Hampir setahun pedagang kaki lima di Jalan Malioboro boyongan. Suasana lokasi yang jadi favorit wisatawan ketika datang ke Kota Yogya ini dengan sendirinya berubah.
Mojok menyusuri Jalan Malioboro di waktu gerimis turun pada awal Desember 2022. Suasana saat ini tentu saja kontras dengan suasana di akhir tahun 2021. Saat itu, suasana di trotoar Jalan Malioboro masih dipadati wisatawan. Suasana mulai berubah sejak 1 Februari 2022, saat 1.800 PKL Malioboro boyongan ke Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.
***
Hari beranjak malam di Jalan Malioboro. Hujan belum lama usai menyisakan basah dan lembab di segala permukaan. Jalan, kursi, hingga tanaman di sekitarnya belum tuntas dari basahnya.
Seharian ini Jogja memang diguyur hujan deras. Lepas isya setelah hujan reda, para wisatawan baru berbondong-bondong memadati jalan sepanjang dua kilometer ini. Jalan Malioboro yang ditutup dari kendaraan bermotor setiap pukul 18.00-21.00 membuat mereka lebih leluasa beraktivitas.
Trotoar padat oleh pejalan kaki. Muda-mudi asyik berswafoto. Pasangan muda bergandengan mesra sambil berjalan perlahan seakan ingin menikmati setiap langkahnya. Sesekali skuter listrik yang dinaiki muda-mudi dengan gesit membelah keramaian ini. “Permisi-permisi,” kata para penunggangnya tanpa rasa berdosa mengganggu pejalan kaki.
Tempat duduk yang tersedia di sepanjang trotoar banyak terisi. Di salah tempat duduk di seberang Teras Malioboro 2, seorang lelaki yang mengenakan rompi berwarna biru duduk termenung. Di pahanya, tergeletak sebuah kotak dengan tali yang melingkar di belakang bahunya. Kotak berisi berbagai merek rokok, korek gas, dan beberapa bungkus tisu yang ia asong tampak belum banyak berkurang.
“Hotel Mutiara di sebelah mana ya Pak?” tegur seorang lelaki yang sedang berjalan bersama istri dan satu anaknya pada bapak itu. Dengan ramah, sang bapak lalu menjelaskan arah hotel yang terletak di selatan Mall Malioboro.
Saya lalu duduk di kursi kosong tepat di sebelah sang bapak yang bernama Ahmad Rahman (54) ini. Masker tak ia lepas, namun dari matanya terlihat sorot lelah setelah seharian mengasong sepanjang jalan.
Lebih dari separuh hidup Rahman telah dihabiskan dengan mencari nafkah di Malioboro. Seingat pria asal Bumijo, Kota Yogyakarta ini, ia mulai berjualan asongan di sini sejak 1992. Saat itu, Rahman yang mulai beranjak dewasa harus segera punya penghasilan untuk membantu menghidupi orang tua.
Tanpa modal banyak, salah satu cara yang bisa ia lakukan adalah dengan berdagang asongan. Jadilah ia menekuni usaha ini hingga usianya menginjak kepala lima.
Menyaksikan Malioboro yang berubah wajah
Bagi Rahman, Malioboro sudah banyak berubah sejak awal ia menginjakkan kaki di sini untuk mencari nafkah. Perubahan itu terjadi paling signifikan awal tahun ini, saat Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mulanya berjajar sepanjang trotoar depan pertokoan direlokasi. Mereka kini menempati dua lokasi yakni Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.
Para PKL sudah menjadi seperti saudara bagi pedagangan asongan seperti Rahman. “Seperti keluarga sendiri, setiap hari ketemu, cari uang di tempat sama,” cetusnya.
Depan pertokoan yang kini lengang itu dulu jadi tempat para pedagang bertukar sapa dan berbagi keluh kesah. Rahman menyusurinya pagi, siang, hingga malam. Menawarkan dagangan di antara wisatawan yang sedang bernegosiasi alot dengan PKL.
