Jamu Jun Wijoyo telah lahir sejak zaman prakemerdekaan. Jamu yang bentuknya seperti bubur ini dulu merupakan salah satu sumber vitamin buat para pejuang kemerdekaan.
***
Rabu, (9/2/2022) siang, saya melintas di Jalan Lampersari Raya, Lamper Kidul, Kota Semarang. Lalu lintas saat itu tak begitu ramai. Namun, terik matahari pukul 11.00 WIB terasa membakar kulit. Destinasi saya hari ini adalah mencicipi jamu unik yang buka di siang hari. Kenapa unik? Karena di Kota Semarang biasanya jamu dijajakan setiap pagi oleh ibu-ibu keliling menggunakan sepeda atau kendaraan roda dua, bukan siang hari.
Tempat jamu ini berada tepat di sudut jalan. Warungnya sederhana. Di depan warung terpasang banner berkelir merah dengan tulisan Es Gempol dan Jamu Jun “Wijoyo”. Ya, selain menjual jamu warung ini juga menjual es gempol. Soal jamu jun, saya sempat berpikir apakah “jun” yang dimaksud adalah nama si penjual atau nama merek jamu tersendiri. Rasa penasaran membawa saya melangkah masuk ke dalam warung jamu tersebut.
“Mau minum sini apa dibungkus mbak?” tanya seorang perempuan dengan nada ramah. Saya pun menjawab tawaran perempuan itu, dan memilih untuk menikmati jamu di tempat.
Tak ada pembeli lain yang minum di tempat selain saya siang itu. Namun, beberapa waktu kemudian pembeli mulai hilir mudik dan membeli Jamu Jun Wijoyo untuk dibawa pulang. Tak hanya satu bungkus, para pembeli minta dibungkuskan 3 sampai 5 kantong jamu.
Sembari menunggu, saya pun berbincang dengan Retno Asih (35) pemilik warung Jamu Jun Wijoyo yang tengah disibukkan dengan pesanannya. Mungkin Retno tahu kalau saya baru pertama kali membeli jamu di warungnya.
“Ya begini kondisi warung saya memang kecil, jadi harap dimaklumi ya nanti kalau ada pembeli lain yang minum di sini agak berdesakan,” ucap Retno sembari tersenyum.
Semangkuk jamu jun pesananan saya kemudian datang. Penyajiannya unik. Wadah jamu berupa mangkuk kecil seperti mangkuk soto lengkap sendok bebeknya. Tampilan jamunya juga sangat menarik: berwarna coklat dan bertekstur seperti bubur yang ditambahkan taburan bubuk merica di atasnya. Ya, betul, merica!
Tentu saja saya penasaran dengan rasanya. Begitu saya cicipi satu sendok jamu jun, aroma rempah terasa begitu tajam. Sensasi pedas, manis dan gurih bercampur menjadi satu di lidah. Teksturnya sangat lembut seperti bubur namun agak encer dan lumer di mulut. Tenggorokan saya langsung terasa hangat. Enak dan segar.
Semangkuk jamu jun tandas saya habiskan. Keringat langsung bercucuran. Saya pikir mungkin jamu ini lebih cocok jika disantap kala cuaca dingin atau malam hari. Pertanyaan di kepala saya pun semakin menjadi-jadi usai mencicipi jamu jun buatan Retno, sebenarnya yang dijual itu jamu atau bubur? Saya lantas bertanya langsung kepadanya.
Retno menceritakan, yang ia jual bukan jamu biasa, namun jamu jun yang resepnya ia dapat dari neneknya bernama Ruliyah. Neneknya merupakan generasi pertama penjual jamu jun di keluarga Retno. Masa muda Ruliyah dihabiskan dengan berjualan jamu jun keliling di sekitar Keraton Yogyakarta.
Menurut Retno, sang nenek dulu juga seorang abdi dalem keraton yang kerap menghidangkan sajian minum rempah kepada keluarga keraton. “Simbah saya itu dulu abdi dalem keraton dan sering membuatkan minuman rempah,” ungkap Retno.
Hasil olahan tangan Ruliyah tak hanya disajikan untuk keluarga keraton saja. Retno juga bercerita jika jamu jun buatan neneknya digemari masyarakat yang kala itu jadi pejuang kemerdekaan.
“Kata nenek saya, jamu jun populer di kalangan pejuang karena pada zaman perjuangan tidak ada vitamin atau suplemen seperti sekarang. Jadi tanaman herbal ada pada jamu jun menjadi obat lelah bagi para pejuang,” jelasnya.
Retno juga mengatakan, menurut cerita neneknya, di era sebelum merdeka, masih berlaku konsep barter. Dan jamu jun buatan Ruliyah kerap dibarter dengan bahan pangan seperti jagung, singkong hingga beras. “Mbah saya dulu cerita jamu buatannya sering ditukar bahan pangan oleh orang-orang yang jadi pejuang kemerdekaan,” tutur Retno.
