Baru menjelang Subuh saya tiba di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Melihat tembok pondok itu sudah cukup membuat hati saya berdesir. Dengan perasaan gemetar, pikiran saya memusat pada satu sosok yang hendak saya sowani: Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri, akrab disapa Gus Mus; pengasuh pesantren ini, seorang budayawan, penyair, pelukis, dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2014—2015.
Sebelum menemui kiai itu, saya ikut salat Subuh bersama para santri. Di hadapan keran-keran, tampak para santri cilik yang masih imut-imut terkantuk-kantuk membasuh muka. Kepada seorang santri yang agak besar, saya melayangkan tanya, “Apa Gus Mus ada di rumah?”
Ia mengangguk. Katanya, Gus Mus baru pulang pukul 3 pagi tadi.
“Sudah janjian?’
“Sudah.”
“Kalau sudah janjian, pasti ketemu. Beliau selalu menepati janjinya.”
Salat Subuh itu tidak diimami Gus Mus. Selepas salat, saya diantar ke lantai dua pondok, ke sebuah ruangan kecil berkarpet hijau. Si pengantar kemudian menyilakan saya menunggu di situ sampai panggilan dari Gus Mus datang.
Panggilan itu datang nyaris pukul 9 pagi, menyentakkan saya dari tidur yang tidak sengaja. Santri yang membawakan pesan mengatakan, Gus Mus akan siap setengah jam lagi. Buru-buru saya mencari tumpangan untuk mandi.
Pukul 10 saya dipanggil dan dibawa ke sebuah ruang tamu luas berwarna hijau. Lantainya beralas karpet tebal. Camilan untuk tamu berjejer-jejer. Selain sejumlah foto dan kaligrafi di dinding, ada rak panjang di ruangan itu yang memajang deretan buku dan kitab-kitab. Gus Mus belum berada di ruangan itu.
Tak berapa lama kemudian sosok bertubuh tinggi besar keluar dari pintu yang berada di tengah rak-rak panjang itu. Ia bersarung dan berpeci putih, senyum terkembang di wajahnya yang tenang. Sontak saya berdiri dan mencium tangan, lalu kembali duduk di hadapannya dalam jarak sekitar tiga meter.
“Saya semalam pulang pagi lalu nonton bola, jadi habis Subuh ya mengganti utang tidur itu. Tidak baik utang tak dibayar,” Gus Mus langsung membuka obrolan dengan candaan.
Saya tertawa. “Iya, Mbah Yai.”
“Ayo diminum kopinya, merokok saja ya ndak papa. Cuma saya sudah berhenti merokok.”
Suasana makin cair. Saya pun membakar rokok.
Tanpa perlu diminta, beliau mulai mengisahkan banyak hal yang memang sangat ingin saya dengar langsung darinya selama ini. Salah satunya tentang cerita masa remajanya ketika disuruh berhenti mondok di Pondok Pesantren Lirboyo oleh ayahnya, Kiai Haji Bisri Mutofa.
Bagaimana anak seorang kiai pemilik pondok disuruh berhenti mondok, beginilah duduk perkaranya.
Sewaktu saya nyantri di Lirboyo, kebetulan temanan dekat sama Gus Miek, Gus Miek itu ya gusnya sana, kisah Gus Mus membuka cerita.
Gus Miek itu memang unik kelakuannya dari dulu. Pas pelajaran, dia datang ke kelas lewat jendela, ngajak saya jalan-jalan. Naik ontel. Pernah saya naik ontel sama Gus Miek dari Lirboyo ke Kertosono, tanpa pakai baju.
Ia terbahak saat menceritakan bagian ini. Untuk ukuran perjalanan dengan sepeda sejauh 30 kilometer tanpa pakai baju, itu termasuk unik yang lumayan kebangetan.
Gus Mus melanjutkan: benar-benar kayak orang gilalah kami ini. Suatu hari, saat liburan pondok, saya pulang ke sini, Rembang. Rambut panjang, pakai baju dan celana kombor ala pendekar Jawa begitu, dan bakiak yang dibuat sendiri dari kayu dengan dipasangi ban dalam.
Sampai di halaman rumah, abah saya melihat saya datang dengan gaya begituan, langsung memanggil Ibu. “Bu, Bu, sini to, anakmu muleh, sawangen (anakmu pulang, coba lihat).” Ibu saya muncul dari dalam dan kaget melihat penampilan saya. Kata abah saya, “Ini anakmu, wes dadi wali (sudah jadi wali).”
Saat liburan sudah habis, saya tak dibolehkan kembali ke Lirboyo sama Abah. Beberapa waktu kemudian, datanglah utusan dari Lirboyo menanyakan kenapa saya tak kembali ke pondok. Abah menjawab, “Iya, saya memang tak membolehkannya kembali ke Lirboyo.”
“La kenapa, Pak Yai?”
“Saya penginnya dia jadi kiai saja, meneruskan saya nantinya. ini malah jadi wali lo. Kan bisa kalah pamor saya, kalau anak sendiri jadi wali ….”
Gus Mus terkekeh lepas lama sekali di bagian ini.
Gus Miek yang dimaksud adalah Hamim Tohari Djazuli, lebih tua empat tahun dari Gus Mus. Putra Kiai Haji Ahmad Djazuli Utsman, pemimpin Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, ini dititipkan ayahnya kepada Kiai Haji Mahrus Aly untuk belajar di Lirboyo. Dasarnya memang nyeleneh, ia hanya bertahan selama 16 hari di Lirboyo, lalu pulang lagi ke Ploso.
Setelah kejadian “menjadi wali” itu, Gus Mus dikirim ayahnya ke Yogya untuk mondok di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak, yang diasuh oleh Kiai Haji Ali Maksum.
Menurut Gus Mus, Kiai Ali dikenal santrinya sebagai kiai yang berada. Ia memiliki banyak sawah dan kebun yang luas.
Suatu malam, saya sama teman-teman santri kasak-kusuk membicarakan tentang tanaman tebu Mbah Ali yang sudah siap panen, Gus Mus bercerita lagi. Kami lalu bersepakat hendak mencuri beberapa batang untuk dijadikan cemilan. Disesepi-lah, pasti enak itu, begitu pikir kami malam itu.
Pelan-pelan kami beranjak dari pondok. Pintu keluar memang harus melewati rumah Mbah Ali. Tiba-tiba suara Mbah Ali terdengar memanggil saya dari dalam rumahnya. Spontan kami gemetar. Saya yang dipanggil ya sendika dawuh dengan menunduk-nunduk. Selain soal sungkan, terutama deg-degan luar biasa merasa bersalah hendak mencuri tebunya.
Saya dipersilakan duduk di ruang tamu rumahnya. Mbah Ali lalu bilang, “Mus, itu di belakang ada beberapa batang tebu yang baru diambil dari ladang. Sengaja saya pilih yang bagus-bagus ….”
Ucapan Mbah Ali ini semakin membuat saya gemetar tak keruan. Untung saja tidak sampai kencing di sarung.
“Sana kamu ambil, ya.”
“Injih, Mbah Yai ….”
Saya pun ke belakang mengambil tebu-tebu yang sudah diikat rapi. Pas di halaman rumah, terdengar suara Mbah Ali lagi. “Mus, itu teman-temannya dibagiin ya tebu-tebunya. Kasihan, mereka pada pengin tebu ….”
Gus Mus tertawa lagi dengan sangat keras.
Selain mengisahkan cerita-cerita konyol masa mudanya, Gus Muh juga mengomentari persoalan terkini umat Islam. Terutama perkara pengajaran Islam yang menjadi semakin dangkal.
“Itu ya, perhatikan,” tuturnya, “Ustadz-ustadz tivi itu ya dulu ngajinya di mana? Nyantrinya sama siapa? Sanad ilmunya bagaimana, kan ndak jelas. Tahu-tahu mereka tampil di TV-TV, berceramah, didengarkan ribuan orang awam lainnya, masyarakat umum. Mereka tampan, kelimis, pakaiannya memikat, cara bicaranya memukau, wajar kalau didengarkan.
“Tapi ya itu, isi ceramahnya cenderung dangkal-dangkal gitu,” sambungnya. “Semudahnya saja mereka mengartikan ayat, hadis, lalu menyimpulkan hukumnya begini dan begitu. Seolah cukup bermodal Quran terjemahan Kemenag, selesailah semua urusan tafsir Al-Quran. Hahaha.”
Kali ini saya angkat suara. “Apa bukannya makin bagus, Mbah Yai, bila makin banyak orang yang tampil jadi penceramah begitu?”
“Bagus, tapi ruwet. Bagus kalau materi ceramahnya memang bermutu. Buat saya, ukuran mutunya ya sederhana: mengajak umat kepada cinta, kasih sayang, persaudaraan, karena Islam ya intinya akhlak karimah, tujuannya rahmatan lil ‘alamin. Ayat dakwah kan jelas menyeru kita pada hasanah, kebaikan. Baik dalam isinya, baik dalam penyampaiannya.
“Kenyataanya kan terbalik. Makin banyak ustadz-ustadz seleb itu, kan ya makin ruwet malah kehidupan Islam kita. Salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan. Manusia kok mengafirkan orang yang berbeda, itu kan ya kacau to. Manusia ya manusia saja, jangan mengambil alih hak mutlak Gusti Allah to.”
Beliau menyilakan saya mengambil cemilan di kaleng Khong Guan yang isinya tumben bukan rengginang, tapi keripik singkong.
“Lalu bagaimana solusinya, Mbah Yai?”
“Orang-orang muslim moderat ini ya harus tampil ke panggung. Melalui tulisan atau ceramah. Jangan diam lagi. Diam tak lagi membantu apa-apa pada keadaan yang makin mencemaskan ini. Kamu sendiri, apa yang telah kamu lakukan?”
Mak tratap saya mendengar pertanyaan itu.
“Ini, Mbah Yai, saya nulis buku ini.” Saya serahkan kepada beliau sebuah buku.
“Nah, tanda tangani dululah.”
Byuh, saya keder. Tapi, saya lakukan juga titahnya.
“Baguslah. Sekecil apa pun, ya harus melakukan sesuatu. Kalau kamu penulis ya teruslah menulis, sebarkan itu Islam yang ramah, sejuk, dan berakhlak karimah.”
Saya mengangguk. Speechless. Habis tulisan saya masih gitu-gitu aja.
“Kata kuncinya menurut saya sederhana. Ini bisa kamu pegang atau siapa pun. Kalau ada seorang ustadz, kiai, guru, atau siapa pun yang mengumbar wajah Islam yang keras, pemarah, ngamukan, ngafirin, itu tak usah diikuti. Islam itu sendiri kan artinya keselamatan, kedamaian, la kok ngamuk, ngafirin, itu tak masuk akal.”
Lepas itu, Gus Muh masih bercerita banyak, unik-unik dan menggelikan. Termasuk ceritanya soal kuliah ke Mesir tanpa ijazah dan masa kumpulnya bersama Gus Dur di sana.
Menjelang Zuhur saya pamit undur diri. Bukan tak ingin lebih lama bersama Gus Mus, tapi karena harus tahu diri. Lagian, saya sudah lapar banget. Dari pagi belum sarapan. Kalau terus berbincang, kapan saya makannya? Begitu gumam batin saya.
Tiba-tiba Gus Mus berkata, “Itu makan dulu, kamu kan sudah lapar banget. Itu di belakang, sudah disiapkan.”
Duh iyung! Jantung saya seketika berdentum. Mak tratap. Saya hanya kuasa menunduk-nunduk ketika melintasinya menuju meja panjang di balik rak buku yang telah dipenuhi jejeran nasi dan lauk pauk.
Saya pun makan dengan lahap. Sambil menekan hati dalam-dalam, jangan membatin apa pun, jangan ….