Hal itu tak lagi bisa Rahman rasakan. Rekan senasib sepenanggungan sudah dipindahkan ke lokasi yang berbeda. Ayah dua anak ini mengaku kalau sekarang tidak bisa seenaknya melenggang ke Teras Malioboro untuk berkunjung.
“Kalau saya masuk sana bawa dagangan seperti ini dimarahin petugas. Tidak boleh,” ujarnya sambil memegang wadah rokok di pahanya.
Rahman merasa kalau dulu Jalan Malioboro terasa begitu ramai dan hidup saat para PKL berjajar. Tak susah untuk mengantongi lima puluh hingga seratus ribu sehari. Sedangkan sekarang ia merasakan situasi yang berbeda.
“Dari pagi sampai malam begini saja, kadang dapat bersihnya hanya dua puluh sampai dua puluh lima ribu,” cetusnya.
“Sekarang ini pagi sampai menjelang sore masih sepi rasanya. Dulu ada PKL terasa ramai sejak pagi,” paparnya.
Rahman tidak punya banyak pilihan selain terus mengerjakan apa yang sudah jadi mata pencahariannya selama ini. Banyak di antara kawannya yang sudah mundur sejak Malioboro berubah wajah seperti sekarang.
Bagi mereka yang perantau dan punya sebidang tanah di kampung halaman, pulang jadi pilihan. Mereka yang usianya masih muda bisa mencari pekerjaan lain. “Kalau saya sudah tua, tidak banyak pilihan,” katanya.
Di rumah, ada dua anak yang masih tinggal satu atap. Satu kelahiran tahun 2001 dan satu lagi kelahiran 2006. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan tapi malam masih panjang buat Rahman.
“Belakangan saya bisa sampai jam 12 bahkan sampai jam 1. Kalau dulu sih, jam 10 sudah pulang,” ujarnya.
Saya melanjutkan langkah ke arah selatan. Membelah keramaian. Di beberapa titik depan pertokoan yang tutup, musisi jalanan menampilkan pertunjukan menggunakan seperangkat alat musik yang lengkap. Di titik itu, para wisatawan berkerumun menikmati alunan musik berpadu suasana Malioboro yang syahdu selepas hujan.
Hal yang hilang dan yang baru
Langkah saya terhenti di depan Hotel Mutiara di mana seorang pria sedang menikmati musik sendirian dari kejauhan. Ransel besar ia letakkan di samping layaknya seorang musafir di tengah perjalanan jauh.
Lelaki bernama Hardiyanto (57) itu bercerita kalau Malioboro adalah persinggahan wajibnya saat sedang berkunjung ke Jogja. Tempat yang sejak lama terasa cukup spesial bagi lelaki asal Purwokerto ini.
“Sejak masih sekolah saya sering ke Malioboro. Dulu zaman sekolah motoran bareng-bareng ke Jogja. Di sini (Malioboro) nongkrong atau beli baju, batik, sabuk, dan segala macam,” kenangnya.
Saat ke Jogja setahun belakangan, Hardiyanto merasakan nuansa yang berbeda. Sesuatu yang menurutnya sudah jadi corak khas yakni PKL, hilang dari jalanan. Suasana keramaian PKL menurutnya jadi sesuatu yang sulit untuk dihilangkan dari Malioboro.
Ia menyayangkan situasi yang sekarang. Jalan ini seperti sudah tidak hidup lagi. Buatnya, merapikan tidak harus menghilangkan.
“Bisa dirapikan misal dibuat dagangnya jangan nempel toko, ditata jadi rapi. Membasmi sarang lebah tidak mesti harus membakar pohonnya. Pedagang kan punya anak dan cicilan motor, dipindah begini mungkin bikin omzetnya jatuh,” cetusnya. Logat Banyumasan kental terdengar dari ucapannya.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa Malioboro saat ini terlihat rapi. Namun, banyak kenangan yang tidak bisa terulang lagi. Melihat wisatawan berdesakan dengan para pedagang kaki lima. Saling tawar-menawar barang.
Saya melanjutkan perjalanan. Menyusuri trotoar ke arah utara dan mengumpulkan kepingan cerita dari orang yang sedang menikmati malam di Malioboro. Langkah saya kemudian terhenti di depan Mall Malioboro. Menghampiri seorang lelaki yang sedang menikmati isapan rokoknya.
Saya meminta izin untuk menduduki bangku kosong di sebelahnya. Memperkenalkan diri dan mulai berbincang dengan bapak-bapak asal Nganjuk, Jawa Timur ini. Saya kira, ia sendiri. Ternyata di bangku seberang ada istri dan anaknya.
“Masnya umur berapa?” tanyanya seketika. Setelah saya menjawabnya, ia lalu melirik ke bangku seberang tempat anaknya duduk.
“Oh begitu, itu anak saya kelahiran 2000. Baru selesai kuliah,” jelasnya. Mendengar itu saya tersenyum. Sedikit bingung. Tapi saya memilih untuk melanjutkan perbincangan tentang tempat yang sedang kami kunjungi ini.
Makin rapi tapi rindu berdesak-desakan
Lelaki yang ingin disebut Wepe (55) ini bekerja di kantor sekretariat DPRD Nganjuk. Siang tadi seharian ia habis melakukan sejumlah pertemuan formal. Sore hingga malam ia putuskan untuk menikmati Jogja bersama istri. Malioboro jadi pilihan karena aksesnya mudah dan selalu ngangenin untuk dikunjungi.
Setiap lawatan tugas ke Jogja, ia hampir pasti mampir ke sini. Buatnya Malioboro sekarang sudah banyak berubah. Namun, ia mengapresiasi tata letaknya yang semakin rapi.
“Sekarang lebih indah dilihat. Memang hiruk-pikuknya terasa berbeda dengan dulu. Tapi masih ramai juga,” katanya.
Ia membandingkan Malioboro ini dengan Alun-alun Nganjuk. Di sana, menurutnya, belakangan pedagang tidak boleh berjualan lagi di sekitar alun-alun. Namun, pemerintah tidak menyediakan tempat untuk merelokasi para pedagang.
“Saya tidak tahu kondisi di tempat relokasi PKL Malioboro seperti apa. Ramai atau tidak. Tapi mending, daripada di tempat saya yang tidak ada tempat relokasi,” terangnya. Wepe kemudian hendak melanjutkan perjalanan bersama anak dan istri. Saya pun lanjut beranjak.
Tak jauh berbeda dengan Wepe, pengunjung lain, Irhab Khairunnisa (23) melihat Malioboro menjadi lebih tertata. Ia merasa lebih nyaman dan rapi untuk beraktivitas dan berjalan-jalan di sepanjang trotoar.
Kendati begitu, ia mengaku kalau beberapa suasana yang umum ia jumpai dulu sudah tidak bisa kembali. Ada kalanya ia merindukan pemandangan dan suasana berdesak-desakan dengan PKL saat berjalan di Malioboro.
“Ya salah satu yang hilang sekarang itu pengalaman bisa makan dan kulineran di sepanjang jalan. Sembari menikmati musik kayak angklung dan segala macam. Kalau sekarang kan terpusat di beberapa titik yang perlu jalan agak jauh,” ujar perempuan asal Bali yang sempat mengenyam studi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja ini.
Wepe dan Irhab jadi contoh pengunjung yang merasa nyaman setelah wajah Malioboro berubah seperti sekarang. Selayaknya ragam hal yang berubah, selalu ada sisi yang dirugikan dan merasa kehilangan. Ada pula yang menikmati hal baru dan merasakan keuntungan.
Sebelum meninggalkan Malioboro, saya mampir membeli teh talua di salah satu pedagang kenalan yang berjualan di Teras Malioboro 2.
Malam itu, Jalan Malioboro ramai oleh wisatawan. Namun, beberapa sudut Teras Malioboro lengang. Saya menikmati segelas teh talua seorang diri dan satu-satunya pembeli saat itu.
BACA JUGA: Jejak Pedagang Minang dalam Sejarah PKL Malioboro