Lebih lanjut Retno menuturkan, karena suatu hal sang nenek hijrah dari Yogyakarta ke Kota Semarang sekitar tahun 60-an. Untuk menyambung hidup di Semarang, Ruliyah menjajakan jamu jun dengan berkeliling.
Nama “jun” sendiri diambil dari nama kendi yang berleher panjang, orang jawa biasa menyebut kendi tersebut dengan kata jun. Jun digunakan sebagai wadah jamu untuk berjualan lantaran bisa menyimpan suhu panas cukup lama. Sehingga jamu yang dijajakan keliling tetap hangat tanpa menggunakan pemanas tambahan seperti kompor atau arang. Ada juga yang mengatakan kalau jamu jun berasal dari Demak. Di sana jamu jun disebut wedang coro.
“Kalau orang dulu seperti si mbah saya jualan jamu jun keliling, terus pakai kendi atau jun itu panasnya tahan lama,” tutur Retno.
Lebih lanjut, Retno juga menjelaskan resep turun temurun jamu jun yang diwariskan dari sang nenek Ruliyah. Jamu jun berbahan dasar tepung beras dan 18 jenis tanaman herbal diantaranya jahe, kapulaga, sereh, kayu manis, bungalawang, adas, cengkeh, merica hitam, pekak, gula jawa dan daun pandan.
Seiring berjalannya waktu, cara pembuatan jamu jun kini semakin praktis. Zaman dahulu memanggang puluhan rempah tersebut masih dengan cara manual, yakni dengan menggunakan lembaran seng yang dipanaskan diatas tungku, kini Retno bisa memanggang rempah dengan oven.
Selain itu, zaman neneknya dulu menghaluskan rempah dengan cara ditumbuk menggunakan alu. Retno kini biasa menghaluskan dengan blender atau gilingan.
“Rempah yang digunakan itu kan banyak ya, dan harus dikeringkan kemudian dihaluskan jadi serbuk. Kalau zaman si mbah semua serba manual dan bisa semalaman membuat satu kendi Jamu. Kalau sekarang ya saya buat paling lama 4 jam,” terang Retno.
Retno lantas mengungkapkan awal mula dirinya menjual jamu jun warisan dari Ruliyah sang nenek. Ia berjualan sejak tahun 2006. Generasi penjual jamu jun di keluarganya sempat mandek lantaran sang ibu enggan meneruskan. Retno kala itu masih berusia 18 tahun.
Namun, usai Retno lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), ia di tawari oleh sang nenek untuk meneruskan usahanya. Ia mengungkapkan banyak dari saudaranya yang tak mau meneruskan usaha sang nenek lantaran proses pembuatan jamu jun yang tidak mudah.
“Dulu ibu saya disuruh nerusin jualan tidak mau, kemudian saudara saya juga tidak mau. Akhirnya saya yang meneruskan jualan jamu jun sampai sekarang,” ungkap Retno.
Dalam satu hari Retno mampu menjual 100 mangkuk jamu jun. Satu porsi jamu jun ia banderol dengan harga Rp6 ribu. Warung Jamu jun miliknya buka dari pukul delapan pagi hingga setengah empat sore.
Selama lebih dari 15 tahun menjalankan bisnis warisan sang nenek, Jamu Jun Wijoyo kini telah memiliki pelanggan dari berbagai daerah. Salah satunya, seorang pelanggan yang kini telah tinggal di Singapura. Setiap kali pulang ke Semarang ia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke warung jamu jun milik Retno. Jika akan kembali lagi ke Singapura, pelanggan tersebut juga meminta Retno untuk membuatkan satu termos jamu jun untuk dibawa.
“Ada salah satu pembeli jamu jun saya, dia itu orang Semarang dapat suami orang Singapura. Kalau ke sini selalu minta dibuatkan satu termos jamu jun, katanya mau dibawa buat oleh-oleh kalau pulang lagi ke Singapura.”
Selama berjualan, pasang surut bisnis pernah ia rasakan. Salah satunya saat pandemi Covid-19. Penjualan jamu jun Retno sempat terpuruk ketika awal pandemi. Ia harus memutar otak, ketika kebijakan pembatasan diterapkan. Akhirnya Retno menjajakan jamu dengan cara online. “Awal pandemi saya jualan online jadi terima pesanan lewat WA atau GoSend, karena warung tutup nggak bisa jualan,” ucap Retno.
Jamu jun Wijoyo kini telah terbukti tetap bertahan melintasi berbagai tantangan zaman. Dari zaman perjuangan melawan penjajah hingga pandemi Covid-19. Retno Asih bertekad akan terus mempertahankan jamu jun dengan resep warisan dari sang nenek Ruliyah.
Reporter: Aninda Putri Kartika
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Ritual Mengatasi Masalah di Pantai Payangan Sebabkan 11 Orang Tewas dan liputan menarik lainnya di Susul.