Hampir dua abad, atau tepatnya 193 tahun lalu, di bulan September 1829 terjadi tragedi kelam di Pegunungan Menoreh. Putra Sri Sultan Hamengku Buwono II yang juga panglima perang paling dekat dengan Pangeran Diponegoro, Pangeran Joyokusumo dihabisi pasukan Belanda bersama dua putranya di Pegunungan Menoreh.
***
Bersama mendung hari Sabtu, saya memasuki kawasan Suaka Margasatwa Sermo, Kulonprogo dan bergerak ke barat. Jalan meliuk-liuk langsung menyapa dengan samar pemandangan waduk Sermo di kanan dan tebing di kiri.
Kian lama, pengendara semakin sepi dan lebih sering menemui petani atau warga dusun yang melintas. Sesekali, gerimis turun dan membuat suasana kian syahdu.
Setelah hampir setengah jam melintasi hutan Pegunungan Menoreh, sampailah saya di tepi sebuah punggungan bukit. Sebuah jalan bertangga menyambut. Kondisinya rusak parah dan dipenuhi rumput liar. Samar telinga saya mendengar suara percakapan manusia dari atas bukit itu.
Dari Selarong, tempat persembunyian Diponegoro di masa awal Perang Jawa, tempat ini berjarak 43 kilometer. Namun, tempat bernama Dusun Sengir Kidul, Kalirejo, Kokap ini juga menyimpan kelindan kisah kelam perang Jawa, hampir 2 abad silam.
Hikayat sang anak raja
Di atas bukit, warga Sengir Kidul ternyata sedang bekerja bakti untuk mempersiapkan saparan di area Makam Pangeran Joyokusumo. Warga mengarahkan saya bertemu dengan Darto Suyono (82), juru kunci makam. Ia yang tadinya sedang mengecat tembok langsung mengambil wudu saat saya izin hendak berziarah.
Makam ini memiliki 2 jalan masuk. Jalan pertama adalah anak tangga yang sudah rusak sementara jalan kedua dibuat warga melewati sisi lain bukit, tepat berada di tepi sebuah jalan menanjak. “Sudah 3 tahun ini rusaknya,” terang Darto menyoal jalan naik ke makam.
Pintu dibuka, Darto lantas mengambil posisi berjongkok dan berdoa. Memasuki ruangan, tampak 3 buah nisan berlapis keramik putih. Di dinding ruangan, tergantung foto Sultan Hamengkubuwono II dan sebuah papan kecil bertuliskan tahun renovasi makam; 2006. Saya bergerak ke sisi samping, duduk bersila, lalu berdoa.
Makam paling kiri di ruangan ini bertulis nama “KGPH Joyokusumo”, sementara makam tengah bertulis “Raden Mas Joyo Kusumo”, dan paling kanan bertulis “Raden Mas Atmo Kusumo”. Makam paling kiri adalah makam milik sosok ayah bagi 2 lainnya. Beberapa sumber literatur membedakannya dengan penomoran: Joyokusumo I untuk sang ayah, Joyokusumo II untuk si anak.
“Pangeran Joyokusumo adalah anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono II dari garwe ampeyan (selir),” Darto memulai bercerita saat saya sudah menyelesaikan doa. Itulah kenapa di ruangan ini terdapat foto Sultan Sepuh, julukan Hamengkubuwono II. Sementara, hubungan sosok ini dengan Diponegoro adalah paman dan keponakan dan kelak menjadi besan karena salah satu anak Diponegoro menikah dengan Joyokusumo II.
Peter Carey dalam Kuasa Ramalan menulis bahwa Joyokusumo lahir dari sosok bernama Mas Ayu Sumarsonowati, seorang keturunan keluarga Tionghoa yang menjadi selir kesayangan Hamengkubuwono II. Carey mendeskripsikan Joyokusumo sebagai “pria ningrat kekar, cerdas, berwawasan luas” yang mewarisi kulit kuning bersih ibunya.
Tidak sekadar paman, Joyokusumo juga disebut-sebut sebagai salah satu pembesar pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa. Perang selama 5 tahun yang berhasil membuat keuangan Hindia Belanda carut-marut ini juga menciptakan polarisasi di kalangan bangsawan Kraton Yogyakarta serta Surakarta.
Sebagian berpihak ke Belanda dan Kraton, sebagian lain berpihak serta bergabung ke barisan Diponegoro dan ikut bergerilya. Pilihan kedua inilah yang ditempuh Joyokusumo dan kedua putranya.
Terkait peran, Kuasa Ramalan menuliskan Joyokusumo sebagai panglima kavaleri, penasihat terpercaya, dan panglima Perang Jawa paling dekat dengan Diponegoro. Ia juga disebut sebagai satu dari 2 anak Hamengkubuwono II yang berada di barisan Perang Jawa.
Buku ini juga menyebut nama Adi Kusumo dan Atmokusumo sebagai nama anak Joyokusumo dan nama Raden Mas Sadikin sebagai nama lain Joyokusumo II.
Berdasarkan cerita turun temurun, Darto menyebut bahwa hanya mereka bertigalah yang ikut bergerilya. Sementara istri Joyokusumo dan anaknya yang lain tetap tinggal di kraton. Hingga kini, Darto menerangkan, beberapa keturunan pangeran ini masih sering datang berziarah.
Darto memberikan gambaran lebih sederhana tentang peran ini. Ia mengatakan, Joyokusumo memimpin perang di sebelah barat Sungai Progo hingga ke wilayah Purworejo. Sementara Diponegoro memimpin pasukan di timur Sungai Progo hingga ke daerah Magelang. Ia juga mengatakan bahwa Joyokusumo adalah pembina pasukan Perang Jawa.
Tidak ada yang tahu pasti kapan Joyokusumo lahir, Darto juga menggelengkan kepala ketika saya bertanya hal tersebut. Darto hanya berkisah, sekali lagi menurut cerita turun temurun, bahwa ketika memutuskan bergabung dengan pasukan Diponegoro, Joyokusumo sudah berusia lanjut. Sementara dugaan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan menulis bahwa sosok ini lahir sekitar tahun 1787 dan selepas 1825 memakai nama Ngabehi.
Nama ‘Ngabehi’ ini agaknya juga punya hubungan dengan penamaan makam. Beberapa sumber menyebut tempat ini sebagai Makam Ndoro Bei. Kata Darto, sebutan ‘Bei’ adalah singkatan dari Ngabehi.
Di depan bangunan makam, terdapat satu nisan lagi dengan bertulis nama Eyang Soedoryo. Sosok ini adalah pengawal Joyokusumo sekaligus abdi dalem pertama. Di bagian bawah makam, terdapat satu komplek makam denga isi sekitar 6 nisan.
“Saya keturunan Eyang Soedoryo yang keenam,” terang Darto, “Sejak 2016, saya menjadi juru kunci menggantikan kakak saya.”
Banyusumurup: Kisah kepala sang panglima
Di luar makam, saya berbincang dengan Karti (48), salah satu warga Sengir yang ikut kerja bakti. Ia dengan bangga berkisah tentang kepahlawanan Joyokusumo dalam menghadapi penjajah. Sama seperti Darto, ia juga mengaku masih keturunan Eyang Soedoryo. Darinya, saya mendapat cerita bahwa komplek makam di bagian bawah bukit adalah makam bagi para juru kunci terdahulu.
Java Oorlog berakhir pada 1830. Sejak 2 tahun sebelumnya, pasukan Diponegoro juga telah terpecah belah dan markas mereka berpindah-pindah. Sentot Prawirodirjo menyerah, begitupun Kyai Mojo.
Kelak, Diponegoro diasingkan ke Manado setelah sebuah drama penangkapan di Matasih, Magelang. Namun, bukan perang namanya jika tidak meninggalkan jejak darah. Salah satu jejak darah ada di Sengir dan makam Joyokusumo beserta 2 putranya menjadi saksi bisu kisah itu.
Dalam suatu babak perlawanan di masa akhir Perang Jawa, Joyokusumo dan kedua putranya harus takluk di tangan sekelompok serdadu pihak Belanda. Menurut Carey, Joyokusumo, 2 putranya, dan 20 prajurit berkuda dikepung di Sengir, dekat Pegunungan Kelir pada 21 September 1829.
