Jalan Kaliurang yang Menyimpan Tawa dan Air Mata Seorang Mahasiswa

Jalan Kaliurang yang Menyimpan Air Mata Seorang Mahasiswa

Jalan Kaliurang yang dibangun tahun 1923 lebih banyak menyimpan air mata dan kesedihan di aspal-aspalnya dibandingkan Ring Road Selatan yang baru dibangun tahun 1990-an. Mojok mewancarai satu dari mungkin puluhan ribu mahasiswa yang menitipkan tawa dan air matanya untuk disimpan dalam memori jalan sepanjang 25 kilometer ini. 

***

Jerry (25) sebut saja begitu, seorang mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sastra Indonesia di sebuah kampus kerakyatan yang nyatanya nggak kerakyatan-kerakyatan amat bercerita tentang kisah cintanya. Di kampusnya dia adalah pengepul nilai E. 

Alih-alih membetulkan apa yang rusak, ia justru sibuk memegang buku Puthut EA di sebuah Indomaret yang berhadapan dengan Alfamart. Nahasnya lagi, saya ada di sampingnya saat itu, mendengar seluruh kisahnya.

Di sebuah jalan yang penuh dengan orang menjajakan barang. Pengamen dan pengemis yang juga tak kunjung sudah eksistensinya di hadapan kami. Motor-motor yang menuju arah utara untuk pelesir, maupun ke selatan untuk mengadu nasib. Di salah satu arteri jalanan Jogja yang akan mengantarkan Jerry ke sebuah tempat kudus bernama Gunung Merapi bersemayam, Jalan Kaliurang namanya.

Ia sudah beberapa hari berhenti menenggak alkohol karena Warung Ijo sudah ditutup untuk selamanya. Walau ia tahu bisa membeli alkohol di tempat lain—selain Warung Ijo tentu saja— kawan saya ini malah memutuskan untuk membaca buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. “Begitu juga dengan studi akademik ku, sama seperti cinta, tak pernah tepat waktu,” kata Jerry.

Tujuh tahun Jalan Kaliurang menjadi medium penyimpan luka baik itu batin, fisik, hingga hatinya. Apa saja pernah ia lalui di jalan yang bertabur warung makan ini, jalan yang tiap penggal kilometernya akan membawamu ke Hargobinangun yang terkenal dingin.

Jerry, pernah kecelakaan di jalan ini, ia juga pernah ditabrak ibu-ibu dan ia hanya mlengos pergi. Bahkan mantan pacarnya pernah menamparnya di sekitar Jalan Kaliurang. Kilometer 7,2 katanya dengan amat jelas dan detail. Kilometer yang akan ia ingat sampai mati ini adalah saksi bisu tamparan penuh emosi dan air mata malam itu.

“Sakit di pipi nggak seberapa, namun sakit di hati mak nyessss luar biasa,” kata Jerry, hasil olah ingatnya sembari menggulung kembali wisata masa lalu itu. Sedang matanya terus menerus menyapu halaman demi halaman Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.

Pertanyaannya muncul satu demi satu, namun hanya satu yang muncul ke permukaan, apakah Jalan Kaliurang sekeji itu? Lantas Jerry menjawab, “Aku punya kisah. Antara aku, dirinya, dan Jalan Kaliurang.”

Air mata di jalan yang dibangun tahun 1923

Entah sudah berapa liter air mata jatuh di jalan yang mulai dibangun pada tahun 1923 ini. Para muda-mudi tuna asmara, korban kejahatan jalanan yang nggak kunjung padam bara apinya, para pedagang yang lebih banyak tertidur ketimbang melayani pembeli, atau siapa saja, semua berhak menangis di jalan yang makin riuh pada saat Orde Baru.

Walau begitu, Jerry masih punya kisah yang hangat dengan Jalan Kaliurang. Kisah yang rasanya tak mungkin untuk dilupakan begitu saja. Kisah yang membawa luka, sekaligus pelajaran setelahnya. Hangat Kopi Klotok di kilometer enam belas, asap yang mengepul ketika malam saat kamu pesan, ditambah senyum manis perempuan yang selalu kamu dambakan, apa yang lebih sempurna dari itu semua?

