Penggembira Muktamar Muhammadiyah datang dari seluruh penjuru Indonesia. Tanpa kedatangan mereka, musyawarah terbesar Persyarikatan Muhammadiyah tak akan ramai dan penuh gegap gempita.
Usia, biaya yang besar, dan perjalanan jauh tak menghalangi kedatangan mereka. Ibaratnya, ini adalah perjalanan spiritual yang harus mereka tuntaskan untuk sampai di arena muktamar. Meski sepanjang acara tidak bisa masuk ke dalam arena, mereka tetap senang. Semua itu karena cinta. Mojok merekam berbagai kisah penggembira yang hadir di Muktamar Muhammadiyah ke-48, 18-20 November 2022 di Surakarta.
***
Nurlita Tanjung (77) adalah salah satu penggembira muktamar yang paling menginspirasi. Ia datang seorang diri dari Pematang Siantar, Sumatera Utara ke Surakarta. Menggunakan bus ALS tanpa ada yang mendampingi.
Selain Nurlita, masih banyak kisah haru para penggembira muktamar yang bisa ditemui. Salah satunya di Embarkasi Haji Donohudan, Boyolali yang letaknya sekitar lima kilometer dari pusat perhelatan Muktamar Muhamamadiyah dan Aisyiah di Edutorium UMS.
Sabtu (19/11) malam tempat yang sempat menampung lebih dari seribu penggembira muktamar itu mulai lengang. Masih ada ratusan penggembira. Namun, sebagian besar sudah terlelap. Sabtu ini jadi hari penuh gegap gempita sekaligus melelahkan bagi para muktamirin.
Ada empat orang ibu-ibu yang menarik perhatian saya. Mereka sedang santap malam di sudut musala. Raut lelah terlihat dari wajah mereka. Kaki diselonjorkan sambil berbincang hangat. Mereka adalah penggembira dari Agam, Sumatera Barat.
Usia mereka sudah tidak muda lagi. Ada Zulhepinawati (51), Asmi (63), Amelia (63), dan yang paling sepuh yakni Risma (72). Perjalanan jauh telah mereka tempuh. Berangkat Selasa (15/11) pagi dan sampai Surakarta Kamis (17/11).
Total rombongan mereka ada 70 orang. Namun, yang mendapat undangan resmi hanya tujuh saja. Undangan resmi memungkinkan para peserta untuk mengakses berbagai arena muktamar. Sisanya, hanya ikut meramaikan.
“Awalnya ada info kalau satu undangan itu bisa untuk sepuluh orang. Tapi ternyata tidak. Ya sudah nggak papa,” kata Zulhepinawati.
Pagi tadi mereka semua berbondong-bondong ke Stadion Manahan untuk menyaksikan kemeriahan pembukaan muktamar. Tidak bisa masuk stadion buat mereka tidak jadi soal. Melihat kemeriahannya saja sudah senang,
“Pasti pengen masuk. Tapi nggak masuk juga sudah senang,” kata Amelia.
Keempat perempuan paruh baya ini baru pertama kali datang ke muktamar. Jika ditanya kenapa rela jauh-jauh tapi tidak bisa masuk ke berbagai arena, jawabannya mereka sederhana: rasa cinta.
“Kami ini sudah dididik di sekolah Muhammadiyah sejak kecil. Setiap minggu ikut pengajian Aisyiah. Pengen rasanya dulu ikut muktamar tapi baru kali ini kesampaian. Seperti ini sudah senang,” timpal Risma dengan suara yang sudah serak.
Untuk datang kemari, mereka menggunakan uang pribadi. Mengeluarkan uang untuk urusan persyarikatan bukan masalah bagi mereka.
Bahkan mereka pun tidak peduli siapa sosok-sosok yang nantinya akan terpilih dalam Muktamar ke-48 ini. Mereka tidak mengikuti desas desus dan perbincangan siapa yang akan menjadi Ketum dan Sekum. Begitu pula menjagokan salah satu di antaranya puluhan calon yang diputuskan dalam sidang Tanwir.
