Di Kampung Peneleh, Surabaya terdapat sebuah bangunan masjid tua yang diperkirakan sudah berusia lebih dari enam abad atau 600 tahun. Ialah Masjid Jami Peneleh Surabaya. Masyarakat mempercayai masjid itu didirikan oleh Sunan Ampel pada 1421 H saat dia singgah di sana.
***
Saya mengunjungi Masjid Jami pada 2022 lalu. Letaknya cukup unik karena berada di tengah-tengah pemukiman dan berada di pusat kota Surabaya, tepatnya di Jalan Peneleh Gang V.
Saya datang ke lokasi mendekati waktu zuhur. Hanya ada satu orang tua yang duduk di saf pertama perempuan, sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sementara, saf laki-laki masih kosong.
Sambil menunggu waktu azan, saya melihat-lihat isi bangunan. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki yang hendak bersiap azan. Rupanya, dia adalah Takmir Masjid Jami Peneleh, Muhammad Sufyan.
Usai salat zuhur, saya menyapa Sufyan dan bertanya seputar Masjid Jami Peneleh. Dengan senang hati, Sufyan mau menceritakannya.
Awal mula Sunan Ampel mendirikan Masjid Jami Peneleh Surabaya
Berdasarkan cerita Sufyan, masyarakat percaya jika masjid tersebut didirikan oleh Raden Rachmat atau Sunan Ampel. Letaknya yang berada di dalam kampung, merupakan ciri khas bangunan dari Wali Songo.
“Meskipun nggak ada bukti otentik, tapi para sesepuh cerita kalau masjid yang dibangun oleh para wali ya modelnya seperti ini, yakni masjid besar di dalam kampung, bukan di pinggir jalan atau jalan besar,” kata Sufyan saat ditemui di Masjid Jami Peneleh pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Mulanya, Sunan Ampel diberi hadiah oleh Raja Majapahit berupa tanah di daerah perdikan atau kawasan Ampel Denta. Dia pun begegas datang ke Surabaya. Alih-alih melintasi jalur darat, Sunan Ampel memilih jalur sungai dengan menaiki perahu.
Dalam perjalanan tersebut, Sunan Ampel singgah di Kampung Peneleh. Di sana, dia mencoba berbaur dengan masyarakat kampung yang masih menganut hinduisme, animisme, dan dinamisme. Salah satu caranya dengan mengikuti permainan sabung ayam.
Hebatnya, saat perlombaan sabung, ayam milik Sunan Ampel tak pernah kalah. Warga yang mulai tertarik akhirnya sering mengajak ngobrol Sunan Ampel. Saat itulah, secara tidak langsung Sunan Ampel memasukkan topik-topik Islam dalam diskusinya.
“Wali Songo dalam menyebarkan syiar agama islam itu semrawuh (terbuka) dalam masyarakat. Dia beradaptasi di situ dan memasukkan nilai-nilai keagamaan,” ujar Sufyan.
Pembicaraan itupun diterima dengan baik, hingga warga yang berkumpul semakin banyak. Alhasil, Sunan Ampel mendirikan Masjid Jami Peneleh Surabaya untuk beribadah sekaligus berdiskusi.
Arsitektur Masjid Jami Peneleh yang Unik
Saya memasuki ruang tengah Masjid Jami Peneleh seluas 999 meter persegi. Ruangan yang menyerupai joglo itu menjadi ruang utama shalat untuk jemaah.
Ornamen dan arsitektur bangunannya terkesan lawas. Terdapat sepuluh tiang kayu jati yang menyangga sisi bangunan. Berdasarkan literatur, tiang itu disebut sebagai Soko Guru atau penyangga utama. Soko Guru melambangkan malaikat Allah yang berjumlah sepuluh.
Di sekeliling langit-langit masjid, terdapat ukiran Arab bertuliskan nama para sahabat Nabi Muhammad yang ikut berjuang menegakkan ajaran Islam. Mereka adalah Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Saya seolah diingatkan untuk selalu berjuang dan mengingat perjuangan para sahabat.
Sementara itu, di setiap ventilasi kaca terdapat juga ukiran nama 25 nabi. Nama tersebut seolah mengelilingi dan menjaga bangunan masjid dari marabahaya. Lalu di sebelah utara, terdapat lima daun jendela besar bergaya klasik yang menyinari bagian dalam masjid.
Menyimpan barang-barang kuno
Langkah saya terhenti di area pintu masuk masjid, saat melihat kotak besi yang bergembok. Atasnya dibuat transparan dengan kaca, sehingga saya tahu ada bencet atau jam matahari di sana.
