Kisah Ki Ageng Gribig: Gagalkan Palembang Berpisah dengan Mataram dan Kue Apem dari Mekah

Kisah Ki Ageng Gribig: Gagalkan Palembang Berpisah dengan Mataram dan Kue Apem dari Mekah. MOJOK.CO

Ilustrasi Kisah Ki Ageng Gribig: Gagalkan Palembang Berpisah dengan Mataram dan Kue Apem dari Mekah. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ki Ageng Gribig pergi ke Mekah sebagai hadiah dari Sultan Agung karena berhasil mencegah Palembang memberontak ke Mataram. Dari perjalanannya ia membawa pulang berbagai oleh-oleh, salah satunya berbentuk kue apem atau apam. Ia lantas membagikan kue itu ke para santrinya sembari memerintahkan mereka melafalkan sebuah kalimat berbahasa Arab.

Ratusan tahun setelahnya, kalimat berbahasa Arab itu masih terpampang di berbagai lokasi sekitar makam sang ulama. Bahkan menjadi tradisi pembagian ribuan apem ke masyarakat setiap tahunnya di bulan Sapar dalam penanggalan Jawa. 

***

Dari Bayat, saya bergerak menuju arah utara Kabupaten Klaten. Satu makam lain memanggil untuk saya ziarahi. Sekali lagi, saya sekadar berbekal rasa penasaran dan bantuan Google Maps. Tanpa tahu apakah di sana ada juru kunci, tanpa tahu jam operasional makam.

Tiba di lokasi sesuai arahan Google Maps, sebuah masjid besar terlihat dengan riuh-rendah para siswa yang sedang menjalani pelantikan kader Tapak Suci. Saya sekadar tahu itu dari sebuah banner. Sekilas, tempat itu terlihat seperti area outbound. Bergerak ke bagian bawah masjid, anak tangga sudah menunggu dan akan membawa pengunjung ke area tepi sungai kecil. Di sana ada sebuah lapangan dan amphitheater.

Menuju ke sisi utara lapangan, akan menemukan sebuah musala kecil dan gua. Saya sempat bingung mencari letak makam sebelum akhirnya kembali ke atas dan menemukan sebuah gapura kecil. Inilah makam Ki Ageng Gribig, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa pada masa lalu.

Sebuah tugas diplomasi dari Sultan Agung

Memasuki area makam, pengunjung harus melewati sebuah jalan di sela pemakaman umum sebelum menemukan sebuah pendapa besar dengan cungkup kayu kecil di bagian tengah. Di dalam cungkup itulah terdapat nisan Ki Ageng Gribig dan Nyi Ageng Gribig.

Ratusan tahun sebelumnya, di Istana Mataram, rasa risau melanda Sultan Agung karena salah satu vasal Mataram di Sumatra yakni Kesultanan Palembang hendak memisahkan diri. Raja itu lantas berdoa dan setelahnya ia melihat suatu pulung jatuh di daerah Jatinom. Sultan Agung memutuskan mendatanginya. Di jalan, ia bertemu dengan Sunan Pandanaran dan mendapatkan informasi bahwa di Jatinom memang ada seorang ulama pertapa.

Tempat yang dipercaya sebagai lokasi salat Ki Ageng Gribig. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Sang ulama dan sang raja lantas bertemu di sebuah gua. Kepada ulama bernama Ki Ageng Gribig itu, Sultan Agung memintanya pergi ke Kesultanan Palembang untuk mencegah wilayah itu memisahkan diri. Berbekal rasa hormat dan pengakuan Gribig kepada raja, ia berangkat menuju tanah Sumatra.

Sampai di istana Palembang, ia mengatakan maksud dan tujuannya kepada seorang adipati. Singkat kata, untuk membuktikan legitimasinya, Gribig memutarkan sorbannya dan membuat gempa di istana. Sang adipati Palembang lantas mengakui kesaktian utusan Mataram tersebut dan mengurungkan niat untuk memisahkan diri.

Cerita lokal di atas saya dapatkan dari K.R.T Muh. Daryanta Rekso Hastono Dipura (59), salah satu pengelola makam Ki Ageng Gribig. Ketika saya berziarah, saya bertemu dengan dua pengelola makam dan mereka mengarahkan untuk menghubungi Daryanta.