“Wah siapa saja saya percaya. Insyaallah Muhammadiyah dipimpin oleh orang yang tepat,” ucap Risma.
Minggu pagi mereka akan meninggalkan Surakarta. Namun, hendak mampir terlebih dahulu ke Jogja. Mereka ingin datang ke makam KH Ahmad Dahlan lalu mampir ke Malioboro.
Sudah menjelang jam sembilam malam, mereka hendak beristirahat sehingga saya tidak bisa berbincang lama. Saya lalu beranjak ke ruangan di mana para penggembira laki-laki berada. Di salah satu ruangan besar yang dengan puluhan kasur tersedia, ada sekitar sepuluh bapak-bapak yang masih terjaga.
Mereka berasal dari berbagai daerah. Namun, kebanyakan dari Sumatra. Saya berbincang dengan Erdianto (52) dan Sutoyo (50) yang datang dari Medan. Mereka penggembira perwakilan dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sunggal.
“Dari PCM ada sepuluh orang. Tapi berangkat terpisah. Kami berdua bareng naik ALS,” jelas Erdianto.
Perjalanan spiritual bersama bus ALS
Mereka penempuh perjalanan yang tidak mudah. Berangkat dari Medan sejak Minggu malam dan baru sampai di Embarkasi Haji Donoyudan Jumat subuh. Lima hari lima malam mereka tempuh dengan penuh tantangan. Jauh lebih lama dari estimasi mereka.
Erdianto bercerita kalau awalnya, bus ALS dengan tiket sebesar Rp600 ribu menyanggupi untuk mengantar sampai Solo. Tapi ternyata hanya berhenti di Semarang. Mereka berdua sampai di Semarang, Kamis pukul sebelas malam. Pihak bus menjanjikan akan dilempar ke unit lain yang mengantar ke Solo. Tapi setelah menunggu sampai jam tiga dinihari tidak ada satu bus pun yang menjemput.
“Ya ALS itu kan langsung bablas Surabaya. Kami tunggu pun nggak ada. Akhirnya kami sewa mobil 450 ribu untuk mengantar sampai sini,” curhat Erdianto. Terlihat getir namun tetap ia bawa tersenyum.
Sutoyo, rekannya lalu menimpai, sebelum bisa sampai Semarang, mereka sudah melewati banyak tantangan. Kendala-kendala yang membuat perjalanan mereka molor lama. Di Lampung misalnya, bus mereka harus terhenti agak lama karena ada longsor yang menutup bahu jalan. Lalu di Tol Cikampek, mereka juga terjebak macet sampai lima jam.
Mereka bersyukur bisa sampai Solo. Hari pertama mereka lebih memilih berstirahat dan berbincang dengan sesama penggembira di Embarkasi Haji Donohudan. Padahal Jumat malam ada acara meriah bertajuk Malam Mangayubagyo di Edutorium UMS yang disiapkan panitia untuk para penggembira.
“Hujan deras kami memilih di sini saja. Bisa ngobrol dengan para penggembira dari berbagai daerah,” kata Sutoyo.
Keesokan harinya, mereka juga tidak bisa masuk Stadion Manahan untuk menyaksikan pembukaan. Bahkan untuk mendekat ke area stadion saja mereka tak bisa karena kepadatan para peserta. Bagi para muktamirin, agenda itu jadi yang paling diharapkan dan ditunggu-tunggu.
Mereka sempat berusaha ke sana. Bergabung naik mobil bersama rombongan penggembira dari sebuah rumah sakit di Surabaya. Alih-alih bisa mendekati stadion, mereka justru terpaksa parkir sembilan kilometer dari lokasi pembukaan.