“Jam itu untuk menentukan waktu sholat. Kalau kena matahari baru bisa dipakai, lihatnya dari arah bayangan atau arah condong matahari,” kata Sufyan menjawab rasa penasaran saya.
Saya kemudian bertanya tentang sumur berdiameter sekitar 50 centimeter yang kini sudah ditutup dengan keramik. Sufyan mengatakan sumur itu merupakan peninggalan Sunan Ampel.
Dulu warga menggunakan sumur itu untuk mengambil air wudhu. Sebagian warga percaya sumur itu terhubung dengan sumur di Masjid Sunan Ampel yang berjarak sekitar lima kilometer.
Sebagai informasi, sebagian warga Surabaya percaya jika sumur di masjid Sunan Ampel terhubung dengan sumur zam-zam di Mekkah. Otomatis, sumur di Masjid Jami Peneleh juga terkena isu tersebut.
“Orang-orang sampai percaya kalau air di sumur ini bisa menyembuhkan penyakit,” kata Sufyan.
Akhirnya, sumur di Masjid Jami Peneleh Surabaya ditutup untuk menghindari informasi yang masih omon-omon itu. Para pengurus masjid takut jika sumur itu dikultuskan sampai merusak aqidah.
Sumur sebagai tempat menyimpan senjata
Selain karena takut dikultuskan, Sufyan mengungkap kandungan air di dalam sumur sudah tidak sehat lagi, sebab sudah terkontaminasi dengan logam berat.
Konon, sumur itu dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata oleh Laskar Hizbullah dan penjajah semasa perang kemerdekaan. Semasa kecil, Sufyan pernah melihat senjata itu secara langsung.
“Dulu sama sesepuh saya dilihatkan, bahkan diambilkan senjatanya karena airnya nggak sampai dua meter, biisa dipanjat. Dari lantai dasar sumur saja sebenarnya sudah kelihatan,” ucapnya.
Peneliti memang belum mengecek kondisi kandungan air di dalam sumur tersebut. Namun, para sesepuh berpikir jika senjata besi itu mengalami korosi selama bertahun-tahun, maka airnya bisa membahayakan warga sekitar untuk wudhu.
Bedug Masjid Jami Peneleh Surabaya menemukan tambatannya
Langkah saya berlanjut ke tangga serambi Masjid Jami Peneleh Surabaya. Saya melihat ada bedug kecil dengan ukuran diameter satu meter dengan panjang dua meter.
Sufyan bercerita perjalanan bedug itu cukup panjang untuk menemui tambatan hatinya. Mulanya, ia hanyut di sekitaran Kali Mas, tak jauh dari depan gang Masjid. Warga kemudian memungutnya.
Tak lama kemudian, salah satu warga di kawasan Ampel meminta bedug itu untuk dikirimkan ke Masjid Ampel. Setelah dikirim, warga mencoba untuk membunyikannya. Rupanya, suara yang keluar tidak sempurna.
Tak lama kemudian, bedug itu dipindahkan lagi ke Masjid Kemayoran Jakarta. Rupanya sama saja, suara yang dihasilkanpun tidak terdengar nyaring. Ibarat asam di gunung, garam di laut lalu bertemu dalam belanga. Rupanya, bedug tersebut hanya berbunyi keras di Masjid Jami Peneleh.
Dilirik sebagai cagar budaya
Setelah menjelaskan isi masjid, kami duduk santai di depan serambi. Di sana, saya menyinggung soal piagam penghargaan yang terpajang di tempat saf perempuan.
Piagam yang berada di dalam bingkai itu berisi penghargaan untuk Masjid Jami Peneleh sebagai Masjid Cagar Budaya atau Bersejarah di Kota Surabaya. Tertera juga tanda tangan dari Ketua Umum Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla pada Jumat (6/3/2020).
Namun, Sufyan justru sangsi dengan adanya piagam tersebut. Status cagar budaya tak memberikan dampak banyak bagi masjid maupun warga sekitar.
“Kalau namanya cagar budaya, kan seharusnya pemerintah menjaga segala keperluan dan kebutuhan dipenuhi, kan gitu? Padahal di sini nggak, kami rawat masjid ini hanya dari swadaya masyarakat,” ucap Sufyan.
Masjid Jami terhitung sudah mengalami dua kali renovasi, yakni di tahun 1970-an dan 1986. Berdasarkan cerita kyai sepuh yang diturunkan ke Sufyan, serambi tersebut digunakan untuk menampung jemaah yang membludak. Apalagi ketika hari Jumat.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Menyelamatkan Keindahan Masjid Sheikh Zayed Solo dari “Ulah Ngawur” Oknum Pengunjung
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News