Berbekal ilmu titen, Mbah Ngadimo menghijaukan alas Tlawah, Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, DIY yang dikenal angker. Awalnya apa yang ia lakukan selama puluhan tahun itu jadi ejekan. Kini sebuah mata air yang mati, kembali hidup, memberikan aliran air tanpa henti sepanjang tahun pada warga satu dusun.
***
Siang menjelang, sepeda motor tua Honda Win 100 yang saya pacu menaiki kawasan pegunungan zona Batur Agung Utara Gunungkidul, mesinnya tampak mulai terengah-engah. Medan jalan memang terus naik, panasnya mesin kendaraan sangat terasa di dua kaki. Sekitar 3 km sebelum embung Sriten di puncak Batur Agung Utara akhirnya kami sampai di rumah yang kami tuju.
Sebuah rumah sederhana berlantai tanah yang dibangun dengan meratakan separuh dari sebuah bukit batu kecil. Di bawahnya tampak sawah-sawah terasering teratur rapi. Sawah yang barusan dipanen dan mulai persiapan untuk ditanami kembali.
Pemandangan yang tersaji dari sini sungguh sangat luar biasa, lanskap Gunungkidul tampak terbentang sebatas mata memandang. Zona Ledoksari tengah hingga Pegunungan Seribu terbentang dan akhirnya bersatu dengan horizon langit selatan.
Ilmu titen yang berawal dari tanah tandus
Pria yang lahir tahun 1966 ini bernama Ngadimo. Setelah menikah dia berganti nama menjadi Rohim Budi Utomo. Alasannya, karena ada beberapa nama Ngadimo di desanya, sehingga untuk urusan administratif sering keliru. Namun, sampai sekarang nama akrabnya tetap Mbah Ngadimo.
Penampilan Mbah Ngadimo sangat sederhana, sehari-hari dia berprofesi sebagai petani dan pekebun. Bapak tiga anak Lulusan SMP kelahiran 4 April 1966 ini adalah warga Padukuhan Ngangkruk, Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul.
Dengan biaya sendiri, sejak tahun 1995, Mbah Ngadimo mulai menanam ratusan jenis pohon terutama beringin di kawasan alas Tlawah di Padukuhan Natah Kulon, Kalurahan Natah, Kapanewon Nglipar. Menanam pohon di lahan tandus bukan hal mudah. Termasuk bagi Mbah Ngadimo.
Ia tidak memiliki ilmu konservasi lingkungan. Yang ia miliki hanya ilmu titen. Ilmu tradisional Jawa berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam. Dari ketekunan menerapkan ilmu titen tersebut, kini salah satu sumber air yang mati puluhan tahun kembali hidup.
Tepatnya sejak 5 tahun silam, sumber air Gayang yang terletak persis di bawah alas Tlawah hidup kembali. Sumber air ini mengalir pada sebuah sungai yang mengairi puluhan hektar sawah-sawah petani dan digunakan oleh sekitar 50 kepala keluarga penduduk Natah Kulon untuk kebutuhan air sehari-hari yang disalurkan langsung ke rumah warga.
“Sebelum pindah ke sini, dulu saya tinggal di Padukuhan Natah Kulon, Kalurahan Natah, kebetulan kebun saya berada di sekitaran alas Tlawah, jadi saya menanam beringin sambil ke ladang,” terang Ngadimo, membuka obrolan kami.
Menurut ceritanya, kawasan alas Tlawah dulunya sangat tandus, jenis tanaman kebanyakan hanya perdu dan akasia. Seiring dengan itu, beberapa sumber air di bawah alas Tlawah akhirnya mengering dan mati.
Ilmu titen Mbah Ngadimo baru terasa hasilnya setelah 22 tahun. Ini karena pohon-pohon yang ia tanam memang perlu waktu untuk tumbuh dan berfungsi jadi pelestari air. Menjaga dan merawat pohon-pohon agar tetap hidup selama dua dekade bukan perkara mudah.
***
Siang itu juga dengan diantar Mbah Ngadimo, kami kemudian memasuki alas Tlawah. Suasana sejuk dan teduh langsung kami rasakan. Kicauan beberapa burung menyambut kedatangan kami. Disebut alas Tlawah, menurut Mbah Ngadimo, berdasar cerita bahwa kawasan ini sejak dulu memang termasuk alas yang “wingit” atau angker.
Tlawah dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai “cleweran/kalenan” atau batu yang terbelah atau berlubang yang berisi atau dialiri oleh air. Luasan alas Tlawah kurang lebih 5 hektar, sementara untuk status tanahnya, adalah tanah Sultan Ground (SG).