“Di sini tidak ada istilah juru kunci, adanya pengelola makam,” terang dua pria tadi. Daryanta membenarkan perkataan tersebut. Ia mengatakan bahwa para pengelola makam merupakan orang-orang yang mendapatkan panggilan hati untuk merawat makam sang ulama. Walaupun demikian, Daryanta mendapat nama kekancingan dari Kraton Surakarta.

Ki Ageng Gribig, keturunan Brawijaya dan Sunan Giri

“Beliau adalah keturunan Brawijaya dan Sunan Giri,” Daryanta membuka cerita tentang asal usul sang ulama. Dari besanan dua tokoh ini, muncul nama Raden Joko Dolog atau Wasibagno, kelak orang mengenalnya sebagai Ki Ageng Gribig I. Setelah itu, ada nama Ki Jetayu sebagai Ki Ageng Gribig II dan Wasijiwo sebagai Ki Ageng Gribig III. Wasijiwo kelak mempunyai keturunan bernama Syeh Wasibagno Timur yang kelak terkenal sebagai Ki Ageng Gribig IV dengan makam di Jatinom, Klaten.

Masa hidup tokoh satu ini berkelindan dengan masa kekuasaan Sultan Agung. Selain itu, Gribig IV juga berhubungan dengan Sultan Agung lewat istrinya, Raden Ayu Winongan, yang merupakan adik raja Mataram tersebut. Daryanta mengisahkan bahwa Gribig IV merupakan penyebar agama di daerah sekitar Jatinom pada masanya. Walaupun demikian, sosok ini tidak mendirikan pesantren khusus.

Bagian dalam makam Ki Ageng Gribig IV. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

“Para santri Mbah Ki Ageng Gribig itu santri kalong, tidak menetap. Jangankan pesantren, rumah saja beliau tidak punya,” terang Daryanta. “Bagi beliau, rumah itu tidak penting, yang penting adalah menyiarkan agama,” lanjutnya.

Ki Ageng Gribig dan tradisi Yaquwiyu

Lalu, bagaimana Ki Ageng Gribig atau Syeh Wasibagno Timur bisa begitu identik dengan tradisi Yaqowiyu di Jatinom, Klaten? Sebuah tradisi pembagian apem kepada masyarakat setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa.

Alkisah, setelah sukses dengan misi diplomasi ke Palembang, Sultan Agung menawari Ki Ageng Gribig IV berbagai jabatan sebagai hadiah. Namun, berbagai tawaran itu ia tolak. Belakangan, oleh Sultan Agung, ia mendapat hadiah untuk naik haji. Dari tanah suci, sang syeh membawa oleh-oleh berupa 3 hal yaitu air, tanah, dan penganan. Daryanta menyebut kejadian ini terjadi tahun 1619.

Setibanya di tanah Jawa, Gribig IV mengumpulkan santri-santrinya dalam suatu majelis. Ia lantas membagikan penganan oleh-oleh tadi ke para santri sembari meminta mereka memohon kekuatan lewat doa dalam bahasa Arab, yakni yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin yang artinya kurang lebih, berilah kekuatan kepada kami segenap kaum muslimin.

Dari doa tersebut kemudian lahirlah tradisi yaqowiyu yang diambil dari bagian akhir di doa tersebut.

Sebagai sebuah cerita lokal, penuturan Daryanta tentu sulit membandingkannya dengan versi sejarah akademis. De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa hanya menyebut kemungkinan bahwa daerah Jatinom sudah menjadi tempat ziarah umat Islam pada abad 16. Ia juga turut menyinggung perayaan religius tahunan dengan melemparkan kue apem ke para pengunjung.

Jadi tempat wisata religi

Keinginan Palembang memisahkan diri dari Mataram juga jarang disinggung dalam berbagai literatur. Dalam catatan-catatannya, De Graaf menggarisbawahi pasang-surut hubungan Mataram-Palembang lebih karena pengaruh kebijakan politik Kompeni. Dalam Puncak Kekuasaan Mataram, De Graaf menyebut nama penguasan Demak di masa Sultan Agung, Tumenggung Suranata, sebagai pihak yang mendapat tanggung jawab memelihara hubungan dengan Palembang.

Ribuan orang berebut apem Ya Qowiyyu di Jatinom, Klaten. (jatengprov.go.id)

Puncak Kekuasaan Mataram juga menyebut nama Syeh Manganti sebagai sosok yang mengislamkan Gribig, tanpa menyebut angka. Jika memasukkan nama ini di Google, akan muncul hasil bahwa ia merupakan tokoh penyebar Islam di Malang dan bertautan dengan sosok bernama Gibig atau Gribig. Narasi ini agak cocok dengan versi Daryanta bahwa Raden Joko Dolog atau Wasibagno makamnya ada di Desa Gribig, Malang.

Hampir 400 tahun sudah berlalu sejak masa hidup Ki Ageng Gribig IV. Tempat sekitar makamnya kini sudah berubah menjadi sebuah destinasi wisata religi. Di dekat makam, terdapat Masjid Gedhe Jatianom. Belakangan saya tahu area terbuka di bawah makam Ki Ageng Gribig sebutannya, Oro-Oro Sendang Plampeyan.

Tempat ini berperan penting dalam pelestarian kisah Ki Ageng Gribig IV karena menjadi tempat perayaan Yaqowiyu. Perayaan ini berlangsung setahun sekali setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa dan bertepatan dengan haul Ki Ageng Gribig IV. Dalam perayaan ini, berton-ton apem akan dibagikan ke para pengunjung.

Makam-makam kuno pengaruh Majapahit, Demak, dan Mataram

Lafal ‘yaa qawiyyu’ juga tidak hanya bertahan dalam bentuk perayaan tahunan melainkan turut menghiasai berbagai tempat di sekitar makam. Kalimat ini bisa ditemukan misalnya di gapura perkampungan sekitar. Penjaga makam juga menjual apem yaa qowiyyu bagi para peziarah atau pengunjung.

Memasuki area utama makam, terdapat himbauan untuk jalan jongkok. Cungkup berisi nisan Ki Ageng Gribig IV dan Nyi Ageng Gribig berada di tengah area di bawah sebuah joglo kecil. Kain putih menyelubungi kedua nisan dan sebuah bangunan kayu berwarna senada melindunginya. Tempat ini mengalami renovasi besar-besaran pada tahun 1908 di masa pemerintahan Pakubuwono X, begitu sebut Daryanta. Di komplek makam ini sendiri terdapat banyak makam-makam kuno.

Komplek utama makam Ki Ageng Gribig IV. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

“Bentuknya ada yang dipengaruhi kebudayaan Majapahit, Demak, dan Mataram,” demikian sebut Daryanta.

Pria itu juga berkisah bahwa makam Ki Jetayu atau Ki Ageng Gribig II dipercaya berada di komplek ini. Sayang belum ada yang menemukan keberadaan makam tersebut.

Mengenai bangunan musala di dekat sungai, Daryanta mengatakan bahwa itu merupakan tempat Ki Ageng Gribig IV melakukan salat. Musala untuk melestarikan peninggalan sang syeh dari masa silam. Terkait pengelola makam, Daryanta bilang bahwa jumlahnya tidak sampai 25 orang. Mereka inilah pihak utama yang menjaga keberadaan makam Ki Ageng Gribig dan kegiatan-kegiatan di sana, termasuk menjadi semacam tim inti dalam tradisi yaa qowiyyu.

***

Doa sederhana sudah selesai saya panjatkan dari depan pintu cungkup. Saya kembali bergerak mundur sembari jongkok, mengikuti tulisan himbauan di makam. Suasana hari itu cukup sepi dan lengang untuk ukuran bulan Ruwah, sebuah bulan yang identik dengan ziarah kubur sebelum datangnya Ramadan.

Sebelum pulang, tidak lupa saya membeli sebungkus apem yaa qowiyyu, sekadar untuk merasakan dan membandingkan dengan apem di Yogyakarta. Jangan-jangan, apem ini rasanya berbeda karena turut dibuat dengan reproduksi cerita seorang syeh kondang di masa lalu, yang menyitir pendapat M.C. Rickfels, sebagai cerita-cerita ajaib yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa masa lalu.

Penulis: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menengok Makam Sunan Bayat di Selatan Klaten, Konon Azan Terdengar Hingga Demak dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan. 

 

Exit mobile version