Di tengah situasi terdesak, Joyokusumo mengaku sebagai anak raja kepada para serdadu itu, sebuah pengakuan yang belakangan tidak berguna sama sekali. Carey menulis, Joyokusumo kena tebasan klewang prajurit hussar Belanda dalam tragedi tersebut.
Baik Darto, Karti, dan warga Sengir umumnya tahu bahwa makam ini bukanlah makam jasad utuh Joyokusumo. Dalam arti sebenar-benarnya.
Gambaran lebih detail tentang akhir riwayat Sang Panglima Kavaleri Carey berikan di buku Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa. Pada hari ke-21 di bulan September 1829, setelah meregang nyawa, kepala ketiga pangeran kraton itu dipancung, dikirimkan ke Jenderal De Kock di Magelang, lalu diserahkan ke Kraton Yogyakarta. Hingga pada akhirnya, kepala Joyokusumo menyatu dengan tanah di komplek makam para musuh raja; Banyusumurup.
Versi cerita Darto juga mirip dengan gambaran di atas. Malahan, Darto pernah mendengar cerita bahwa kotak kayu untuk membawa kepala itu konon masih ada. “Tapi ya cuma cerita turun temurun, saya juga belum pernah ke Banyusumurup.”
Badan Joyokusumo dan 2 putranya akhirnya dikebumikan warga berselang satu hari satu malam setelah insiden pembantaian. Mulanya, warga tidak berani memakamkan karena status bangsawan ketiga orang ini. Di sinilah peran sosok bernama Eyang Soedoryo tadi. Ia pergi menghadap ke kraton dan meminta izin untuk memakamkan ketiganya.
Dalam versi cerita masyarakat Sengir, mereka dibunuh dan mayatnya dibuang di sebuah sungai kecil, sekitar 200 meter dari makam. Di sungai itu, Karti mengatakan masih ada batu besar yang diyakini sebagai tempat pemenggalan kepala Joyokusumo, lengkap dengan bekas aliran darah Sang Panglima Kavaleri.
Suara Karti terasa berat saat bercerita soal kisah kepala Sang Panglima. Baginya, makam ini bukan sekadar makam tua di atas bukit. Lebih dari itu, Karti menganggap Joyokusumo sebagai leluhur sekaligus pahlawan yang berperang melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.
“Kalau cerita soal beliau, saya selalu tersentuh, Mas,” ungkapnya sembari memegang dada.
“Panjenengan sudah pernah lihat makam mustaka Pangeran Joyokusumo?” tanya saya, Karti menggelengkan kepala. Saya lantas membuka gawai dan menunjukkan sebuah foto.
“Oalah Ya Allah, ini to. Astagfirullah…”cetusnya sembari menutup mulut. Suaranya kian berat dan terdengar seperti hendak menangis. Seorang pria di belakang Karti yang sedang mengecat ikut melirik gawai di tangan Karti.
Anggapan Karti tentang kepahlawanan Joyokusumo sejatinya bukanlah anggapan polos masyarakat dusun terhadap tokoh perang legendaris di tanah Jawa. Joyokusumo, sebagai seorang bangsawan, mempunyai riwayat panjang dalam urusan membela Kraton Yogyakarta bahkan sebelum pecahnya Perang Jawa.
Carey dalam Kuasa Ramalan menyebut kiprah sosok ini dalam 2 peristiwa penting di Kraton yakni ekspedisi melawan pemberontakan Raden Rangga pada 1811 dan Geger Spehi pada 1812. Dalam Geger Spehi, Carey menggambarkan Joyokusumo sebagai salah satu dari sebagian kecil bangsawan yang mempertahankan Kraton Yogyakarta dari serangan serdadu Inggris ketika banyak bangsawan lain memilih menyelamatkan diri.
Sebagai seorang panglima kavaleri sekaligus penasihat militer Diponegoro, kematian Joyokusumo juga membawa dampak psikologis berat bagi Diponegoro. Ketika berita ini sampai ke telinga Diponegoro, ia semakin sadar bahwa peperangan sudah berada di babak akhir. Hingga akhirnya Diponegoro berkelana hanya bersama 2 pengawalnya di pegunungan daerah Kedu selatan – sebelum kelak akhirnya datang ke Magelang untuk sebuah perundingan yang tak pernah terjadi.
