Dua buah makam tua yang berada di Pasar Godean masih jadi misteri. Konon kabarnya makam tersebut adalah makam prajurit Pangeran Diponegoro. Namun, ada juga informasi yang menyebutkan makam tersebut adalah makam dari guru spiritual Sultan Agung. Lantas seperti apa ceritanya? Berikut penulusuran Mojok.
***
Seorang pria paruh baya berkumis tebal menyambut saya. Tatatapannya tajam, jabatan tangannya kuat, mencipta kesan seram. Namun, anggapan itu luntur saat saya mulai berbincang dengannya.
Makam Gagak Handoko?
Agus Tri Yuwono (57), demikian ia memperkenalkan diri. Agus adalah warga Brongkol, Sidomulyo, Godean, Sleman. Ia seorang penganut spiritualisme Jawa dan mengaku sebagai murid dari Maharsi Pamungkas, seorang tokoh spiritualisme Jawa terkenal yang tinggal di Gunungkidul.
Sementara itu, dua kilometer di utara Brongkol, orang-orang berlalu-lalang di Pasar Godean. Di sisi selatan dekat pintu masuk utama terdapat sebuah pintu kayu. Letaknya di samping kios perhiasan, berdekatan dengan area parkir.
Lokasi pintu kayu ini tidak lurus melainkan serong ke ke arah tenggara. Bagi yang tidak tahu, mungkin itu akan dikira pintu gudang atau pintu kamar mandi. Tapi, sesungguhnya itu bukan pintu biasa. Ada sebuah misteri di baliknya.
Semua bermula saat saya mencari tahu soal makam Tumenggung Pusponegoro di Seyegan, Sleman lewat internet. Halaman mesin pencari malah mengeluarkan hasil pencarian berupa makam Mbah Jembrak yang berada di dalam komplek Pasar Godean. Makam itu berada di balik sebuah pintu kayu di sisi selatan pasar.
Berbagai artikel di internet menyebut Mbah Jembrak sebagai prajurit Pangeran Diponegoro selama perang Jawa. Ia disebut pula dengan nama Senopati Gagak Handoko. Namun, saat saya menuliskan ‘Gagak Handoko’ di laman Google, hasil berakhir pada makam Gagak Handoko di Purworejo.
Berbagai sumber menuliskan nama ini sebagai adipati terakhir di Loano dan wafat pada 1836. Loano sendiri saat ini adalah nama kecamatan di Purworejo. Baik versi Gagak Handoko dengan makam di Godean maupun di Loano disebut sebagai prajurit Pangeran Diponegoro.
Sosok Mbah Jambrak
Suatu pagi saya datang berziarah ke makam ini. Pintu kayu itu tidak dikunci. Seorang tukang parkir memandu dan membukakannya. Ia tiba-tiba tampak segan saat tahu saya akan mengunjungi makam. Ia undur diri dan menutup kembali pintu saat saya sudah berada di dalam.
Di balik pintu kayu tadi, ada sepasang pintu kayu lagi. Itulah pintu cungkup makam Mbah Jembrak. Dua buah nisan menyambut, lengkap dengan aroma dari tempat pembakaran menyan di bagian tengah makam. Makam ini berada di sebuah bangunan seluas 3×3 meter dengan lantai berupa keramik putih. Suasananya gelap, tanpa ada celah untuk masuk udara dan cahaya.
Secara fisik, 2 nisan ini lebih besar dibanding nisan di makam kampung dan dibuat dari bahan batu berlapis cat putih yang memudar. Di sisi makam, terdapat tulisan beraksara Jawa yang tidak lagi jelas. Bagian atas dan kepala nisan ditutup kain putih. Makam ini juga dikelilingi kerangka kayu dan dipasang kain berwarna senada. Letaknya sesungguhnya hanya di balik pagar pasar. Di samping makam ini, hanya dibatasi tembok, terdapat musala pasar.
Dua sosok yang dimakamkan di cungkup ini disebut sebagai Kyai dan Nyai Jembrak, sepasang suami istri. Para pedagang tidak banyak tahu asal-usul maupun kisah sosok itu. Mereka hanya tahu bahwa itu adalah pusara Mbah Jembrak. Beberapa pedagang di sekitar makam mengatakan bahwa tempat itu sering didatangi peziarah. Tentang tujuannya, mereka tidak tahu pasti.
Jadi tempat ziarah
Di kantor pasar, saya bertemu dengan Robertus Esthi Raharja Sulistya (45). Sama seperti para pedagang tadi, ia juga tidak tahu pasti soal asal-usul maupun cerita tentang makam tersebut. 2 rekannya sesama pegawai di sana juga tidak tahu. Dari cerita turun temurun, Esthi hanya tahu bahwa makam itu sudah ada sejak jauh sebelum adanya bangunan pasar. Karena itu pula, ketika bangunan fisik pasar dibangun secara lebih besar dan tertata pada dekade 1990-an, makam tersebut tidak dipindah.
Menyoal para peziarah, pria itu pun tidak tahu secara pasti. Ia hanya sering mendapat cerita dari para tukang parkir dan satpam jika memang sering ada peziarah ke sana dan kebanyakan berasal dari luar daerah serta dari pihak keraton. Keinginan pengelola pasar untuk memasang gembok di pintu makam pun pernah muncul. Niat itu belakangan urung, supaya tidak merepotkan peziarah dan pihak pengelola pasar.
Bagi Esthi, makam itu sendiri adalah bagian dari Pasar Godean. Kata pria itu, dalam rencana pembangunan pasar, makam Mbah Jembrak akan dijadikan lebih terbuka dengan tetap mempertahankan posisinya sekarang. Kini, ia dan teman-temannya sesama pegawai hanya membersihakannya makam itu sesekali.
Saat hendak beranjak pergi, para pedagang di sekitar makam kembali mendatangi dan bertanya-tanya soal tujuan saya. Beberapa orang menceritakan pengetahuan masing-masing tentang makam tersebut.
Mereka berkisah bahwa ada satpam yang sering menjadi sasaran pertanyaan orang-orang macam saya. Sayangnya, satpam itu sudah pensiun tahun lalu. Soal satpam ini sempat pula disinggung oleh Esthi. Sepengetahuannya, sang satpam mendapatkan cerita tentang Mbah Jembrak secara turun-temurun dari leluhurnya. Satpam itulah yang dalam berbagai artikel di internet dijadikan rujukan informasi tentang makam.
Guru spiritual Sultan Agung
Seorang pria berbadan besar datang belakangan. Ia memberikan satu nama yang disebutnya paham lebih lengkap tentang makam ini dibandingkan satpam tadi. “Bilang saja diberitahu Eni, pasti dia kenal,” begitu katanya. Nama itu adalah Agus Tri Yuwono.
Saat saya mencari keberadaan Agus di Brongkol, beberapa orang tetangga menyebut sosok itu sebagai seorang kamituwa atau orang dengan ilmu lebih di dusun. Agus bercerita ia sudah meneliti dengan caranya sendiri tentang makam Mbah Jembrak sejak tahun 1996. Ia juga merunut silsilah Mbah Jembrak dengan dibantu oleh sang guru tadi.
Menurut Agus, Mbah Jembrak bukanlah tokoh Perang Jawa. “Perannya jauh lebih besar daripada itu,” terangnya. Berdasarkan hasil penelusurannya, sosok Mbah Jembrak adalah pria asal Kediri yang menjadi guru spiritual Sultan Agung. Dari Mbah Jembrak lah raja besar Mataram Islam itu berguru soal ilmu kebatinan dan spiritualisme Jawa.
Saat tidak lagi menjadi guru sang raja, Mbah Jembrak dan istrinya kemudian tinggal di daerah Godean. Di sana, ia mengangkat 2 orang murid yang kelak juga menjadi tokoh dalam spiritualisme Jawa. Selain itu, Mbah Jembrak juga membantu para wong cilik, terutama pedagang, yang dizalimi sesamanya. Hal ini cocok dengan cerita Mbah Jembrak versi penelusuran internet tadi. “Caranya sih bermacam-macam, sesuka hati beliau,” terang Agus.
Anak buah Pangeran Diponegoro?
Keterangan para pedagang pasar, Esthi, dan juga Agus paling cocok satu sama lain adalah soal Mbah Jembrak sebagai leluhur dan sesepuh wilayah Godean sekarang. Berdasarkan penelusuran Agus, sosok ini kelak mempunyai beberapa murid lain dan menjadi wedana di sekitar wilayah Godean.
Misteri dan kesimpangsiuran makam ini tidak berhenti begitu saja. Saya mencoba bertanya pada Rahadi Saptata Abra (50), Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro. Lucunya, ia belum pernah mendengar nama Mbah Jembrak sebagai anak buah Diponegoro selama Perang Jawa.
“Ini informasi baru bagi saya, akan coba saya konfirmasi ke bagian sejarah,” ungkapnya. Namun, Rahadi juga membenarkan bahwa memang banyak peninggalan sejarah yang dikatakan masih berkaitan dengan Pangeran Diponegoro. “Bisa jadi itu cerita turun temurun,” katanya.
Lalu tentang nama Senopati Gagak Handoko, Rahadi mengatakan andai saja benar bahwa sosok itu merupakan senapati perang Diponegoro, itu terasa aneh. Sebab, sistem penamaan keprajuritan Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa menggunakan istilah serapan bahasa Arab karena mengadopsi sistem keprajuritan di Khalifah Turki Utsmani.
Jika saja semua sumber itu digabungkan, misteri makam Mbah Jembrak pun masih jauh dari kata terang. Andai, misalnya, Mbah Jembrak memang punya nama lain Gagak Handoko, maka salah satu makam entah di Godean ataupun di Loano pastilah petilasan.
Lalu, andai Mbah Jembrak memang merupakan anak buah Diponegoro pun bisa saja benar. Sebab, ada satu makam lain dua kilometer di utara Pasar Godean yang dikatakan warga sekitarnya sebagai makam anak buah Pangeran Diponegoro.
Sekitar 3 kilometer di utara, ada pula nama Dusun Kasuran dan turut disebut sejarawan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan sebagai salah satu lokasi pertempuran Sentot Alibasah di masa awal Perang Jawa. Artinya, bisa jadi, daerah sekitar Godean pernah dijadikan area pertempuran selama perang.
Mbah Jembrak, masih membantu pedagang Pasar Godean
Keterangan Agus bahwa Mbah Jembrak adalah guru Sultan Agung pun terasa misterius. Andai ini benar, telah ada kehidupan sosial di sekitar Godean sebelum adanya ibukota Mataram di Plered. Artinya pula, Mbah Jembrak sudah ada di tempat ini sejak tahun 1600-an. Padahal, dalam laman resmi Kecamatan Godean, sejarah administrasi pemerintahan wilayah ini baru dimulai dari Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1916. Jika memang penelurusan Agus benar adanya, Godean punya rentang 300 tahun yang masih belum ditemukan.
“Makam Mbah Jembrak di Godean itu makam atau petilasan, Pak?” tanya saya pada Agus. Ia hanya tersenyum sambil menerawang jauh cukup lama. ”Menurut penelusuran saya, beliau itu berada di sana hingga akhir hayat dan tidak mau dipindahkan. Tapi saya yakin beliau moksa jika melihat tingkat ilmu yang dimiliki,” terangnya, masih dengan menerawang.
Dua kilometer dari kami berbincang, orang-orang hilir mudik di tepi sebuah tembok pasar. Mereka tidak tahu saja, ada makam penuh misteri di balik tembok itu, terlindungi ketidaktahuan warga dan kesimpangsiuran informasi tentangnya. Mungkin bagi yang percaya, sosok Mbah Jembrak tetap membantu para pedagang mengadu nasib. Sementara lainnya, mungkin, tidak akan ambil pusing dengan sebuah pintu kayu yang letaknya serong.
Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Menikmati Mie Ongklok Longkrang, Mie Ongklok Tertua di Wonosobo dan liputan menarik lainnya di Susul.