Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menyimpan banyak misteri hingga kini. Anak-anak muda di desa yang terletak di lereng Gunung Sumbing tersebut masih terus mencari dan membuka tabir tentang desa mereka.
Mojok datang ke desa tersebut untuk menghadiri ritual ruwat bumi dan mengetahui cikal bakal Desa Petarangan. Sebuah desa yang lahir dari pertarungan ayam dan ular, peliharaan tokoh agama dan orang paling kaya di kawasan tersebut
***
Jumat pagi pukul 07.45 WIB saya sudah berada di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Saya berangkat dari Jogja sekitar pukul 05.45 WIB. Langit cerah. Dari tempat saya berdiri, Gunung Sumbing dan Sindoro tampak terlihat jelas. Angin semilir menembus lorong rumah-rumah penduduk yang berhimpitan pada kontur tanah melandai.
Hari ini tujuan saya adalah Bukit Botorono. Bagi orang yang pernah berwisata ke puncak bukit ini, mungkin tujuannya hanya untuk melihat keindahannya semata. Namun, pagi ini saya ingin meliput salah satu ritual yang masih dijalankan penduduk setempat yaitu Ritual Ruwat Bumi Petarangan.
Ruwat Bumi Petarangan merupakan rangkaian acara dari ritual Pasang Sajen Botorono yang berlangsung sejak tanggal 6-9 Desember 2022. Ruwat Bumi Petarangan dilaksanakan pada hari ketiga. Hari pertama, warga Petarangan melakukan ziarah pada malam hari ke makam Mbah Kiai Tari dan Mbah Dalman. Paginya, seluruh warga Petarangan melakukan kirab sambil membawa 1000 tumpeng dan 1000 ingkung menuju puncak Botorono.
Di puncak itu ada pepunden Bergolo. Ritual ini merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan karena warga Desa Petarangan diberikan kesehatan, keselamatan, rezeki baik, serta tetap diberikan rasa guyub. Tujuan lainnya agar warga Desa Petarangan tidak melupakan sejarah para leluhurnya.
Hari kedua merupakan pentas kesenian desa mulai dari Jathilan, Lengger, hingga Bangilo dan Sandul. Kesenian tradisi yang dimiliki warga Petarangan tampil secara bergiliran disaksikan oleh seluruh warga desa. Tidak sedikit juga warga desa sekitar yang ikut menonton hingga larut.
Saya sendiri memutuskan untuk datang pada hari ketiga dari proses rangkaian ritual Pasang Sajen Botorono.
Ruwat Bumi, menghormati mata air
Peserta kirab ruwat Bumi Petarangan sudah mulai ramai. Mereka membuat barisan memanjang. Barisan depan berdiri berjajar tiga perempuan berpakaian lurik sambil memegang sapu lidi. Di belakangnya seorang lelaki membawa anglo yang terus mengepulkan asap kemenyan.
Di barisan belakangnya sampai akhir barisan berisi beragam sesaji yang dibawa lelaki maupun perempuan. Tujuan kirab Ruwat Bumi Petarangan ini menuju Tuk Anget Ngasinan yang lokasinya di tepian Kali Ngasinan.
Kirab berjalan lambat menyusuri jalan desa. Sepanjang jalan, ketiga perempuan barisan depan yang memegang sapu lidi terus saja menyapukan sapunya ke jalan yang dilewati. Membersihkan segala yang dianggap kotor sampai ke tujuannya yakni Tuk Anget Ngasinan.
Sepanjang perjalanan kirab, yang terdengar hanyalah suara empat perempuan yang sedang menyapu jalan dengan sapu lidi dan suara gong yang ditabuh secara ritmik. Di setiap perempatan desa, pemimpin ritual duduk bersila didampingi pembawa perapian kemenyan, berdoa dan melemparkan bunga dan beras kuning ke udara dan perempatan jalan. Di sepanjang jalan kampung itu pula setiap warga desa berdiri di depan rumahnya yang dilewati kirab menghormati prosesi yang tengah berlangsung.
Jarak permukiman desa dengan Tuk Anget Ngasinan sekira 2 kilometer. Peserta kirab berjalan naik turun mengikuti kontur lereng Sumbing. Sesampainya di Tuk Anget Ngasinan, pemimpin kirab berjalan menuju bawah pancuran air dan memasang sesaji berupa kembang setaman, ingkung dan tumpeng, lalu berdoa.
Bunga dan beras kunir ditaburkan ke udara sambil memanjatkan doa. Ritual Ruwat Bumi Petarangan diakhiri dengan makan bersama di tepian pancuran Tuk Anget Ngasinan. Prosesi itu berlangsung hingga menjelang Jumatan.
Rajang tembakau
Usai salat Jumat, sejumlah warga Desa Petarangan berkumpul lagi di atas dak loteng sebuah rumah. Rumah itu persis di bawah Bukit Botorono. Dak loteng itu sejajar dengan jalan desa. Sehingga banyak warga desa yang berdiri ingin melihat acara rajang tembakau.
Bukit Botorono tengah berselimut berkabut. Siang itu udara perlahan berubah dingin. Di atas dak loteng rumah warga itu ada 9 cacak dan gobang yang akan digunakan untuk merajang tembakau.
Acara ngrajang tembakau ini merupakan wujud pengenalan potensi desa bahwa 98 persen dari 700 kepala keluarga di Desa Petarangan merupakan petani tembakau. Daun tembakau yang akan dirajang adalah daun sisa panen yang dipetik pagi tadi di lereng Sumbing.
Sembilan lelaki beragam usia duduk di atas bangku dan memegang gobang, berupa pisau besar yang akan digunakan merajang. Saat merajang, tangannya cekatan. Rajangannya halus. Aroma tembakau basah yang barusan dirajang menebarkan bau yang khas. Sedap saat merasuk hidung. Tembakau yang usai dirajang diambil oleh sejumlah perempuan lantas di-jereng di atas rigen.
Semua aktivitas yang dilakukan ini merupakan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Bagi mereka tembakau adalah kehidupan. Mereka hidup bersama tembakau. Dan hasil tembakau itu dikembalikan pada aktivitas kehidupan mereka termasuk pembangunan dan kegiatan desa.
Ritual adat dan acara-acara desa yang dilakukan secara komunal semuanya dilakukan berkat dana swadaya dari warga Petarangan sendiri, itu juga tidak lepas dari tembakau. Desa Petarangan terdiri dari 5 Dusun. Terdiri dari Dusun Petarangan 1 hingga 3, lalu Dusun Padelesan dan Dusun Watu Tugu.
Dusun tempat saya dan Deni ngobrol saat ini terletak di Dusun Petarangan 2. Mayoritas penduduk Petarangan berprofesi sebagai petani. Dari 700 kepala keluarga 98 persennya merupakan petani tembakau. Sehingga tembakau menjadi bagian dari kehidupan petani sehari-hari.
Untuk menopang kegiatan warga termasuk pembangunan infrastruktur jalan dan tempat peribadatan seperti membangun masjid, semua pendanaannya dilakukan secara swadaya. Caranya cukup unik namun guyub yaitu jimpitan tembakau. Setiap tahun pada musim panen tembakau warga dimintai jimpitan sebanyak 1 kilogram tembakau per 1 keranjang. Satu keranjang berisi 35-40 kilogram.
Jika dalam satu kepala keluarga saat musim panen menghasilkan 50 keranjang yang akan disetorkan ke pabrik, maka jimpitan yang didapat desa sejumlah 50 kilogram tembakau. Nilai rupiahnya disesuaikan dengan harga saat musim panen tersebut. Jika musim panen harga jual ke pabrik sebesar Rp50.000,- maka kepala keluarga itu menyetorkan jimpitan sebesar Rp2,5 juta hasil dari 50 keranjang dikalikan harga tembakau senilai Rp50.000,-.
Hasil panen tiap keluarga tentu besarannya berbeda-beda. Ada yang menghasilkan 50 keranjang, ada juga yang bisa mencapai 70 keranjang bahkan lebih. Setiap musim panen, warga Desa Petarangan mempunyai pemasukan dana dari jimpitan tembakau minimal Rp150 juta tergantung hasil musim panen dan berapa banyak yang dijual ke pabrikan berikut nilai harga tembakau per kilogramnya.
“Dana itu dibagi dan dibuatkan kantong-kantong menyesuaikan kebutuhannya, Mas,” kata Deni. Termasuk pendanaan acara Pasang Sajen Botorono ini juga dari dana jimpitan tembakau.
Petarangan hidup dari tembakau. Sehingga hasil dari tembakau dikembalikan kepada khalayak warga Petarangan untuk digunakan sebaik-baiknya menyesuaikan kebutuhan masyarakat Petarangan.
“Pembangunan masjid itu juga dari jimpitan tembakau, Mas, lebih dari 1,5 miliar dananya,” kata Deni sambil menunjuk ke arah lokasi masjid.
Mbah Kiai Tari dan awal mula Desa Petarangan
Usai acara ngrajang mbako saya menemui Deni Afifudin. Lelaki usia 30 tahun ini pemuda asli Petarangan. Ia adalah cucu kesembilan Mbah Warso, sesepuh desa Petarangan dan pemilik lahan di mana Tuk Anget Ngasinan berada.
Saat ini Deni adalah Ketua Karang Taruna Petarangan. Deni didampingi oleh Prasetyo, juga anggota Karang Taruna yang mengurusi wisata Botorono. Lalu ada Ya’kup dan Fadkus dari desa tetangga. Kami ngobrol di sebuah rumah sambil ngopi dan menikmati tembakau Petarangan.
Deni bercerita, ritual adat yang dilakukan secara komunal sebenarnya sudah ada sejak tahun 2006. Petarangan itu kaya dengan ritual warisan leluhur seperti ritual wiwit mbako, nyadran kali, dan merti desa. Hanya saja, dulu masih dilakukan secara sendiri-sendiri di tiap rumah.
Merti desa yang sekarang berganti nama menjadi Pasang Sajen Botorono ini biasanya dilakukan berbarengan dengan peringatan Maulid Nabi. Hanya saja, kata Deni, Maulid kemarin itu kebetulan berbarengan dengan mbakon atau musim panen tembakau. Sehingga prosesi ritualnya diundur pada bulan Desember ini.
Deni bercerita bahwa nama Petarangan bermula dari kisah Mbah Kiai Tari dan Mbah Dalman. Dua orang yang dianggap sebagai leluhur Petarangan. Mbah Kiai Tari seorang ahli spiritual. Beliau pembawa agama Islam di sini. Sedangkan Mbah Dalman, menurut cerita turun temurun merupakan orang yang paling banyak hartanya.
Mbah Dalman punya seorang putri berwajah cantik. Mbah Kiai Tari menyukainya dan berniat ingin menjadikannya istri. Namun, Mbah Dalman memberikan syarat, bahwa siapa saja yang mempunyai hewan yang bisa mengalahkan ular ingon miliknya akan direstui menikahi putrinya yang cantik. Hal itu dilakukan Mbah Dalman untuk menguji tekad calon mantunya.
Mbah Kiai Tari ternyata punya ingon seekor ayam jago. Beliau mendatangi Mbah Dalman sambil menggendong ayam jagonya. Lalu terjadilah pertarungan itu. Ular milik Mbah Dalman dan ayam milik Mbah Kiai Tari bertarung mempertahankan kehormatan tuannya.
Ayam Mbah Kiai Tari bertarung untuk mendapatkan putri cantik semata wayang Mbah Dalman. Sedangkan Ular Mbah Dalman bertarung untuk mempertahankan putri anak semata wayang Mbah Dalman agar pernikahan Mbah Kiai Tari dan putrinya tidak terlaksana. Namun, dalam pertarungan itu ular milik Mbah Dalman ternyata kalah.
Mbah Kiai Tari kemudian menjadi menantu Mbah Dalman. Ular milik Mbah Dalman kemudian pergi menuju puncak bukit Botorono. Sedangkan ayam Mbah Kiai Tari kembali ke petarangan. Itulah kenapa desa ini kemudian dinamakan sebagai Desa Petarangan. Cerita versi lain ada yang menyebutkan nama Petarangan dikaitkan dengan Mbah Kiai Tari yang memenangkan pertarungan.
