyata adanya, banyak hotel di Yogya dijual.
Awalnya saya tergelitik dengan iklan sebuah homestay yang dijual di sebuah situs jual beli properti. Letaknya tak jauh dari rumah saya, berada di pinggiran kota.
Tak lama kemudian di beranda laptop saya bermunculan iklan-iklan homestay lainnya yang dijual. Bukan hanya homestay, tapi juga hotel-hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian bahkan berada di pusat Kota Yogyakarta.
Saya mencoba menghubungi teman saya, seorang agen properti, Christina Prihanto yang juga menjual sebuah hotel tak jauh dari Kota Bantul. Ia diminta membantu menawarakan dua bangunan hotel dengan model resort. Di tanah seluas 2.750 m2 itu dibangun 16 kamar, dua dapur, dua kolam renang, gazebo, dan meeting room. Hotel itu dibuka dengan tawaran Rp 22 miliar.
“Sejak awal pandemi pemiliknya balik ke Belanda, ga ada yang urus, jadi dijual,” kata pemilih Christine Agency ini. Selain hotel, sejak pandemi Christin juga diminta menjualkan beberapa kos-kosan yang dijual oleh pemiliknya.
Harga hotel yang ditawarkan oleh Christin setidaknya lebih murah dibandingkan hotel-hotel berbintang lainnya yang berada di tengah kota. Misalnya sebuah hotel di Jalan Kusumanegara dijual dengan harga Rp 97 miliar. Ada juga hotel bintang 4 yang tak jauh dari Tugu Yogya yang ditawarkan hingga Rp 950 miliar.
Saya sampai pusing sendiri melihat angka-angka yang ditawarkan di berbagai situs properti dengan kata kunci ‘hotel di jual’ di Yogyakarta . Angkanya berkisar mulai dari puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah. Kalau harga itu dirasa masih mahal, ada juga villa dan hotel-hotel kecil yang dijual di tengah Kota Yogya harganya kurang dari Rp 10 miliar. Saya tetap pusing menghitung nol di belakang angka itu.
Hotel bertahan di tengah kebijakan membingungkan pemerintah
Badan Pusat Statistik Provinsi DIY sendiri dalam Publikasi Tingkat Penghunian Kamar Hotel DIY Tahun 2019 melaporkan, tingkat hunian hotel di tahun itu mengalami kenaikan hingga 37,98 persen dibanding tahun sebelumnya. Publikasi itu dilakukan dengan cara sensus terhadap 163 hotel berbintang di DIY serta model sampling terhadap 332 hotel nonbintang di DIY.
Hasil publikasi tingkat hunian itu menunjukan tingkat hunian kamar tengah tumbuh bagus. Menurut data BPS DIY tercatata jumah wisatawan yang mengingap di hotel sebanyak 9,01 juta wisatawan.
Sejak tahun 2010-an pembangunan hotel-hotel di Yogyakarta memang sangat masif seiring banyaknya wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Bahkan Pemerintah Kota Yogyakarta sampai menerbitkan moratorium pembangunan hotel baru pada tahun 2014 yang kemudian diperbaruai pada Januari 2020.
Pemkot Yogyakarta melarang pembangunan hotel berbintang kecuali hotel bintang lima dan hotel bintang 4 dan homestay. Baru sebulan diperbarui, pandemi covid-19 menghantam dunia pariwisata, termasuk perhotelan di Yogya.
Suara di seberang telepon terdengar lantang. “Saya tidak menginformasikan seperti itu. Jadi kronologinya begini..,” kata Ketua Badan Pengurus Daerah Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono saat dihubungi mojok.co melalui sambungan telepon. Ia menjawab pertanyaan saya tentang adanya 30-50 hotel di Yogyakarta yang dijual oleh pemiliknya.
Menurut Deddy, 15 Maret 2020 setelah pemerintah mengumumkan kebijakan terkait pandemi Covid-19 di Indonesia, hotel-hotel secara otomatis menghentikan operasionalnya. Bulan berikutnya atau April 2020, sekitar 100 hotel dan restoran di Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan kepada PHRI kalau mereka menyatakan tutup sementara karena beratnya beban operasional.
“Di akhir tahun 2020, ada 50 hotel dan restoran menyatakan tutup permanen. Saya tidak menyatakan mereka dijual, tapi tutup permanen,” katanya. Menurut Deddy ia tidak tahu pasti berapa jumlah hotel yang dijual pemiliknya. Karena itu bukan ranah PHRI. Kalaupun ada yang dijual kenyataannya memang seperti itu. Jumlah 50 hotel dan restoran itu merupakan anggota PHRI. Menurutnya masih banyak hotel dan restoran di luar anggota PHRI yang juga menghentikan operasionalnya.