“Ini pohon bulu yang saya tanam sekitar tahun 1995, sekarang sudah sebesar ini,” terang Ngadimo sambil merangkul batang pohon. Kedua tangannya sudah tidak cukup merangkul batang pohon bulu yang tinggi menjulang.
Pohon bulu itu memang tampak meraksasa, batangnya menjulur ke segala arah dengan daun daunnya yang rindang menaungi. Akarnya tampak bertonjolan keluar merangkul batu-batu.
Semakin ke bawah puluhan pohon jenis bulu dan beringin tampak berjajar disepanjang sungai kecil dengan besar batang hampir sama. Sambil menuruni jalan setapak di sepanjang kali kecil itu, Mbah Ngadimo menceritakan awal kegiatannya menanam ratusan pohon di kawasan alas Tlawah.
Prihatin melihat warga kesulitan air
“Saya itu awalnya merasa prihatin, dulu saat musim kemarau masyarakat di sekitar Padukuhan Natah Kulon sangat kesulitan air, satu-satunya sumber air yaitu sumber air Gayam mengering sehingga kami harus mengambil air di sebuah sumber yang terletak jauh dan lokasinya berada di dasar jurang,” lanjut Ngadimo.
Berawal dari keprihatinan itu, lanjutnya, Ngadimo kemudian mulai mencari bibit pohon khususnya beringin untuk kemudian satu persatu ia tanam di alas Tlawah. Ia mengaku mengetahui ilmu konservasi dengan belajar ilmu “titen” atau belajar langsung dengan alam. Mbah Ngadimo selalu “nengeri” atau memperhatikan bahwa pada jenis jenis pohon tertentu yang tumbuh, keadaan tanah di bawahnya akan berbeda.
“Tanah di bawah pohon beringin akan tampak “anyep” atau lembab dan subur, itu pertanda bahwa pasti menyimpan air, beda dengan tanah di bawah pohon akasia misalnya, tanahnya pasti kering dan keras, rumput atau tanaman kecil yang lain pasti tidak bisa tumbuh di bawah naungannya,” ujar Ngadimo dengan ilmu “titennya”.
Ia juga perhatikan, bahwa setiap pohon yang menggugurkan daunnya di musim kemarau pasti mempunyai fungsi menyimpan air. Berbanding terbalik, sebagian besar pohon yang daunnya menghijau di musim kemarau pasti bersifat menghabiskan air.
Saat memulai menanam pohon beringin, Mbah Ngadimo mengaku banyak sekali yang mengejeknya, bahkan banyak yang menganggapnya kurang kerjaan, karena masyarakat umum menganggap bahwa pohon beringin tidak punya nilai ekonomi. Ejekan dan ketidakpercayaan tetangga tetangganya tak menyurutkan niatnya untuk terus menanam dan merawat pohon-pohon yang telah ia tanam.
“Pro dan kontra di masyarakat itu pasti ada, tapi saya yakin dengan yang saya lakukan,” imbuhnya.
Mendekati tahun 2000, Mbah Ngadimo mulai mengajak anak-anak sekolah untuk ikut menanam, dia membentuk semacam komunitas yang ia namakan “Darling” atau singkatan dari Sadar Lingkungan. Oleh mbah Ngadimo, anak-anak ini diajak untuk membuat bibit pohon, kemudian menaman di alas Tlawah dan sekitarnya.
Bukan sekadar mengajak, Mbah Ngadimo secara otomatis juga ‘menurunkan’ ilmu titennya tentang pohon-pohon yang cocok ditanam di alas Tlawah. “Saya pernah dilabrak oleh orang tua anak yang saya ajak menaman, dikira saya mengajarkan hal-hal aneh kepada anak-anak,” ujarnya sambil tertawa lebar.
Mbah Ngadimo melanjutkan, tanaman awal yang dia tanam banyak yang gagal, entah itu mati, atau tidak bisa berkembang karena selalu diambil daunnya untuk pakan ternak. Dari ratusan yang dia tanam, sekarang tinggal puluhan yang bisa sampai besar. Tanaman tersisa ini menurutnya butuh perjuangan ekstra untuk menjaga dan merawatnya.
Mendengar ceritanya, perjuangan awal yang harus dihadapi Mbah Ngadimo sangatlah berat. Selain hanya beberapa orang saja yang sepaham dengan dia, Mbah Ngadimo harus berusaha sendiri untuk mendapatkan bibit. Dia juga harus menjaga tanaman-tanaman ini dari tangan-tangan jahil pendongkel bonsai atau tetangga yang butuh pakan ternak.
Kebetulan, kawasan alas Tlawah yang berstatus tanah SG ini kemudian dikelola oleh RT tempat Mbah Ngadimo tinggal. Hasil kayu alas Tlawah ketika dipanen menjadi kekayaan bersama atau untuk mengisi kas RT yang digunakan untuk pembangunan.
Ngadimo kemudian berstrategi, ia selalu menyampaikan di rapat-rapat RT tentang pentingnya menjaga hutan. Ngadimo juga mengajukan diri untuk terus menanam di alas Tlawah, jenis pohon yang dia tanam juga beraneka macam, tidak hanya beringin juga pohon yang mempunyai nilai ekonomi.
“Selain menanam beringin, saya juga menanam pohon jati dan cendana, nanti hasilnya dijual untuk kas RT, dengan perjanjian, untuk jenis tanaman konservasi harus dijaga bersama-sama,” terang Mbah Ngadimo.
Angan-angan Mbah Ngadimo
Hari semakin beranjak siang, keteduhan berbagai jenis pohon yang tumbuh di alas Tlawah melindungi kami dari teriknya sinar matahari. Perjalanan kami menuruni jalan setapak di sepanjang kali kecil yang membelah alas Tlawah semakin sampai ke bawah. Di kejauhan mulai tampak hamparan sawah berbentuk terasering.
Dari jauh telinga kami juga mulai mendengar suara air mengalir dari sebuah sungai yang berada di bawah alas Tlawah. Mbah Ngadimo dengan bersemangat kemudian menunjukan titik mata air Gayam yang airnya digunakan untuk mengairi sawah. Tampak juga sebuah bak penampungan air di mana dari sana beberapa paralon berbagai ukuran berjajar menuju ke pemukiman penduduk.
“Dari bak itu, air dialirkan ke rumah warga padukuhan Natah Kulon,” kata Mbah Ngadimo sambil jarinya menunjuk arah kejauhan.
Kami kemudian turun ke bawah, melihat air bening dari mata air Gayam yang mengalir di sungai. Air mengalir membentuk air terjun kecil sesuai kontur tanah terasering. Batu-batu sebesar rumah khas batuan kawasan perbukitan Batur Agung Utara Gunungkidul berserakan diantara petak sawah petani. Dalam perjalanan, sesekali Mbah Ngadimo bercakap atau bercanda dengan tetangganya yang kebetulan bekerja di sawah.
“Saya mempunyai angan-angan, di sepanjang pegunungan Sriten sampai Gunung Gambar tanah-tanah kosong bisa ditanami pohon-pohon konservasi. Sehingga mata air yang dulunya kering bisa hidup kembali, dengan adanya air, para petani akan bisa bertani sepanjang tahun, dan tentunya hasilnya akan lebih, sehingga kesejahteraan mereka otomatis akan meningkat,” ujar Ngadimo, sambil matanya menerawang jauh.
Saat ditanya soal penghargaan atau apresiasi dari pemerintah terkait usahanya ini, Ngadimo hanya tertawa lebar. Ia mengaku belum pernah mendapat penghargaan apapun, meski begitu ia dengan cepat menyahut bahwa apa yang dia lakukan memang tidak untuk mencari sebuah penghargaan atau imbalan.
“Sejak dulu sudah saya niatkan, saya ikhlas melakukan semua ini, dengan air sepanjang tahun mengalir seperti ini sekarang banyak masyarakat yang mulai sadar tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mereka akhirnya tahu tentang tujuan saya melakukan semua ini sejak puluhan tahun yang lalu, hasilnya sudah tampak dan bisa dirasakan masyarakat banyak,” ujarnya sambil tersenyum.
Ngadimo berharap, bahwa apa yang sudah dia mulai ini ada yang meneruskan, syukur hal ini bisa dikembangkan di wilayah lain, atau paling tidak pohon-pohon di alas Tlawah ke depan akan terus dijaga keberadaanya.
“Menanam pohon harus dilakukan sekarang, karena butuh waktu puluhan tahun agar pohon bisa mempunyai fungsi pelestarian air, dan ini butuh perjuangan untuk merawat dan menjaganya. Berjuang harus ikhlas, jangan mengharap imbalan apapun, tidak ada kemerdekaan tanpa sebuah perjuangan, dan ikhlas adalah kuncinya,” pungkasnya.
Reporter: Edi Padmo
Editor: Agung Purwandono