“Makanya di puncak bukit Botorono itu ada pepunden Bergolo, Mas. Bergolo itu artinya ular,” kata Deni.
Secara logika, ayam tidak mungkin menang bertarung dengan ular. Namun, kenyataan kisah turun temurun itu menyatakan bahwa ayam Mbah Kiai Tari yang memenangkan pertarungan. Hingga kini puncak bukit Botorono terdapat pepunden tempat ular milik Mbah Dalman moksa.
Ular itu dipercaya turun setiap hari Jumat Kliwon untuk minum air di Tuk Anget Ngasinan. Hanya yang berjodoh saja yang bisa melihat saat ular itu turun menuju Tuk Anget Ngasinan. Karena pernah suatu hari, tepatnya pada hari Jumat Kliwon menjelang salat Jumat, ada warga yang hendak mengambil air di Tuk Anget Ngasinan melihat ular itu. Besar badannya sebesar beduk, kata warga yang melihat. Kepalanya di Tuk Anget Ngasinan sedang minum air sedangkan buntutnya masih ada di puncak bukit Botorono.
Di puncak bukit Botorono juga hingga kini sangat terlarang bagi siapapun warga yang ingin mengolah tanah untuk ditanami.
“Tepatnya di pojokan pepunden,” kata Deni.
“Karena ada sengkala,” sahut Fadkus dan Prasetyo nyaris berbarengan.
Orang yang menanam dan siapapun yang terkena tanaman yang tumbuh di pojokan pepunden itu akan terkena gatal-gatal. Penyebabnya, karena dipercaya sebagai rumah ular milik Mbah Dalman. Makam Mbah Kiai Tari dan Makam Mbah Dalman saat ini berdampingan di Botorono.
Baca halaman selanjutnya
Mbah Warso yang berusia 114 tahun dan khasiat Tuk Anget Ngasinan
Mbah Warso yang berusia 114 tahun dan khasiat Tuk Anget Ngasinan
Kisah tentang ular Mbah Dalman yang turun dari pepunden untuk meminum air di Tuk Anget Ngasinan bisa saja merupakan petunjuk bagi warga Desa Petarangan bahwa air itu mempunyai khasiat.
Seperti kisah yang diceritakan Deni tentang Mbah Warso. Mbah Warso lelaki kelahiran 1903 ini merupakan kakek dari Deni Afifudin. Mbah warso meninggal dunia pada usia 114 tahun pada tahun 2017 lalu. Beliau hanya sakit selama 40 hari, kata Deni. Sakitnya karena usia tua dan sudah tidak sanggup lagi pergi ke Tuk Anget Ngasinan.
Selama 40 hari menjelang kematiannya, Mbah Warso selalu mengigau tentang keinginannya ke Tuk Anget Ngasinan. Karena tubuhnya sudah renta dan tak sanggup lagi berjalan. Mbah Warso kemudian meninggal tepat 40 hari sejak tubuhnya tak kuat berdiri lagi.
Semasa mudanya, Mbah Warso tidak pernah mandi di rumah. Setiap pagi dan sore Mbah Warso selalu mandi di Tuk Anget Ngasinan. Badannya sehat. Tidak pernah sakit. Pernah suatu hari, Mbah Warso kakinya keslumbat, tertancap bambu. Tembus. Telapak kakinya mengucurkan darah. Namun, tidak ada perlakuan istimewa dari Mbah Warso atas kakinya yang terluka itu.
Beliau hanya setiap pagi dan sore ke Tuk Anget Ngasinan. Di sumber mata air hangat itu, kaki Mbah Warso yang terluka hanya dikucuri air dari Tuk Anget Ngasinan dan dikucuri air kencingnya sendiri.
“Gak sampe seminggu, Mas, luka itu nutup dan sembuh,” kata Deni. “Banyak orang bahkan sampai bapak saya nggak percaya padahal gak diobati secara khusus karena Simbah nggak mau diobati.”