“Jalan Kaliurang adalah jalan yang membuatku menangis untuk pertama kalinya aku singgah di Jogja,” kata Jerry. Lebih tepatnya pada 2016, ketika dirinya masih semester tiga. Jerry membawa perempuan yang ia damba sejak awal masuk kuliah. Kopi Klotok menjadi perantara, panasnya kopi justru membuat jiwanya hangat, menyadarkan bahwa mata indah yang sedang ada di hadapannya itu belum seutuhnya mau menjadi kekasihnya.

“Kami duduk di pinggiran Jalan Kaliurang. Dia sibuk bercerita, minum kopi, dan melepaskan senyumnya. Sedang saya sibuk melihat matanya, tahu-tahu aku menangis begitu saja,” ujar Jerry melihatku saat bercerita. Matanya menggambarkan rasa senang itu.

Jalan Kaliurang
Kopi Klotok di Jalan Kaliurang Km 16. Foto oleh Agung/Mojok.co

Dari cerita Jerry, lantas si perempuan itu bertanya kenapa dia menangis. Dengan lekas-lekas menyeka sisa air mata, lantas pandangannya menyapu Jalan Kaliurang Kilometer 12 yang sudah sepi, kamu menjawab nggak papa. “Mungkin Jalan Kaliurang, jika ia bisa mengekspresikan apa yang ia saksikan, ia akan tertawa sejadi-jadinya,” katanya.

Padahal, menurutnya, tangis tercipta lantaran seharusnya ia bisa membawa perempuan idaman itu ke tempat yang lebih hormat ketimbang ngopi di pinggiran jalan raya. “Tapi aku nggak begitu menyesal, sih. Jalan Kaliurang saat itu memang sedang tenang-tenangnya.”

Membelah panjangnya Jalan Kaliurang di saat hujan

Syahdunya hikayat-hikayat cinta yang Jerry baca dalam rangka mengikuti mata kuliah Sejarah Sastra Lama sebanyak 2 SKS itu, nggak ada apa-apanya ketimbang saat hujan di Jalan Kaliurang. Bau petrikor mungkin memang menyenangkan, namun baginya, ada satu lagi perihal saat-saat paling indah yang tak akan pernah ia lupakan, yakni tawa riangnya ketika kalian berteduh di Social Agency, Jalan Kaliurang Kilometer 8,5. “Semester enam yang menyenangkan,” terang Jerry.

Jerry ingin menunggu hujan lantaran tak membawa mantol saat itu, namun perempuan yang kini sudah jadi pacarnya itu malah ingin nrabas melanjutkan perjalanan. “Aku khawatir dia sakit, namun aku lebih khawatir ia nggak akan pernah tahu Jalan Kaliurang saat hujan itu amat menyenangkan,” katanya. Dengan motor matik yang usianya lebih banyak ketimbang jumlah semester yang sedang ia tempuh, hujan-hujan bukan lagi soal.

Ingat betul, pacarnya merentangkan tangannya. Di lihat dari spion, sembari ditemani sembribit hujan, senyum simpul berlayar seperti kapal yang baru lepas dari dermaga. “Jogja itu hanya Jalan Kaliurang bagiku, saat itu,” kata Jerry. Cerita demi cerita, singgah di telingaku. Bagi Jerry, jarak yang renggang antara satu bangjo dengan bangjo lainnya, membuat khusyuk untuk terus berkendara di jalan itu.

Satu tahun setelahnya. Motor matik Jerry masih sama. Suasana juga sama; hujan. Ban motor  dengan permukaan yang nyaris gundul itu menggelinding melintasi kilometer demi kilometer. Semua Nampak sama, nyaris sama. Bedanya hanya kini jok motor belakang itu tak terisi. Tangan kanannya mengendalikan gas, tangan kiri memegang pipi hasil tampar pacar, ah, maksudku, mantannya beberapa saat tadi. Seperti fitrahnya, Jalan Kaliurang jadi tempat Jerry membuang amarah.