Hotel-hotel yang berhenti beroperasi itu sudah angkat tangan dengan biaya operasional yang tidak imbang dengan pemasukan. “Argo terus berjalan gitu loh…Bayar listrik, gaji, BPJS tetap bayar, sementara pemasukan sedikit,” kata Deddy.
Hotel-hotel dan restoran yang masih beroperasi lebih pada posisi bertahan agar tetap hidup. “Saat ini masih ada 180 hotel dan restoran anggota PHRI yang masih beroperasi, tentu dengan protokol kesehatan,” katanya masih dengan nada tinggi.
Di satu sisi mereka berupaya untuk mematuhi segala protokol kesehatan sesuai dengan keinginan pemerintah, namun di sisi lain pemerintah berubah-ubah dalam membuat kebijakan. Hotel-hotel anggota PHRI di Yogya setidaknya sudah melakukan tiga verifikasi dari tiga pihak untuk membut aman dan nyaman wisawatan yang datang.
Pertama verifikasi oleh pemerintah daerah, kemudian sertifikasi oleh Kementerian Pariwisata dan vaksinasi kepada pekerja di restoran dan hotel. Namun, proses tersebut terbentur dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.
Terbaru adanya larangan mudik. Menurut Deddy itu cukup membuat lemas pelaku wisata di Yogya, termasuk dunia perhotelan. “Ada tiga event tahunan yang jadi harapan perhotelan di Yogya, pertama libur Natal, tahun baru dan libur Lebaran. Itu bagi kami ibaratnya pasokan oksigen, selain masa long weekend, Imlek atau hari-hari besar nasional,” ujar Deddy.
Jangan Mudik, Ayo Piknik
Menurut Deddy, salah satu promosi yang dilakukan oleh PHRI DIY dengan membuat tagline ‘Jangan Mudik, Ayo Piknik’. Ini adalah respon dari PHRI DIY terhadap kebijakan pemerintah yang menurut mereka membingungkan.
“Ini respon terhadap kebijakan larangan mudik dari pemerintah pusat. Kami sudah meminta izin PHRI Pusat, wakil gubernur, sekretaris daerah, walikota. Mereka mempersilahkan asal protokol kesehata 5M tetap berjalan,” ujar Deddy. Protokol 5 M meliputi memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi.
Tagline promosi tersebut untuk menunjukan bahwa hotel dan restoran anggota PHRI siap menerima tamu dengan protokol kesehatan. “Jadi kalau mau piknik, menginap di hotel yang sudah ada protokol kesehatan, membuat acara silahturahmi di hotel atau restoran yang siap dengan protokol kesehatan, itu yang kami tangkap dari kebijakan pemerintah,” katanya.
Menurut Deddy, tagline ‘Jangan Mudik, Ayo Piknik’ itu kemudian digunakan juga oleh pelaku jasa pariwisata lain termasuk di luar daerah karena ini jadi upaya untuk tetap bertahan hidup di masa pandemi. Deddy mengingatkan, untuk menerapkan protokol kesehatan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, untuk bertahan hidup hotel-hotel menawarkan kamarnya dengan harga di bawah standar.
Hotel bintang 5 menjual kamarnya dengan harga hotel bintang tiga, hotel bintang tiga menjual dengan harga hotel nonbintang. “Yang kasihan hotel-hotel nonbintang, mereka sampai jual dengan harga kos-kosan,” kata Deddy. Tapi, ia tidak menyalahkan langkah yang ambil oleh hotel-hotel tersebut karena bagaimanapun itu adalah upaya untuk bertahan hidup.
“Yang penting ada cashflow. Kami juga mengapresiasi pemerintah yang masih menggunakan hotel-hotel untuk rapat-rapat dan kegiatan, itu memberikan sedikit napas,” kata Deddy.
Untuk diketahui, sesuai dengan aturan pemerintah, hotel-hotel saat ini hanya diperkenankan menggunakan 70 persen kapasitas hotel. Sehingga seperti libur long weekend, hotel tidak bisa menjual semua kamarnya karena protokol kesehatan.
“Wis, ayo ngopi nang hotelku, rasah sombong koe?” kata Deddy Pranowo yang juga pemilik Hotel Ruba Grha di Mangkuyudan. Lebih dari 15 tahun berteman dengannya, ancamannya selalu menyenangkan, meski ia dan teman-teman perhotelan dan restoran lainnya tengah menghadapi kebijakan pemerintah yang penuh ketidakpastian.
BACA JUGA Kisah Rumah yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja dan liputan Mojok lainnya.