Itulah cikal kenapa Tuk Anget Ngasinan menjadi salah satu sumber mata air yang dijaga oleh warga sebagai penghormatan pada sumber mata air. Di lereng Sumbing sendiri banyak mata air yang digunakan warga Desa Petarangan untuk kebutuhan hidup. Pada tahun 1980-an, saat warga belum punya kamar mandi, jika ada orang membutuhkan air harus naik dulu ke lereng untuk mengambil air.
Saat ini sudah tidak perlu ke sumber air lagi karena setiap sumber mata air dipasangi pipa dan dialirkan ke setiap rumah. Ada yang satu rumah satu pipa namun ada juga yang dua pipa aliran dari air sumber. Jika tiap tahun melakukan ritual nyadran kali, maka jumlah tumpeng dan ingkung yang dibuat mengikuti jumlah berapa pipa air yang disalurkan ke rumahnya masing-masing.
Jika dalam satu rumah hanya menyalurkan satu pipa air maka tumpeng dan ingkung untuk nyadrannya satu ingkung dan satu tumpeng. Namun, jika dua pipa maka rumah itu harus membuat sepasang ingkung dan tumpeng untuk sesaji ritual nyadran kali.
Kisah-kisah yang masih menjadi misteri
Deni mengakui jika kisah-kisah leluhur yang ada di Petarangan masih banyak yang harus digali lagi sebab masih banyak bolongnya. Karena semua kisah leluhur itu hanya berdasarkan cerita tutur. Tak ada catatan peninggalan dari para leluhur itu.
Peninggalan fisik yang nyata hanya makam Mbah Kiai Tari dan Makam Mbah Dalman. Bahkan para orang tua yang masih hidup sudah tidak sanggup lagi diajak bercerita tentang sejarah masa lalu Desa Petarangan. Karena orang-orang tua yang masih hidup sekarang rata-rata rada susah diajak berdialog karena telinganya sudah kesulitan mendengarkan.
Deni juga mengakui jika dirinya dan anggota Karang Taruna sedang berusaha mempelajari kisah-kisah leluhurnya. Tentang dari mana asalnya Mbah Kiai Tari juga Mbah Dalman. Lalu siapa nama putrinya Mbah Dalman.
“Yang lebih menarik lagi tentang kisah Mbah Penatus, Mas,” kata Deni.
“Siapa itu?” tanya saya.
“Menurut cerita tutur warga di sini,” jawab Deni, “Mbah Penatus adalah lurah pertama di Desa Petarangan. Disebut Mbah Penatus karena saat itu warganya baru berjumlah seratus orang. Hanya yang masih saya gali bersama teman-teman dari Karang Taruna, apakah zaman Mbah Penatus hidup sebagai lurah itu juga masih satu zaman dengan zaman Mbah Kiai Tari dan Mbah Dalman. Itu yang masih harus dicari lagi tentang kisah-kisah leluhur Desa Petarangan.
***
Rangkaian acara Pasang Sajen Botorono dan ritual-ritual adat lainnya yang ada di Petarangan merupakan sebagai wujud syukur dan agar warga Petarangan semakin guyub. Juga agar masyarakat di luar Temanggung lebih tahu tentang potensi dan keberadaan desa Petarangan. Untuk mewujudkan hal itu, sejak tahun 2019, Desa Petarangan dijadikan sebagai desa wisata. Keunggulannya tentu saja puncak bukit Botorono yang berada di antara Gunung Sumbing dan Sindoro beserta kisah-kisah leluhurnya yang hingga kini masih menjadi misteri.
Hari sudah sore. Di luar rinai gerimis masih terlihat. Saya berpamitan usai Made Arya Dedok baru saja datang ke Petarangan. Dedok selain pelukis dan fotografer, juga seorang penari Bali. Esok menjelang matahari terbit, Dedok akan menari berkolaborasi dengan penari Desa Petarangan di puncak bukit Botorono hingga matahari terang. Sayangnya, saya tidak bisa ikut memotret mereka menari karena harus kembali ke Jogja.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Rasanya Tinggal Bersama Makam-makam Tua di Njeron Beteng Keraton Jogja