Mbah Warso yang berusia 114 tahun dan khasiat Tuk Anget Ngasinan
Kisah tentang ular Mbah Dalman yang turun dari pepunden untuk meminum air di Tuk Anget Ngasinan bisa saja merupakan petunjuk bagi warga Desa Petarangan bahwa air itu mempunyai khasiat.
Seperti kisah yang diceritakan Deni tentang Mbah Warso. Mbah Warso lelaki kelahiran 1903 ini merupakan kakek dari Deni Afifudin. Mbah warso meninggal dunia pada usia 114 tahun pada tahun 2017 lalu. Beliau hanya sakit selama 40 hari, kata Deni. Sakitnya karena usia tua dan sudah tidak sanggup lagi pergi ke Tuk Anget Ngasinan.
Selama 40 hari menjelang kematiannya, Mbah Warso selalu mengigau tentang keinginannya ke Tuk Anget Ngasinan. Karena tubuhnya sudah renta dan tak sanggup lagi berjalan. Mbah Warso kemudian meninggal tepat 40 hari sejak tubuhnya tak kuat berdiri lagi.
Semasa mudanya, Mbah Warso tidak pernah mandi di rumah. Setiap pagi dan sore Mbah Warso selalu mandi di Tuk Anget Ngasinan. Badannya sehat. Tidak pernah sakit. Pernah suatu hari, Mbah Warso kakinya keslumbat, tertancap bambu. Tembus. Telapak kakinya mengucurkan darah. Namun, tidak ada perlakuan istimewa dari Mbah Warso atas kakinya yang terluka itu.
Beliau hanya setiap pagi dan sore ke Tuk Anget Ngasinan. Di sumber mata air hangat itu, kaki Mbah Warso yang terluka hanya dikucuri air dari Tuk Anget Ngasinan dan dikucuri air kencingnya sendiri.
“Gak sampe seminggu, Mas, luka itu nutup dan sembuh,” kata Deni. “Banyak orang bahkan sampai bapak saya nggak percaya padahal gak diobati secara khusus karena Simbah nggak mau diobati.”
Itulah cikal kenapa Tuk Anget Ngasinan menjadi salah satu sumber mata air yang dijaga oleh warga sebagai penghormatan pada sumber mata air. Di lereng Sumbing sendiri banyak mata air yang digunakan warga Desa Petarangan untuk kebutuhan hidup. Pada tahun 1980-an, saat warga belum punya kamar mandi, jika ada orang membutuhkan air harus naik dulu ke lereng untuk mengambil air.
Saat ini sudah tidak perlu ke sumber air lagi karena setiap sumber mata air dipasangi pipa dan dialirkan ke setiap rumah. Ada yang satu rumah satu pipa namun ada juga yang dua pipa aliran dari air sumber. Jika tiap tahun melakukan ritual nyadran kali, maka jumlah tumpeng dan ingkung yang dibuat mengikuti jumlah berapa pipa air yang disalurkan ke rumahnya masing-masing.
Jika dalam satu rumah hanya menyalurkan satu pipa air maka tumpeng dan ingkung untuk nyadrannya satu ingkung dan satu tumpeng. Namun, jika dua pipa maka rumah itu harus membuat sepasang ingkung dan tumpeng untuk sesaji ritual nyadran kali.
Kisah-kisah yang masih menjadi misteri
Deni mengakui jika kisah-kisah leluhur yang ada di Petarangan masih banyak yang harus digali lagi sebab masih banyak bolongnya. Karena semua kisah leluhur itu hanya berdasarkan cerita tutur. Tak ada catatan peninggalan dari para leluhur itu.
Peninggalan fisik yang nyata hanya makam Mbah Kiai Tari dan Makam Mbah Dalman. Bahkan para orang tua yang masih hidup sudah tidak sanggup lagi diajak bercerita tentang sejarah masa lalu Desa Petarangan. Karena orang-orang tua yang masih hidup sekarang rata-rata rada susah diajak berdialog karena telinganya sudah kesulitan mendengarkan.
Deni juga mengakui jika dirinya dan anggota Karang Taruna sedang berusaha mempelajari kisah-kisah leluhurnya. Tentang dari mana asalnya Mbah Kiai Tari juga Mbah Dalman. Lalu siapa nama putrinya Mbah Dalman.
“Yang lebih menarik lagi tentang kisah Mbah Penatus, Mas,” kata Deni.
“Siapa itu?” tanya saya.
“Menurut cerita tutur warga di sini,” jawab Deni, “Mbah Penatus adalah lurah pertama di Desa Petarangan. Disebut Mbah Penatus karena saat itu warganya baru berjumlah seratus orang. Hanya yang masih saya gali bersama teman-teman dari Karang Taruna, apakah zaman Mbah Penatus hidup sebagai lurah itu juga masih satu zaman dengan zaman Mbah Kiai Tari dan Mbah Dalman. Itu yang masih harus dicari lagi tentang kisah-kisah leluhur Desa Petarangan.
***
Rangkaian acara Pasang Sajen Botorono dan ritual-ritual adat lainnya yang ada di Petarangan merupakan sebagai wujud syukur dan agar warga Petarangan semakin guyub. Juga agar masyarakat di luar Temanggung lebih tahu tentang potensi dan keberadaan desa Petarangan. Untuk mewujudkan hal itu, sejak tahun 2019, Desa Petarangan dijadikan sebagai desa wisata. Keunggulannya tentu saja puncak bukit Botorono yang berada di antara Gunung Sumbing dan Sindoro beserta kisah-kisah leluhurnya yang hingga kini masih menjadi misteri.
Hari sudah sore. Di luar rinai gerimis masih terlihat. Saya berpamitan usai Made Arya Dedok baru saja datang ke Petarangan. Dedok selain pelukis dan fotografer, juga seorang penari Bali. Esok menjelang matahari terbit, Dedok akan menari berkolaborasi dengan penari Desa Petarangan di puncak bukit Botorono hingga matahari terang. Sayangnya, saya tidak bisa ikut memotret mereka menari karena harus kembali ke Jogja.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Rasanya Tinggal Bersama Makam-makam Tua di Njeron Beteng Keraton Jogja