“Itu lucunya. Posisi kami ini kan sekitar tujuh kilometer dari Stadion Manahan. Malah mobilnya kesasar parkir sampai dekat Bandara Adi Sumarmo. Akhirnya kami jalan dari sana,” ujar Sutoyo terbahak.
Mereka akhirnya turun dari mobil dan berjalan kaki. Harapan bisa ke stadion pupus sehingga mereka memutuskan ke salah satu titik keramaian muktamar di de Tjolomadoe. Di sana mereka ingin melihat stan-stan amal usaha Muhammadiyah dari berbagai daerah.
Di jalan, saking ramainya, mereka berdua terpisah. Sutoyo berhasil sampai de Tjolomadoe. Namun Erdianto malah mengikuti rombongan lain ke Editorium UMS. Selain karena ramai, mereka terpisah karena sama-sama asyik berbincang dengan keluarga Muhammadiyah dari berbagai daerah di sepanjang jalan.
“Jalan jauh jadi nggak terasa, banyak barengannya dan banyak berbincang. Pegelnya baru kerasa saat pulang,” tutur Sutoyo sambil memijat kakinya.
Baca halaman selanjutnya
Kecintaan yang membuat rela hati
Kecintaan yang membuat rela hati
Sebagai penggembira, mereka paham tidak punya keistimewaan untuk mengakses beragam hal. Tapi, mereka bertekad untuk memeriahkan acara ini.
Mereka berdua mengaku lebih senang bisa berjumpa dengan warga Muhammadiyah dari berbagai daerah ketimbang bisa memasuki beragam arena Muktamar. Mereka ingin mendengar dan berbagi cerita dari beragam kalangan.
“Kita kan mau melihat perkembangan Muhammadiyah di suatu tempat. Kita mau bersilaturahmi keluarga Muhammadiyah Indonesia, bahkan ada yang dari luar negeri. Setelah melihat, ternyata banyak universitas dan bahkan SD Muhammadiyah sudah berkarya, kami ingin mengembangkan di daerah kita,” jelas Sutoyo.
Pengalaman yang ia lihat dan dapat di sini ingin ia bagikan ke para warga Muhammadiyah di kampung halaman yang tidak bisa datang. Sutoyo ingin mengabarkan betapa besar Muhammadiyah dengan jemaah, gerakan, dan amal usahanya.
Simpatisan Muhammadiyah di PCM-nya hanya bisa berangkat sepuluh orang. Jika dibandingkan dengan rombongan dari Jawa, satu cabang bahkan ranting, bisa membawa berbus-bus penggembira.
“Kami ingin pulang membawa semangat untuk jemaah di rumah,” lanjut Sutoyo dengan khidmat.
Untuk datang ke sini mereka harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga. Sutoyo misalnya, sehari-hari bekerja serabutan. Kadang narik ojol, berjualan pakaian, dan punya bengkel las. Sedangkan Erdianto merupakan pegawai di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Hampir dua pekan semua kesibukan ditanggalkan untuk menghadiri muktamar.
Di sudut lain ruangan ini, seorang lelaki paruh baya juga terlihat begitu antusias bercerita. Penggembira lain di duduk melingkar mendengarkan kisah dari lelaki asal Fak-fak, Papua Barat bernama Muhammad Ilyas itu (68) tahun itu.
Ia menceritakan betapa Muhammadiyah telah berperan besar di kehidupannya. Menjelaskan alasannya datang kemari seorang diri.
“Saking cintanya sama organisasi. Kalau dibelah dada ini, ada Muhammadiyah di dalam,” kelakarnya lelaki yang mengaku pensiunan pegawai RRI ini. Disambut tawa hangat para penggembira lain.
Kebersamaan mereka terasa begitu menyenangkan. Mereka bahagia bisa berjumpa dan berbagi cerita satu sama lain. Minggu (20/11) muktamar ditutup dan mereka akan kembali ke daerah masing-masing. Membawa semangat juang KH Ahmad Dahlan yang sudah mereka dapatkan di Surakarta.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono