Kuliner berbahan daging anjing atau sekarang punya sebutan tongseng jamu atau sate jamu sudah ada di Nusantara sejak zaman Majapahit. Di masa itu, tidak semua masyarakat mau mengkonsumsinya.
Belum lama ini ramai di media sosial kecaman terhadap rencana reuni alumni SMA De Britto Yogyakarta yang akan menyajikan kuliner tongseng jamu. Menu itu merujuk pada tongseng dari bahan daging anjing.
Dalam klarifikasinya panitia reuni SMA De Britto menyatakan, poster yang beredar pada 7 Desember 2023 di berbagai media sosial tersebut adalah poster undangan sementara yang bersifat internal. Poster tersebut beredar di WhatsApp Group (WAG) dan Group Facebook Alumni De Britto pada 9 November 2023.
Tujuannya untuk menyebarkan ke alumni De Britto sebelum finalisasi acara. Poster tersebut memunculkan perdebatan di kalangan internal alumni karena rencana adanya sajian kuliner tongseng jamu. Panitia kemudian memutuskan untuk menghilangkan tongseng jamu dalam menu reuni.
Panitia kemudian membuat poster baru dan secara resmi mempublikasikan pada 27 November 2023 di Instagram @alumnidebritto, WAG, dan Group Facebook Alumni, dengan tema visual yang sudah resmi tanpa ada penyebutan tongseng jamu.
View this post on Instagram
Klarifikasi dari panitia reuni Manuk Pulang Kandang SMA De Britto 2023
Mitos di kuliner berbahan anjing
Meski banyak penolakan dari penyayang binatang, termasuk dog lover, menu kuliner berbahan daging anjing ini masih saja ada. Merunut sejarah, ternyata kuliner ini memang sudah ada sejak masa lalu.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko dalam rubrik Opini di Koran Sinar Harapan Oktober 2015 menuliskan bahwa Solo dan Yogyakarta jadi daerah yang banyak menyajikan kuliner berbahan daging anjing. Namanya tongseng jamu. Penggemarnya biasa menyebut dengan sengsu, atau tongseng asu. Selain dalam bentuk tongseng, warung-warung itu juga menawarkan sajian kuliner daging anjing itu dalam bentuk sate.
“Aku pernah lewat di dekat Lempuyangan, ada warung tenda yang tulisannya sate jamu, aku pikir itu typo, harusnya warung sate jamur,” kata Wanda Ramadhani (22) mahasiswa Ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) kepada Mojok, Rabu (13/12/2023).
Namun, dugaannya justru jadi bahan tertawaan sang pacar. “Bukan typo, memang satu jamu,” ujar Wanda tetap ngeyel kalau yang warung itu pasti menjual sate jamur. Menurutnya aneh kalau ada jamu bisa disate.
“Jamu itu artinya anjing! Itu sate daging anjing,” kata Wanda menirukan omongan pacarnya.
Heri Priyatmoko mengatakan, sebutan ‘jamu’ muncul karena di tingkat lokal, beredar mitos bahwa kuliner tersebut punya khasiat seperti jamu.
Mengutip Solo Pos, sekitar tahun 2007, Pemkot Solo mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta para penjual kuliner daging anjing tidak memakai kata “sate jamu”. Hal ini karena banyak orang atau wisatawan yang terkecoh dengan istilah “jamu”. Pedagang kemudian banyak menggunakan istilah yang merujuk pada nama bahan yang digunakan, semisal sate gukguk.
Di Yogya, saya melihat pedagang yang menjual kuliner berbahan daging anjing ini dengan sebutan B1. Saya sendiri saat ini melihat di Yogyakarta keberadaan warung tongseng jamu di Yogyakarta tidak sebanyak ketika pertama kali menginjakan kaki di kota gudeg ini. Dulu keberadaan warung seperti ini banyak terlihat, sekarang masih ada tapi menurut pengamatan saya sudah jauh berkurang.
Sudah ada di zaman Majapahit
Serat Centhini, mahakarya karya sastra Jawa yang memuat ratusan nama masakan yang tersebar di Pulau Jawa ini tidak satu pun menyebut kuliner berbahan daging anjing. Menurut Heri, ini karena karya sastra ini penulisnya merupakan pujangga keraton dan kiai yang tentu saja bersandar pada nilai-nilai keislaman.
Heri Priyatmoko mengatakan, kuliner dengan bahan daging anjing sudah ada dalam khazanah sejarah di Nusantara. Pada abad ke-15, Bali dan Madura sudah mengekspor domba, biri-biri, kerbau, unggas, dan anjing ke Kerajaan Majapahit sebagai wujud upeti.
Buku Negarakertagama (1365) mencatat aneka jenis daging yang menjadi hidangan di istana Majapahit, seperti daging domba, kerbau, ayam, babi liar, lebah, ikan, dan bebek. Ada juga sederet daging yang tidak disajikan kepada komunitas yang menaati pantangan Hindu, yakni kodok, cacing, penyu, tikus, dan anjing.
Artinya makanan berbahan daging anjing di masa lalu juga tidak disantap semua masyarakat. Heri mengutip sejarawan kaliber internasional, Antony Reid (2011) anjing menjadi santapan warga di beberapa tempat.
Hal ini sangat berbeda dengan kucing yang tidak pernah menjadi sumber makanan. Sebagian orang menganggap hewan setengah suci lantaran melindungi padi dari hewan pengerat. Sementara itu Islam memandang anjing sebagai hewan kotor seperti babi, kodok, ular, dan serangga.
Budaya mabuk-mabukan dan kuliner daging anjing
Menurut Heri Priyatmoko, terlepas popularitas daging babi dan anjing, semangat pantang bagi orang Islam dalam menghindari daging babi membuat publik nonmuslim bahwa daging ini memang mengandung sesuatu yang buruk.
Salah satu yang membuat daging anjing masih dikonsumsi menurut Heri adalah adanya budaya mabuk-mabukan. Biasanya mereka memadukan miras dengan tambul (menyantap ringan) daging dan tulang anjing yang sudah dimasak.
Budaya omben-omben yang banyak di Solo segaris dengan predikat kota ini sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta dalam urusan menyantap daging anjing.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Daging Anjing, Kuliner yang Sebaiknya Tidak Anda Coba di Solo
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News