Percabangan lalu lintas di kawasan Pakem Jalan Kaliurang. Foto oleh Mojok.co

Jalan Kaliurang yang membawa sepi tak berkesudahan

“Bertambahnya kilometer, adalah bertambahnya kesepian,” katanya. Jerry menyimpan buku yang sedang ia baca di depan Indomaret. Tangannya menyumpal satu bagian di buku itu, halaman 94 dan tercetak satu kalimat yang indah; kamu bukan pahlawan, tapi kamu orang yang mandiri. Jerry kembali bercerita, katanya makin besar kilometer jalan Kaliurang, makin sunyi dari hiruk pikuk manusia.

“Warung-warung makan semakin jarang. Jajanan pinggir jalan mungkin masih ada, namun tak seramai ketika di Jakal Bawah,” katanya lagi. Sepi Jalan Kaliurang atas, setara dengan dingin yang kian bertambah. Hotel melati juga berjejer, seakan mempersilakan pasangan-pasangan muda untuk singgah dan beradu peluh kapan saja. “Tapi Jakal tidak sepicik itu,” katanya meluruskan.

Jerry melihatku sesaat sebelum berkata, “Puthut EA pernah bilang dalam blog pribadinya, bahwa Jalan Kaliurang adalah jalan yang paling romantis.” Jerry terkekeh pelan, seakan melupakan bahwa buku yang sedang kamu baca adalah buku karyanya. Dengan nada yang paling kesal, kamu menambahkan, “Romantis jika punya pacar. Kalau enggak? Ya hanya gulungan aspal yang penuh melankoli!”

Saat itu langit gelap bukan hanya karena malam, namun juga mendung yang ikut campur di dalamnya. Ada kilat-kilat yang menambah riuh suasana mencekam. Nggak hanya sampai sana, suasana itu belum seberapa sampai kita tahu, Jerry sedang berdebat hebat dengan pacarnya. “Dia baru saja pulang bersama laki-laki lain. Katanya teman jurusan,” kenangnya.

Jerry tak bisa menahan amarah. Jakal Kilometer 7,2 pun tak bisa apa-apa. Tak bisa melerai, pula tak bisa menjelaskan bahwa ban motor pacarnya saat itu kebanan, daya pada ponsel nya habis, lantas ia bersua dengan kawannya di jalan dan membantu mengantarkan pulang. Jerry yang sudah kalap lantas mengatakan apapun yang bisa ia katakan.

“Tentu perempuan secerdas dia akan tersinggung dengan amarahku,” katanya lagi. Tamparan keras mendarat di pipinya bagian kiri. Pacarnya itu mengatakan kata-kata yang tak pernah kau bayangkan. “Kita selesai aja,” katanya, menirukan bagaimana mantan pacarnya saat memutuskan hubungan denganya. Hujan perlahan jatuh. Jerry mengambil kunci dan pergi sejauh-jauh yang ia bisa dari Jalan Kaliurang kilometer 7,2.

Jerry membelah Jalan Kaliurang dengan suasana yang berbeda. Kini jok motor belakang itu tak terisi. Tangan kanannya mengendalikan gas, tangan kiri memegang pipi hasil tampar mantan pacarnya. Minuman keras yang ia bawa dari Jogja dan suasana Kaliurang yang riuh rendah, membawnya ke sebuah kehancuran yang terstruktur. Kuliahnya, hidupnya, bahkan kesehatannya.

Jalan yang menanjak dengan jarak 25 kilometer memang membuatnya sedikit jera. “Berulang kali aku membawa pacarku melintasi Jalan Kaliurang, pada akhirnya aku masih nggak menyangka bahwa Jalan Kaliurang lah saksi usainya kisah kami,” katanya sambil tersenyum simpul.

Mungkin, di dalam otak Jerry, sedang mengingat betapa panasnya tamparan mantan pacarnya malam itu. Jakal bukan pelaku utama, ia hanya saksi dan sialnya ia tak bisa berbuat apa-apa.

BACA JUGA Antropologi dan Magi Melihat Santet yang Diduga Menyasar Seorang Bapak  dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version