Sekali lagi, Perang Jawa memiliki banyak sisi kelam yang belum banyak diketahui orang banyak. Kematian Joyokusumo adalah salah satunya. Secara ironis dan mengenaskan, sosok ini meregang nyawa di sekelompok pasukan berisi orang-orang Manado dan pimpinan pasukan ini adalah orang Jawa.
Sosok ini bernama Raden Ngabehi Resodiwiryo, seorang bangsawan Kraton Surakarta. Carey dalam Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa mengisahkan sosok ini diangkat menjadi wakil komandan hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) untuk mempertahankan wilayah mancanegara Kraton Surakarta di sekitar Bagelen dari pasukan Diponegoro.
Lebih ironis lagi, Resodiwiryo dan Diponegoro dahulu pernah sama-sama berguru ke Kyai Taptojani di Mlangi. Jika masih mau mencari sisi lebih ironis, Resodiwiryo mempunyai komandan bernama Pangeran Kusumoyudo dan sosok ini masih kerabat Joyokusumo. Kelak, setahun setelah Perang Jawa usai, Resodiwiryo diangkat sebagai bupati pertama Purworejo dan mendapat gelar Raden Adipati Cokronegoro I.
Mengabadi di dekap Menoreh
Di masa Karti masih kecil, makam Pangeran Joyokusumo berbentuk sangat sederhana. Dinding makam menggunakan anyaman bambu dengan atap seng sementara nisan di dalamnya menggunakan nisan kayu. Bentuknya mirip dengan kusen pintu.
Renovasi besar-besaran dilakukan pada 2006 dan dikerjakan oleh masyarakat Sengir. Setelah renovasi, bangunan diresmikan oleh Raden Ayu Murdokusumo, kakak dari Sultan Hamengkubuwono X. Nama ini ditulis pada sebuah papan kecil di bagian dalam bangunan. Sementara, bekas nisan kayu masih disimpan di dekat bangunan makam.
Secara bertahap, bangunan makam terus mengalami renovasi dengan bantuan beberapa pihak, termasuk dari kalangan pejabat di Kulonprogo dan Dinas Kebudayaan setempat. Baru-baru ini, ada bantuan dana dan oleh warga digunakan untuk membangun kamar mandi di area makam.
“Monggo, minum dulu, Mas,” sahut seorang pria sambil menuangkan teh. Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 dan warga mulai beristirahat. Beberapa dari mereka mengundang saya untuk datang di acara saparan yang akan digelar 5 hari lagi.
“Tahun ini perayaannya ramai, Mas. Kalau 2 tahun kemarin sepi karena pandemi,” terang seorang pria.
Bersama obrolan dengan warga Sengir, segelas teh dan beberapa kudapan telah saya nikmati. Ketika berpamitan, Karti mengucapkan terima kasih pada saya karena telah menunjukkan foto makam kepala Pangeran Joyokusumo. Saya juga berjanji ke warga untuk menyebarkan informasi soal saparan Joyokusumo di media sosial.
Motor hanya berjalan beberapa ratus meter. Di jembatan kecil yang tadi Karti ceritakan, saya berhenti demi melihat batuan-batuan besar dan aliran air mengering. Entah di mana batu yang tadi Karti ceritakan. Dari tempat ini, sejauh mata memandang hanya ada pepohonan dan dinding raksasa Pegunungan Menoreh.
Tempat saya berdiri 43 kilometer jauhnya dari Gua Selarong. Namun, di rangkaian pegunungan ini pula Perang Jawa memasuki babak akhir. Termasuk, ketika seorang pangeran Jawa, panglima perang, dan penasihat militer Diponegoro harus gugur dan kehilangan kepala di tangan sekumpulan pasukan di bawah pimpinan orang Jawa.
193 tahun sudah berlalu sejak September 1829 dan rangkaian Pegunungan Menoreh di Dusun Sengir masih menyimpan dengan mesra akhir kisah kelam Joyokusumo beserta 2 putranya.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono